Perkataan itu sejenak menghentikan Bu Rukmi. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Namun, Pak Heri belum selesai.
"Faktanya, yang mengerjakan semua data itu anak-anak honorer, Bu. Ibu sendiri lebih banyak mengarahkan, tetapi semua yang benar-benar bekerja ya anak-anak itu. Bahkan, ibu kan yang ikut pelatihan baru-baru ini, tapi ilmu yang dipakai ya mereka yang mengaplikasikannya."
Wajah Bu Rukmi memerah, campuran antara malu dan marah. Ia mendelik pada Pak Heri, mencoba mencari kata-kata untuk membalas, tetapi tak satu pun yang keluar dari mulutnya.
Di tengah suasana menegangkan itu, tiba-tiba suara tawa menggelegar terdengar dari pintu depan kantor. Butut yang baru saja kembali dari kantin berdiri di sana, tangan di pinggang dan senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Wah, wah, wah! Jadi, Bu Rukmi sudah selesai ceramahnya ya?" kata Butut sambil terkekeh, matanya memandang ke arah Buruk dengan tatapan penuh ejekan.
"Kalau sudah puas, saya minta tolong dong, Bu Rukmi, kasih tahu rahasia sukses ibu menjadi ratu di sini. Kali saja saya bisa jadi seperti ibu."
Bu Rukmi memandang Butut dengan tajam. "Kamu pikir bisa seenaknya saja di sini? Ini tempat kerja, bukan panggung drama," kata Buruk, mencoba menegaskan wibawanya.
"Oh, jadi ibu merasa perlu drama ya? Padahal saya cuma mau urus KTP tadi pagi karena ibu nggak ada, kok malah jadi urusan besar?" sahut Butut, pura-pura heran dengan ekspresi yang tak kalah dramatis.
Bu Rukmi yang merasa terpojok tak mau kalah, balas melotot. "Kamu memang suka mempersulit orang lain. Kalau semua orang kaya kamu, kantor ini jadi ajang main-main!"
"Main-main?" jawab Butut dengan nada mengejek, menoleh ke pegawai lain. "Eh, teman-teman, kalau saya yang main-main, lantas yang beneran kerja itu siapa ya?"
Para pegawai yang mendengar itu tertawa kecil. Semuanya tahu siapa yang rajin bekerja dan siapa yang lebih suka hanya memerintah.