Pagi itu di lingkungan Kantor DukCapil, langit cerah tidak menjanjikan kedamaian. Di tengah-tengah hiruk-pikuk pegawai yang sibuk menyiapkan dokumen, seorang wanita setengah baya dengan baju daster merah mencolok berjalan memasuki ruangan.
Wanita ini, Bu Tuti, akrab dikenal sebagai Butut di kalangan tetangga. Butut datang untuk memperpanjang KTP, dengan wajah menengadah dan bibir mengerucut penuh kengerian bagi yang pertama melihatnya.
"Pak Heri, KTP saya sudah habis masa berlakunya. Bisa bantu, ya?" tanyanya pada sekretaris dinas DukCapil yang duduk di meja depan sambil menyeruput kopi.
Pak Heri, sekretaris yang sudah hafal dengan kepribadian dramatis Butut, tersenyum sambil mengangguk. "Oh, bisa saja, Bu. Hari ini Bu Rukmi belum datang karena katanya mengantar anaknya ke SD Tarantula. Jadi, saya bisa bantu langsung."
Senyum Butut merekah seperti bunga terompet di pinggir jalan. "Wah, terima kasih, Pak Heri. Untung saja kenal bapak, jadi nggak perlu nunggu-nunggu Bu Rukmi yang ribet itu!" ucapnya dengan nada puas.
Pak Heri hanya tersenyum simpul. Ia tahu persis hubungan antara Bu Tuti dan Bu Rukmi---alias Buruk. Dua ibu-ibu tangguh ini sudah lama tak akur. Wajah mereka sama-sama garang, tubuh mereka sedikit berlebih di sana-sini, dengan tatapan yang dapat mengintimidasi bahkan petugas keamanan kantor.
Setiap kali bertemu, keduanya tak pernah teguran, hanya tatap-tatapan sengit yang lebih seram dari suara alarm kebakaran.
Proses pembuatan KTP Butut berjalan lancar, dan dengan anggunnya, Butut meninggalkan kantor sambil mengibaskan dasternya, merasa seperti bangsawan yang baru saja mendapatkan hak istimewa.
Sementara itu, tak lama kemudian, datanglah Bu Rukmi alias Buruk dengan wajah cemberut. Begitu masuk, ia langsung menuju mejanya dan mendapati berkas KTP Butut di meja Pak Heri.
Wajahnya langsung berubah. Alisnya bertaut, dan matanya menyipit penuh emosi.