Karena itu, korupsi di China dipandang sebagai ancaman besar bagi kestabilan sosial dan ekonomi negara, serta bertentangan dengan tujuan utama pemerataan.
Selama kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China melancarkan kampanye anti-korupsi besar-besaran yang menargetkan pejabat-pejabat tinggi yang dikenal sebagai "harimau" dan pegawai-pegawai kecil atau "lalat".
Kampanye ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi Partai Komunis dan menegaskan bahwa tak ada yang kebal terhadap hukum, bahkan di dalam partai yang berkuasa.
Hukuman mati sering kali diterapkan untuk kasus-kasus korupsi yang dianggap sangat berat, terutama yang melibatkan uang dalam jumlah besar dan dampak sosial yang signifikan.
Di balik hukuman berat ini, ada dua motif besar. Pertama, hukuman mati bagi koruptor adalah bentuk peringatan keras bagi siapa pun yang ingin menyalahgunakan kekuasaan di negeri yang mengutamakan stabilitas dan harmoni sosial ini.
Kedua, hukuman ini juga bertujuan untuk menenangkan publik dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan, terutama di era di mana ketimpangan ekonomi semakin terlihat di negara dengan penduduk lebih dari satu miliar ini.
Namun, meskipun China dikenal sebagai negara yang tidak menganut agama, hukuman mati terhadap koruptor ini menunjukkan bahwa etika dan moral tidak selalu harus bersumber dari ajaran agama.
Bagi pemerintah China, stabilitas sosial dan ekonomi menjadi hal yang lebih penting daripada kepercayaan agama, dan korupsi adalah ancaman terbesar terhadap stabilitas tersebut.
Oleh karena itu, mereka tak segan-segan untuk menjatuhkan hukuman paling berat, meskipun banyak negara lain, terutama di Barat, telah menghapus hukuman mati dengan alasan hak asasi manusia.
Indonesia: Antara Nilai Religius dan Kerapuhan Hukum
Di sisi lain, Indonesia, negara yang mayoritas penduduknya beragama, menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi.