Mohon tunggu...
Endah Asmowidjoyo
Endah Asmowidjoyo Mohon Tunggu... Administrasi - Lifestyle blogger

Tidak perlu membuktikan apapun pada orang lain. Hidup adalah keputusan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Palipap dan Sang Penabur Serbuk Sari

4 November 2016   22:40 Diperbarui: 4 November 2016   23:01 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendung telah lama menggantung di Bukit Desa. Sinar matahari terasa canggung saat menyapa. Udara lembab karena hujan hampir selalu turun dalam rentang dua senja. Tanah basah dengan genang air di sepanjang jalan.

“Palipap!” sebuah nama menggema di seantero bukit. Meninggalkan pantulan bunyi yang semakin lama semakin menghilang.

“Palipap!” gema suara itu lagi.

Seorang pria tinggi besar dengan perut gendut jatuh tersandung berkali-kali, berusaha keluar dan mencari tahu asal suara yang memanggil namanya. Palipap jatuh terjerembab untuk yang kesekian kalinya saat akhirnya berhasil menuju pintu. Kehabisan napas.

Pria itu berdiri dengan susah payah. Bajunya kotor. Tangannya yang besar berusaha membersihkan tanah yang menempel. Matanya memicing. Menangkap siluet berwarna ungu yang semakin lama terlihat semakin jelas. Matanya melotot ketika siluet itu akhirnya berubah menjadi sosok seseorang.

“Palip..!”

Bruk!

“Ya ampun, Tuc. Ternyata kau!” ujar Palipap saat dia berhasil menangkap seorang anak kecil bertubuh kurus berwajah pucat. Tuc tenggelam dalam pelukan di tubuh Palipap.

“Maafkan aku, Palipap. Apa kau sibuk?” tanya Tuc ketika dia berhasil keluar dari pelukan Palipap.

“Apakah ada sesuatu yang penting hingga membuatmu harus bergegas seperti tadi?” Palipap kembali bertanya.

“Benar! Putri Shya memanggilmu!” seru Tuc dengan suara keras hingga membuat Palipap menutup telinganya.

“Ya ampun, Tuc. Kecilkan suaramu. Mengapa Putri Shya memangilku? Apakah ada sesuatu yang penting?” tanya Palipap heran.

“Rhu dan Qyo. Mereka bertengkar tentang siapa yang akan menjadi seorang Penabur Serbuk Sari.” jelas Tuc.

“Apa? Mereka..”

“Sudahlah, Palipap. Kita harus bergegas. Kau tidak mau membuat Putri Shya kecewa karena terlalu lama menunggumu kan?” ujar Tuc memotong.

“Baiklah. Ayo kita berangkat.”

Tuc mengangguk. Bersamanya Palipap melesat. Mereka terbang.

Selamat datang di dunia peri. Dunia yang selama ini dianggap tidak pernah ada. Sebuah dunia yang tersembunyi dan penuh misteri. Bahkan bagi mereka yang percaya, mereka tidak akan pernah menemukan bukti yang menyatakan bahwa kami benar-benar nyata.Bagaimana kami lahir adalah rahasia Tuhan dan seberapa lama kami hidup adalah rahasia yang lain lagi.

Peri bisa hidup dimana saja. Di atas gunung, di dalam kelopak bunga-bunga di taman, di ranting-ranting kecil sebuah pohon besar atau dimana saja. Dan sebagaimana manusia, kami pun hidup rukun dalam kelompok-kelompok kecil. Oiya, jika kalian bertanya mengapa kami tidak telihat, itu karena peri mengenakan pakaian yang sangat berkilau.

Palipap dan Tuc berhenti di sebuah pohon besar dengan akar-akar yang menyembul dari tanah bagai ular besar yang meliuk-liuk. Pohon tua berusia lebih dari tujuh ratus abad. Istana Putri Shya. Dua orang pengawal dengan tombak hitam mengkilat tersenyum saat mereka tiba di pintu gerbang.

“Selamat datang, Palipap. Masuklah, Putri Shya telah menunggumu.” ujar salah satu pengawal.

Palipap memasuki aula istana Putri Shya yang luas dan megah. Lampion bunga terompet menggantung di sepanjang mata memandang. Seorang perempuan muda dan cantik duduk menunggu di atas singgasana dengan cahaya yang berpendar-pendar. Di belakang, Tuc berjalan mengikutinya dengan mulut terbuka.

“Selamat datang, Palipap. Senang kau bisa memenuhi undanganku.” Putri Shya menyambut kedatangan tamunya.

“Suatu kehormatan dapat memenuhi undangan Tuan Putri.” jawab Palipap.

Dua orang peri berdiri di salah satu sisi singgasana. Mereka adalah Rhu dan Qyo, peri yang bertengkar karena memperebutkan predikat sebagai Sang Penabur Serbuk Sari. Putri Shya baru saja naik tahta dan sebelum ini Sang Penabur Serbuk Sari adalah mereka yang dipilih oleh raja. dan sebagai penasihat istana, pendapat Palipap selalu ditunggu-tunggu.

“Ehem..” suara Qyo menghentikan percakapan dua orang paling berpengaruh dalam kerajaan. Qyo adalah peri tua, sering berkata kasar dan keras kepala. Jenggot putihnya menggelayut di atas perutnya yang sedikit gembul.

“Apa sudah selesai bincang-bincangnya? Bisa kita mulai acara utamanya sekarang?” tanya Qyo sarkastik.

“Baiklah. Pagi ini Qyo dan Rhu menemuiku dan bertanya tentang ‘Siapa yang paling berhak untuk menjadi seorang Penabur Serbuk Sari?’. Apa kau memiliki pendapat mengenai hal ini, Palipap?” tanya Putri Shya.

Palipap tersenyum bijak. Semua yang berada di ruangan semakin penasaran.

“Mudah saja, Putri Shya. Tentu saja Qyo adalah peri yang paling berhak melakukannya. Bukankan begitu, Kawan?” Palipap tersenyum ke arah Qyo. Wajah Qyo memerah karena bangga.

“Kau benar, Sobat. Terima kasih telah berkata jujur.” ujar Qyo penuh kemenangan. Putri Shya gelisah di atas singgasananya, wajahnya terlihat bingung.

“Hemh.. Palipap, apakah kau punya penjelasan mengenai pendapatmu?” tanya Putri Shya.

“Maafkan saya, Putri Shya. Qyo adalah peri yang berpengalaman. Dia mengetahui seluk beluk bukit lebih dari siapapun. Bahkan jika dibanding dengan saya. Dia akan menjadi Penabur Serbuk Sari yang hebat.” jelas Palipap. Putri Shya tersenyum.

“Baiklah, Qyo. Sesuai dengan pendapat Palipap, dengan ini kuserahkan tugas menaburkan serbuksari kepadamu. Semoga kau dapat menjalankan tugas ini dengan baik.”

“Terima kasih Putri Shya, akan kujalankan tugas ini dengan baik dan dengan sepenuh hatiku.” Qyo mohon ijin undur diri lalu melesat pergi.

Di salah satu sudut, Rhu, peri muda itu memandang Palipap dan Putri Shya dengan wajah kecewa. Dia pergi diam-diam dalam kesunyian yang janggal. Palipap bergegas mengejarnya.

  - - - - -

“Rhu!” seru Palipap.

Peri muda itu duduk di sebuah batu di pinggiran sungai. Udara terasa dingin menggigit tapi Rhu tidak menghiraukannya. Sebulir mutiara bening menyembul di sudut matanya. Dadanya terasa sesak.

“Apa kau kecewa dengan keputusanku, Rhu?” Palipap meremas bahu peri muda itu.

Rhu mendengus.

“Aku tahu kau bisa melakukannya. Menjadi Penabur Serbuk Sari. Aku tahu kau menginginkannya lebih dari apapun. Tapi aku tidak memberikan jawaban yang kau inginkan, bukan? Apa kau tahu apa alasanku?” suara gemerisik dedaun disapa angin seakan merentang jarak antara Palipap dan Rhu.

“Qyo, peri tua itu..”

“Aku ingin menjadi sepertimu, Palipap...” Rhu berkata lirih, “Aku ingin menjadi Penabur Serbuk Sari seperti dirimu. Aku..” Rhu tidak melanjutkan kalimatnya.

“Mengapa, Rhu? Mengapa kau ingin menjadi seperti diriku?” Rhu bergeming.

Palipap melingarkan lengannya yang besar di bahu peri muda itu. Mencoba merasakan kesedihannya. Peri muda yang menjadikan dirinya sebagai panutan.

“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lahir untuk menjalani kehidupan orang lain, Rhu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan berhasil hanya dengan meniru orang lain.” Rhu menatap pria besar di sampingnya dengan pandangan heran.

“Semangat. Kau harus memiliki semangat yang keluar dari dalam hatimu, Rhu. Semangat untuk melakukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang besar. Kau tidak akan berhasil jika hanya meniru seseorang.” Palipap berkata bijak.

“Palipap...” wajah Rhu basah oleh air mata.

“Qyo, peri tua itu akan kelelahan sebentar lagi. Tapi dia tidak akan marah. Dia telah melakukan tugasnya dengan baik dan akan segera menyerahkan tugas itu kepadamu. Tidak akan ada yang kecewa dengan keputusan seperti itu bukan?” Palipap mengerling jenaka.

Dan akhirnya Rhu tersenyum haru. Palipap, peri bijak itu..

Tulisan juga diposting di blog pribadi penulis www.tangan-usil.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun