Mohon tunggu...
Amelia Mentari Damayanti
Amelia Mentari Damayanti Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

لولا المرب ماعرفت ربي | Studying in UIN Walisongo Semarang | Studied in PPM Darunnajat Bumiayu | Longlast learner, part time fan-girl | Going to be someone in someday |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Garis Wajah Kecewa Lelakiku

31 Mei 2021   01:03 Diperbarui: 31 Mei 2021   01:10 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kamu memandang jauh ke depan dengan tatapan kosong, air mukamu mengeras dan bisa ku lihat jelas, ada buliran bening yang kamu tahan di kelopak mata. Buku-buku tanganmu mengepal, menandakan ada amarah yang sedang kamu tekan supaya tak keluar begitu saja. Agaknya, senja yan menenangkan di hadapan kita tak mampu menyiram gejolak hatimu. Suara riuh orang-orang yang sedang berlalu lalang sambil sesekali berswa foto tak cukup membuatmu terusik, karena ada yang jauh lebih mengusik, hatimu. Aku yang sedari tadi sudah menangis, tidak berani melihat ke arahmu yang duduk di sebelahku dengan raut wajah terluka. Aku hanya menunduk, melihat kedua kakiku yang sudah gemetar sejak awal mengucapkan kalimat yang sudah ku duga, akan menyakitimu.

            "Besok ana ke rumah anti," Ucapmu setelah satu tarikan nafas yang berat.

            "Terakhir antum ke rumah, antum sudah ditolak sama Ummi dan kedua kakak ana, Fahri," Jawabku ragu.

            "Apa itu artinya anti juga minta ana mundur?" Kamu menoleh dan memandangku dalam.

            "Tidak Fahri, tapi ana tidak mau antum mempermalukan diri antum lagi,"

            "Apa yang salah dari seseorang yang terlahir dari keluarga yang tidak sempurna, Afifah? Ana tidak pernah menyangka ibu ana bakal meninggal di usia muda dan meninggalkan ana dengan dua adik, sedangkan Bapak orang tua ana satu-satunya yang masih ada, yang seharusnya merawat kami malah menikah lagi dan sibuk dengan rumah tangga barunya. Bertahun-tahun ana menghidupi diri sendiri dan adik-adik ana dengan jerih payah ana, Fah, dengan keringat ana. Beberapa keluarga memang membantu, tetapi mereka juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Itu alasan kenapa ana di pondok sering pulang dan dihukum, ana di kampung kerja, Fah, bantu Bibi. Dan, salah satu alasan ana kenapa masih mau kembali ke pondok karena anti, karena ada orang lain yang masih peduli sama ana di saat Bapak ana sendiri ninggalin ana. Bertahun-tahun kita menahan diri, Fah. Mematuhi norma, berharap setelah lulus, ana dapat menyegerakan diri untuk menjadikan anti sepenuhnya milik ana. Tapi, di saat yang sama, ana dipukul mundur hanya karena orang tua ana tidak lengkap. Bagaimana bisa ana harus menjalani hidup tanpa orang yang sudah membuat beban ana terasa lebih mudah?" Lelakiku terisak, air mata membanjiri pipimu. Dan itu kali pertama aku melihatmu menangis, Fahri.

            "Afwan Fahri, afwan," Jawabku singkat dengan bahu yang terguncang hebat.

            "Besok, ana tetep ke rumah anti, ya Fah," Ucapmu lagi sambil mengusap puncak kepalaku sekilas.

            Bukan karena kamu terlahir dari keluarga yang tidak sempurna, sayang. Bukan. Namun, apa yang Ummi putuskan adalah karena rasa trauma terhadap Abi. Ummi memiliki sifat yang tak jauh berbeda denganku, lembut dan penuh kasih. Itu mengapa, orang sekeras Abi dapat takluk dan jatuh ke pelukan Umi. Namun, sayangnya Abi memilki karakter dan kisah hidup yang nyaris mirip denganmu. Ia terlahir di tengah-tengah keluarga yang menganut poligami dan ibunya meninggal karena tak kuat mendengar gunjingan tetangga, akhirnya ia memilih pergi dari rumah karena kecewa dengan ayahnya yang rela membagi cinta kepada perempuan lain di saat istri pertamanya membutuhkan dukungan untuk sembuh. Sedangkan empat adiknya dirawat oleh kakek-nenek yang selang berapa tahun juga meninggal dunia. Keadaanlah yang membuatnya mandiri dan terbiasa dengan kerasnya kehidupan sehingga mampu membentuk mentalnya yang sekuat baja. Namun, karena kegigihannya itu, Abi sering bersikap kasar pada Umi dan kedua kakakku. Keadaan memaksanya untuk menjadi pribadi yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang lain, termasuk Umi. Rasa sakit Abi di masa lalu dilampiaskan di masa kini dengan sering bersikap kasar pada Umi. Meski sekarang Umi dan Abi masih bersama, namun Umi tak ingin aku bernasib sama dengannya karena ia tahu, hatiku lebih peka dan perasa.

                                                                                  ***

            "Pagi, Bunda" Sapanya dari balik pintu sambil mendekat kemudian mencium keningku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun