Dalam budaya ini, kesetiaan terhadap atasan atau patron lebih diutamakan daripada kepatuhan terhadap hukum. Pejabat yang korup sering kali melindungi diri dengan membentuk jaringan loyalitas di antara para bawahannya, yang kemudian sulit untuk dipecahkan oleh sistem hukum.
Selain itu, dalam budaya feodalisme, pejabat sering dianggap sebagai "tuan" yang memiliki hak istimewa untuk memanfaatkan sumber daya negara. Dalam konteks ini, korupsi dianggap sebagai hal yang wajar, bahkan sebagai bagian dari sistem sosial. Inilah yang menyebabkan korupsi sulit diberantas secara sistemik.
Paradoks Antara Kepercayaan dan Realitas
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: bagaimana bisa sebuah negara yang berlandaskan agama dan kepercayaan kepada Tuhan justru memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang secara resmi tidak menganut agama?
Tentu saja, ini tidak berarti bahwa agama tidak relevan dalam membentuk moralitas individu. Namun, di Indonesia, ada kesenjangan yang besar antara kepercayaan agama dengan realitas sosial-politik.
Ajaran agama yang menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial seolah tenggelam di tengah-tengah budaya politik yang transaksional dan sistem hukum yang lemah.
Sementara itu, di China, meskipun tidak ada konsep Tuhan dalam ideologi negaranya, nilai-nilai ketegasan, disiplin, dan loyalitas kepada negara dianggap sebagai bentuk "agama sekuler" yang harus ditaati.
Hukuman mati bagi koruptor di China mungkin bukan dilandasi oleh ajaran agama, tetapi didorong oleh keyakinan bahwa korupsi adalah ancaman terhadap keberlangsungan negara dan kesejahteraan rakyat.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Kisah tentang bagaimana China dan Indonesia menangani korupsi menawarkan pelajaran berharga tentang pentingnya integritas dan penegakan hukum dalam membangun negara yang adil.
Di China, meskipun ideologi negara tidak mengakui keberadaan Tuhan, korupsi dipandang sebagai kejahatan serius yang harus dihukum dengan tegas. Sementara di Indonesia, meskipun agama dijunjung tinggi, korupsi masih merajalela karena lemahnya sistem hukum dan budaya patronase.