"Oh iya Mang, betul,"
"Sini ikut saya sebentar," Ajaknya, kemudian ia berjalan mendahuluiku menuju gerbang dan aku sudah berpakaian rapi menggunakan jas almameter lengkap dengan khimar segi empat. Karena, meskipun berjaga malam, bulish tetap diwajibkan menggunakan pakaian rsesmi.
Ketika Mang Darman sudah menghilang di balik gerbang, aku buru-buru menyusul karena tak mau tertinggal. Aku membuka gerbang, namun yang ku temui bukanlah Mang Darman, melainkan Fahri. Aku hanya terpaku di tempat dan lidahku mendadak kelu, kami sama-sama diam dan hanya menatap dengan pandangan canggung. Seketika tersadar, aku buru-buru menundukan kepala.
"Bulish lael?" Tanyanya basa-basi, karena aku yakin dia sudah tahu jawabannya.
"Na'am (Iya). Antum kok bisa di sini?" Aku balik bertanya.
"Tadi masih ngelembur di asrama, terus Mang Darman ngajak kesini, katanya butuh bantuan," Jawabnya datar.
"Oh, terus sekarang Mang Darman mana?"
"Laa a'rif (engga tau)," Jawabnya acuh sambil mengangkat bahu.
"Eh?" Aku heran campur kesal, bisa-bisanya dia bersikap sesantai itu sedangkan aku sedang menaruh was-was karena takut ada mata-mata yang melihat dan melaporkan kami ke ri'ayah.
"Ini," Ucapnya sambil menyodorkan sebuah kantong plastik berwarna putih.
"Apa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.