Nadira berdiri di depan pintu salon, melihat ke dalam cermin kecil yang ada di sakunya. Setiap kali ia melihat bayangannya, rasa rendah diri menyelinap.
Dia hanyalah pembantu di salon kecantikan ini, bukan seperti para karyawan salon yang setiap hari sibuk mempercantik diri demi menarik pelanggan kaya.
Setiap pagi, Nadira datang lebih awal untuk memasak air minum, memasak nasi untuk karyawan, dan membersihkan seluruh sudut salon.
Bau produk-produk kecantikan yang menyengat sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun ia tetap diam, bekerja tanpa keluhan. Karena saat ini mencari kerja itu tidak gampang.
Dia luar sana dia melihat orang yang tidak bekerja, karena mencari kerja itu sangat susah. Untunglah dirinya bisa bekerja di salon ini.
Setiap hari, ia melihat para karyawan salon merias wajah dengan rapi, memulas bibir merah mereka, dan mengenakan gaun-gaun yang menarik perhatian.
Pelanggan salon datang berbondong-bondong, banyak dari mereka pejabat pemerintah, anggota dewan, atau pengusaha yang datang bukan hanya untuk memotong rambut atau merapikan kuku, tapi untuk melarikan diri sejenak dari hidup mereka yang mewah namun penuh tekanan.
Nadira yang memandang dari jauh melihat bahwa bagi mereka, dunia seperti sebuah panggung tempat mereka memamerkan diri dan pesona.
Para karyawan salon itu ahli membuat pelanggan merasa istimewa, terutama mereka yang berduit. Hal itu semakin membuat Nadira merasa terpinggirkan.
Namun, sesuatu dalam diri Nadira perlahan berubah. Setiap kali menyaksikan perempuan-perempuan di salon itu, keinginan untuk mempercantik diri tumbuh dalam dirinya, meskipun ia tahu hal itu tak mungkin baginya.