Menurut cerita kawan, pernah terjadi di sebuah ruang sidang yang megah dan dingin di Beijing, seorang pejabat tinggi pemerintah berdiri di depan hakim.
Wajahnya pucat, penuh penyesalan, namun nasibnya telah ditentukan. Tuduhan korupsi berat yang melibatkan miliaran yuan sudah tak terbantahkan. Hukuman yang dijatuhkan atas perbuatannya jelas, hukuman mati.
Begitu juga nasib ratusan pejabat tinggi lainnya di China, negeri yang secara ideologis mengusung komunisme dan secara terbuka menyatakan tidak percaya akan Tuhan.
Tetapi di sini, pelanggaran terhadap sistem, terutama korupsi, tidak mendapat belas kasihan.
Sementara itu, di Indonesia, negara yang dikenal dengan semboyan "Ketuhanan yang Maha Esa," kasus korupsi justru menjadi masalah yang merusak struktur negara.
Meski Indonesia adalah negara demokratis dengan mayoritas penduduk yang taat beragama, negara ini termasuk dalam daftar negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.
Hukuman untuk para pelaku korupsi di sini kerap kali ringan, beberapa di antaranya bahkan masih bisa menikmati kehidupan mewah meskipun sudah dihukum.
Pertentangan ini membuat banyak pihak bertanya-tanya: bagaimana bisa negara komunis seperti China, yang secara ideologis tidak percaya pada agama atau konsep dosa dan pahala, bisa memberlakukan hukuman sekeras itu terhadap koruptor, sementara Indonesia, negara yang berdasarkan agama, seolah tak mampu memberantas korupsi secara tegas?
Korupsi di China: Komunisme dan Ketegasan Hukum
China, dengan sistem pemerintahannya yang komunis, dikenal dengan kebijakan keras terhadap korupsi. Ideologi komunisme memang tidak mengenal Tuhan. Secara teoretis, komunisme mengutamakan pemerataan kekayaan dan menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.