"Anjir, gue beneran lagi bokek banget, Deh," kata Badek dalam hati.
Dia, sambil menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya gak gatal. Habis, gimana lagi? Di dompetnya cuma ada seribu perak, hanya cukup buat beli nasi bungkus saja, tidak ada untuk beli bensin buat motor bututnya.
"Lo tahu nggak, Bill Gates pernah bilang, kalo lo lahir miskin itu bukan salah lo, tapi kalo lo mati miskin, baru itu salah lo," tambahnya dalam hati, setengah ngelantur. Pikirannya lagi berat banget, kayak ada beban seberat gajah di pundaknya.
Dulu, hidup Badek emang gak selalu semendung ini. Waktu masih kerja di yayasan, dia masih bisa kasih uang ke adiknya, Bakoh, yang sering minta bantuan. Sekarang? Semuanya berubah 180 derajat.
Hari itu, Badek lagi ada di kota tempat adiknya tinggal. Dia dan istrinya baru aja selesai menghadiri pemakaman keluarga dari pihak istrinya. Perut keroncongan, akhirnya mereka memutuskan makan di restoran Padang.
Tapi ternyata harga makanan di sana mahal banget, sampe dompet Badek menjerit minta tolong untuk membayar tagihannya.
"Yah, gue hampir lupa kalo adik gue Bakoh tinggal di kota ini," gumam Badek.
Adiknya itu sekarang udah kaya raya. Punya rumah gedong, mobil mewah, motor puluhan. Hidupnya udah jauh dari derita seperti diri Badek.
Sambil makan, Badek keinget satu momen saat dia pernah main ke rumah Bakoh. Waktu itu Bakoh nanya ke Badek soal buka pangkalan gas LPG.
"Katanya sih paling gak, seratus juta kita serahkan Mertamini, Dek," katanya waktu itu.
"Oh, kecil itu," jawab Bakoh enteng. Istrinya, Mirna, yang duduk di sebelahnya, juga ikutan komentar soal biaya bupati yang bersihin darahnya sama dokter Terawan.
"Berapa biayanya?"Â tanya Badek.
"Sekitar dua puluh lima juta sekali bersihin sumbatan kolesterolnya," jawab Bakoh.
"Besar sekali," ujar Badek, membayangkan dengan kondisi keuangannya saat itu.
"Segitu sih ndak juga besar lho," sahut Mirna sambil tersenyum.
Setelah makan, saat ini, Badek dan istrinya sudah berada di depan adiknya dan istrinya. Badek lama ragu-ragu, tetaapi akhirnya kemudian memberanikan diri, buat minta tolong Bakoh.
"Bak, gue boleh pinjam uang lima puluh ribu gak? Buat beli bensin motor," pinta Badek dengan suara rendah, nyaris berbisik.
Karena pulang ke kotanya paling tidak perlu dua liter bensin, kelebihan uang lainnya untuk jaga-jaga, takut ada apa-apa.
Bakoh dan Mirna saling pandang, lalu Bakoh menjawab, "Maaf, Dek. Kami lagi gak ada uang."
"Oh, ya udah. Gak apa-apa," kata Badek pelan, meskipun dia kecewa. Dalam hatinya, dia merasa kayak ditonjok keras-keras. Rasanya perih banget, lebih dari sekedar sakit fisik.
Masa mau minjam seratus pun tidak bisa, padahal mobil mereka ada beberapa buah, 50 puluh ribu tidak ada. Apa lagi itu bukan minta, tetapi minjam.
Memang sih gantinya tidak pasti kapan, tetapi mengingat Badek dulu selalu menolong Bakoh dan istrinya sebelum mereka kaya, mustahil pinjam lima puluh ribupun tidak bisa.
Tetapi kenyataan berkata lain, uang itu tidak bersaudara ...
Badek pamit dari rumah adiknya dengan hati yang berat. Di jalan dia nelpon sana-sini, nyari pinjaman buat beli bensin. Akhirnya, dia dapet juga lima puluh ribu dari temannya yang kasihan sama dia.
Dengan uang itu, dia beli bensin dan pulang ke kotanya. Di perjalanan pulang, pikiran Badek melayang-layang. Dia inget kata-kata Bill Gates lagi. Kalau mati miskin, itu salah sendiri.
Saat itu juga, Badek bertekad buat mengubah hidupnya. Gak peduli gimana caranya, dia harus bangkit dari keterpurukan.
Malamnya, setelah nyampe rumah, Badek duduk di teras rumahnya yang sederhana. Langit malam bertabur bintang, tapi buat Badek, semuanya tetap kelam. Dia merenung, mengingat kembali perjalanan hidupnya.
Dulu, dia selalu ada buat Bakoh. Setiap Bakoh butuh bantuan, dia selalu siap. Tapi sekarang, saat dia yang butuh bantuan, Bakoh malah ninggalin dia.
"Anjir, hidup emang gak adil," gumamnya sambil menatap langit.
Tapi malam itu, di bawah sinar bulan yang pucat, Badek memutuskan untuk gak menyerah. Dia bakal kerja keras, apapun caranya. Dia gak mau mati miskin. Gak mau hidupnya berakhir sia-sia.
Keesokan harinya, Badek mulai mencari cara untuk bangkit. Dia jualan kecil-kecilan, mulai dari jualan gorengan sampai jualan pulsa. Apapun dia lakukan, asal bisa dapet uang. Setiap hari dia berjuang, menahan malu, menahan lelah.
Depan rumahnya dilewati anak sekolah, sehingga dia menjual nasi kucing 5000 saja, masih ada untung seribu rupiah. Tetapi akhirnya jadi boom, sehingga bisa laku ratusan bungkus sehari, sehingga lumayanlah hasilnya.
Hidupnya perlahan mulai berubah. Dia mulai bisa menabung sedikit demi sedikit. Setiap kali dia merasa lelah dan ingin menyerah, dia selalu inget momen saat dia minta tolong ke Bakoh dan ditolak mentah-mentah. Rasa sakit dan malu itu jadi motivasinya untuk terus maju.
Bulan demi bulan berlalu, Badek akhirnya berhasil buka usaha kecil-kecilan. Yang paling orang perlu adalah beras, akhirnya dia mengageni beras kampung. Orang lebih suka beras kampung, karena enak, tidak mudah basi dan tidak di putihkan dengan pemutih.
Meski belum besar, tapi cukup buat menghidupi keluarganya dengan layak. Dia gak lagi merasa rendah diri atau malu. Badek dan istrinya menatap langit malam yang bertabur bintang, kali ini dengan hati yang lebih ringan dan penuh harapan.
Mereka punya modal yang sangat besar, yaitu kesehatan, motivasi, kreativitas, pantang menyerah dan ulet.
Mereka tahu, seberat apapun hidup, selama ada tekad dan usaha, semuanya bisa berubah. Jangan miskin, tidak ada yang kasihan padamu adalah pelajaran hidup yang akan selalu mereka ingat.
***
Badek menatap keluar jendela ruang tamu rumahnya yang luas. Sinar matahari pagi menembus kaca jendela, menyinari ruang tamu yang didekorasi dengan perabotan mewah.
Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hatinya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras, akhirnya dia dan istrinya, Siska, bisa menikmati hasil jerih payah mereka.
Semua anak mereka telah menyelesaikan kuliah dan bekerja dengan baik. Kini rumah hanya dihuni oleh mereka berdua.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Siska yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan membawa dua cangkir kopi.
Badek tersenyum dan menerima cangkir kopi dari tangan istrinya. "Aku merasa sangat bersyukur. Kita telah melalui banyak hal, dan sekarang kita bisa menikmati hasil kerja keras kita."
Siska duduk di sebelah Badek, menatap keluar jendela yang sama. "Aku juga merasa begitu. Tapi, aku tidak bisa berhenti memikirkan orang-orang di luar sana yang masih berjuang. Ingatkah kamu saat kita dulu kesulitan keuangan? Bahkan adikmu sendiri tidak mau membantu."
Badek mengangguk. "Tentu aku ingat. Masa-masa itu sangat berat. Tapi mungkin karena itu kita bisa lebih menghargai apa yang kita miliki sekarang."
Siska meminum sedikit kopinya dan menatap suaminya. "Aku punya ide. Bagaimana kalau kita menggunakan sebagian dari uang kita untuk membantu orang lain? Membuat suatu lembaga sosial, mungkin?"
Badek meletakkan cangkir kopinya dan menatap Siska dengan serius. "Itu ide yang bagus. Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku berpikir untuk membuat lembaga yang memberikan pinjaman tanpa bunga, antara 5 juta hingga 10 juta, dengan batas waktu pengembalian sampai lima tahun. Bukankah itu bisa sangat membantu mereka yang membutuhkan modal usaha kecil?" Siska menyampaikan idenya dengan antusias.
Badek tersenyum dan meraih tangan istrinya. "Aku setuju. Selain itu, aku juga berpikir untuk mendirikan panti jompo gratis. Banyak orang tua yang tidak diurus oleh anak-anak mereka. Kita bisa memberikan mereka tempat yang layak dan perhatian yang mereka butuhkan."
Siska mengangguk setuju. "Dan kita juga bisa memberikan beasiswa gratis bagi mereka yang tidak mampu tetapi ingin sekolah. Tidak hanya untuk yang nilainya tinggi, karena aku percaya, mustahil bagi orang miskin yang kelaparan untuk memperoleh nilai tinggi. Kita harus memberikan kesempatan pada mereka yang benar-benar ingin belajar."
Badek merasa kagum dengan pemikiran istrinya. "Kamu selalu tahu apa yang harus dilakukan. Mari kita mulai merencanakannya. Aku yakin kita bisa membuat perbedaan besar."
Mereka berdua mulai menyusun rencana. Badek dan Siska mendirikan sebuah lembaga sosial yang menyediakan pinjaman tanpa bunga, mendirikan panti jompo gratis, dan memberikan beasiswa kepada anak-anak kurang mampu.
Mereka bekerja tanpa lelah, menginvestasikan waktu dan sumber daya mereka untuk membantu orang lain.
Suatu hari, Badek dan Siska mengunjungi salah satu panti jompo yang mereka dirikan. Mereka disambut oleh para lansia dengan senyuman hangat dan pelukan penuh kasih. Siska berbicara dengan salah satu penghuni, seorang wanita tua bernama Ibu Mirna.
"Terima kasih telah memberikan kami tempat yang nyaman ini," kata Ibu Mirna dengan suara bergetar. "Kami merasa sangat dihargai dan dicintai di sini."
Siska tersenyum dan menggenggam tangan Ibu Mirna. "Kami senang bisa membantu. Kalian semua adalah bagian dari keluarga kami sekarang."
Badek berjalan di sekitar panti jompo, memperhatikan para lansia yang sedang bercengkerama dan tertawa bersama. Hatinya terasa hangat melihat kebahagiaan mereka.
Dia menghampiri Siska dan berkata, "Melihat mereka bahagia membuat semua usaha kita terasa sangat berarti."
Siska mengangguk. "Benar. Kita telah memberikan mereka tempat yang layak dan perhatian yang mereka butuhkan. Ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kita buat."
Setelah meninggalkan panti jompo, Badek dan Siska melanjutkan perjalanan mereka ke salah satu sekolah yang mereka bantu. Mereka disambut oleh kepala sekolah, Pak Andi, yang dengan bangga menunjukkan hasil dari beasiswa yang mereka berikan.
"Anak-anak di sini sangat berterima kasih atas bantuan kalian," kata Pak Andi. "Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk meraih impian mereka."
Badek berbicara dengan beberapa siswa yang menerima beasiswa. Salah satunya adalah seorang anak laki-laki bernama Rian, yang bercita-cita menjadi dokter.
"Terima kasih atas beasiswanya. Saya sekarang bisa belajar dengan tenang tanpa khawatir tentang biaya sekolah," kata Rian dengan mata yang bersinar penuh harapan.
Badek menepuk bahu Rian. "Kami senang bisa membantu. Belajarlah dengan tekun dan raihlah impianmu."
Malam itu, di rumah mereka yang nyaman, Badek dan Siska duduk bersama di ruang tamu, menikmati kedamaian setelah hari yang penuh kegiatan.
"Aku merasa sangat bahagia," kata Siska. "Kita telah melakukan hal yang luar biasa."
Badek mengangguk setuju. "Kita telah membuat perbedaan dalam hidup banyak orang. Itu adalah hal yang paling berarti."
Siska tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Aku bersyukur memiliki kamu di sisiku. Bersama-sama, kita bisa melakukan apa saja."
Badek merangkul Siska dengan penuh kasih. "Aku juga bersyukur memiliki kamu. Kamu adalah inspirasi dan kekuatanku. Semasa dan selama aku miskin, kamu tidak mencari lelaki lain yang lebih mampu."
"Aku bukan wanita yang hanya mau terima bersih, tetapi tidak mau berjuang bersama," ujar Siska melototkan matanya, tetapi dia tidak marah.
Dengan hati yang penuh rasa syukur dan cinta, Badek dan Siska menikmati malam itu, mengetahui bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa.
Mereka telah memberikan harapan dan kesempatan kepada banyak orang, mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Dan itu, bagi mereka, adalah kebahagiaan yang sejati.
Waktu terus berlalu, lembaga sosial yang mereka dirikan semakin berkembang. Banyak orang yang terbantu oleh pinjaman tanpa bunga, panti jompo yang semakin ramai dengan penghuni yang merasa diperhatikan, dan beasiswa yang semakin banyak diberikan kepada anak-anak yang membutuhkan.
Suatu sore, Badek dan Siska duduk di teras rumah mereka, menikmati pemandangan matahari terbenam. Mereka berbicara tentang masa depan dan rencana-rencana mereka selanjutnya.
"Kamu tahu, kita bisa melakukan lebih banyak lagi," kata Siska sambil menatap suaminya.
Badek mengangguk. "Aku setuju. Bagaimana kalau kita membuka cabang lembaga sosial kita di kota lain? Banyak tempat yang membutuhkan bantuan seperti ini."
Siska tersenyum lebar. "Ide yang bagus. Mari kita mulai merencanakannya."
Mereka menghabiskan malam itu dengan berdiskusi dan merencanakan ekspansi lembaga sosial mereka. Dengan semangat baru, mereka tahu bahwa masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk membantu orang lain.
Di tengah kesibukan mereka, Badek dan Siska tidak pernah lupa untuk meluangkan waktu bersama. Mereka tetap menjaga kehangatan dan kebersamaan dalam rumah tangga mereka, menjadi sumber kekuatan satu sama lain.
Mereka menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya terletak pada kekayaan materi, tetapi juga pada kemampuan untuk berbagi dan membantu sesama.
Beberapa bulan kemudian, mereka berhasil membuka cabang baru lembaga sosial di kota lain. Sekali lagi, mereka melihat dampak positif dari usaha mereka.
Banyak keluarga yang terbantu dengan pinjaman tanpa bunga, para lansia yang menemukan tempat tinggal yang nyaman, dan anak-anak yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah.
Pada suatu acara peresmian cabang baru, Badek berbicara di depan para undangan. "Kami sangat bersyukur atas dukungan dan kepercayaan yang kalian berikan kepada kami. Kami berkomitmen untuk terus membantu sesama dan memberikan harapan bagi mereka yang membutuhkan."
Setelah acara selesai, Siska mendekati suaminya dan berkata, "Kamu tahu, aku merasa sangat bahagia bisa melakukan semua ini bersama kamu."
Badek tersenyum dan merangkul Siska. "Aku juga merasa begitu. Kita telah melakukan sesuatu yang luar biasa, dan aku yakin ini baru permulaan."
Siska menatap suaminya dengan penuh cinta. "Bersama-sama, kita bisa melakukan apa saja. Aku tidak sabar untuk melihat apa yang akan kita capai selanjutnya."
Dengan semangat dan cinta yang tak pernah pudar, Badek dan Siska terus melangkah maju, mengetahui bahwa mereka telah membuat perbedaan besar dalam hidup banyak orang.
Mereka berjanji untuk terus membantu dan berbagi, menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik bagi semua orang.
***
By Yovinus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H