Mohon tunggu...
Mencari Nur
Mencari Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Eks Jurnalis

Suka hal-hal yang fiksi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mencatat 2024: Siasat Mengingat

25 Januari 2025   20:46 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

masa lalu mendadak mendahuluiku menaiki anak tangga pada siang yang redup, menghambur ke tampuk area pemakaman keramat. tercenung aku di dasar sempat, menafsir ketertinggalan atas waktu. yang gaib itu hampir membawa kabur berbongkah-bongkah peristiwa dan hendak diterjunkan ke liang lahat untuk ditutup rapat.

barang kali ini ujung paling muram dalam sejarah akhir tahunku. tak ada meriah, bahkan untuk sekadar perasaan. tiada banding dengan tahun-tahun silam. namun aku harap sekujur 2024 yang tamat tak sebatas jadi kuburan yang kering doa. ada kalanya aku kangen dan menziarahi gundukan memori sebagai siasat safari saat dibayangi hampa, diburu masalah atau dikejar jemu hari tua. mujurnya, batu nisan dari teks mati berceceran di kamar pesan intrapersonal telepon hijau dan x kapital sehingga mudah diendus, terlebih terkompilasi dalam blok-blok bulan.

jam-jam di ambang januari, misalnya. malam itu aku bertugas liputan di kerajaan binatang, merasakan sensasi hutan dengan berbagai satwa yang berkelana di tembok tinggi di kawasan solo safari. konten video mapping tersebut mungkin amat memukau para berumur yang jiwa kanaknya raib; dan pemotret andal—dengan perangkat tak memadai sekalipun. hiburan disambung di panggung lain dengan teater dan tari api pada penghabisan gerimis. sang direktur tampaknya terobsesi pada kegiatan spektakuler sehubungan jatuhnya hari besar dan klaim wahana sebagai ikon kota.

sukacita kurasa beragam takarnya di masing-masing relung dada manusia. yang pasti adalah duka yang membuntutinya. selang tanggal, aku menulis kabar perihal embusan napas terakhir ekonom senior yang cukup cerewet terhadap penyimpangan rezim. menurut penantang dalang dan pendukung reklamasi, tokoh yang juga eks menteri maritim itu ajeg memerangi korupsi, nepotisme, feodalisme. pejuang sejati yang sepanjang hayat mengupayakan negara diselenggarakan secara adil.

paruh tahun juga masa tegang politik. tapi aku cukup terlipur hanya karena frasa-frasa khas marvel universe turut mengarsiri debat capres, seperti wakanda forever dan we are groot. aku juga merasa sadar bahwa aku menyayangi segelintir tembang urban dari ‘jirapah’, bidikan dapur dan durian pada mula ‘maryam pagi ke malam’, trisula sudut pandang dalam ‘monster’. membualkannya di masa depan menurutku semacam ketahanan dari rasa takjub.

setelahnya kicauan pascapandemi membuatku membiru, walau tak begitu tragis. "jangan usir sepasang angsa dari dalam tubuhku." dua tahun kemudian tubuh itu danau kering dengan sebab yang nisbi. kandang burung adalah tempat riuh sekaligus tempatku menepi. kegelapan sepuluh tahun di bawah pengaruh sihir revolusi mental terlalu cukup untuk menanti sinar kiai.

pada februari aku bermain lempar lembing pertanyaan retoris mengenai kemiripan paras aktivis multidimensi: bivitri susanti dan saras dewi. bernyanyi lirih dengan sepatah lirik jason ranti, "lisa berhenti hidup, tapi tak juga mati," menyusupkan nuansa pada potret boneka yang berdiang seusai kajian akbar para santri. pernah aku terimpit dalam puisi bakda magrib. letupan gelembung dalam tempo seperdua sigaret, air kuali didih di dapur. ibu sembahyang: salat, mengaji, makan. kakak melatih mata lebih gigih di muka acang. raga mana yang mendamba suam di tengah hujan, siap bersiram di atas tungku.

lantas maret datang membawa menu presentase sementara pentas pemilu. aku heran suara untuk partai salah input pesat naik dan kentara. kecemasan mengekor lantaran seringnya satu keluarga berlaku culas belakangan. yang lebih menarik tentu piknik ke selatan. sengatan si raja terang terasa di sepanjang jalan, tapi itu sekadar keluh yang gampang terangkut angin pantai. di parang tritis, aku seperti belajar mengelola napas menyusul kecewa dan lelah setelah ban pecah. laut yang lepas menjabat cakrawala sangat menawan. aku memilih mengelak, menjauhi deriji sang asin, berteduh pada bayang pepohonan asing, menenggak minuman yang tak spesial pesisir. matahari tiba-tiba akan jatuh di balik bukit, suatu tanda bahwa aku harus segera melunasi kencan dengan peramal berkartu pandora yang terkadang merangkap sebagai meditator, teaterawan, hingga vokalis black metal. di kamar yang gotik, kepalaku lebih banyak dijejali konspirasi dunia alih-alih makna dari benda-benda yang terpajang sebagaimana sentuhan perupa.

hari-hari yang hujan juga terjadi pada maret. walau aku malah teringat saat-saat yang terik; dan kamu yang malu mengeluh, termasuk mengenai kota yang panas tapi bukan berarti berjarak 2 km dari neraka seperti ibarat man jasad. kurasa aku belum bisa mandek menyukai manga bajak laut. salah satu pekan ini terbit bab dengan cerita sampul perjalanan anak penjajah di negeri yang baru saja dimerdekakan kembali. sementara itu, di pulau futuristik, si tokoh utama bersama para raksasa berhadapan dengan wujud iblis pemerintah dunia, di antaranya laba-laba, kuda, cacing, babi, dan burung.

bulan ini pun ditebalkan dengan keputusan vital. aku meminta surat rekomendasi kerja kepada pihak yang berkepentingan melalui perantara, dengan arti lain, aku mengajukan pengunduran diri dari tempat mata pencaharianku selama 4 tahun. sebab tak ada kemungkinan baik dari langkah vakum korporasi. menunggu arahan untuk bertugas lagi usai disuntik investor sama saja pasrah ‘digantung’ orang lain.

april memperoleh jatah puasa. kerancuan musim masih menjengkelkan, terutama bagi mukmin yang merayakan sore. rencana bersama untuk jelajah kawasan bandara dan memburu takjil langsung buyar karena hujan memagar. pada rentang tunakarya yang kuharap tak panjang, aku menghimpun kata dari pelbagai karangan penyair cum esais yang bagiku si penghanyut, goenawan mohamad:

tirai; selubung; tabir; azali; nazar; sumpah; cinta; sakit; rindu; keinginan; puas; tenang; laksana; inap; tinggal; jalan; lewat; waktu; puncak; rampas; paksa; rebut; kendi; laut; izin; curi; halal; haram; jiwa; rahmat; manfaat; berlipat; jauh;

aib; faedah; musim; lain; jumpa; tanah; telanjang; banteng; senjata; kayu; rapi; makan; kuda; arab; kala; putus; asa; doa; perkasa; lemah; daya; gurun; fakir; khawarizmi; pedagang; kirbas; titah; bunuh; beban; pajak; tular; renung; agama; tuhan; rentang; patuh; jari; cincin.

tegur; mengutus; urus; segan; sedih; dosa; sibuk; deras; dera; menanam; gandum; jelai; mustahil; berat; zarah; pundi-pundi; kadar; sangkal; api; tanah; usir; kutuk; nazar; kafarat; mazhab; keledai; bangkai; menengadah; abdi; ibadah; semi; hakikat; hadiah; membangun; anugerah; rumah; gua; seekor; unta; gunung; tongkat; ular; dua belas; sumber; mata air; batu; keras; ayah; ibu; rahim; mengandung; mawar.

bunga; sampul; ujung; tali; roh; ramah; dunia; tua; negeri; kanak-kanak; kalam; huruf; suara; membara; petuah; perempuan; asing; lain; puja; luhur; bakar; leleh; tuang; surga; menyeru; limpah; benih; tabur; tuai; karung; nikmat; jatuh; sobek; rahasia; simbol; khamar; wadah; kotor; racun; tutup; erat; mangkuk; cangkir; periuk; santun; angguk; kumandang; kota.

nyanyian yang berembus di kedai cokelat lantai dua pasar gede sisihkan gerah. yang kumaksud 'holding on' dari the war on drugs, yang lantas kupersilakan masuk berkali-kali ke parit kuping dan menaksir bahwa melodi pada 5.10 dan seterusnya, serasi dengan komentar andrew shankland, adalah satu dari sekian musik terbaik yang pernah kutahu—bagai kenangan malam di wisma seni pada sepotong oktober yang serasa abadi.

nomor empat dalam 2024 jua pengamat bisu saat aku berkutat pada dialog film cekak yang tak kunjung jadi. kala tafakur kendur, aku menyusup ke aula pentas musik dengan atmosfer industrial dan lumayan riang karena celotehan pemuka grup rock nakal pas-pasan, “semoga jatuh cinta dengan kami [...] tak boleh merokok, riilkah?”. tanpa kepul asap merah, kwartet pandir itu cukup sukses menutup penampilan dengan distorsi satire atas kekolotan para kawak.

kalau ada bulan yang minor stori itu mei. aku rindu dengan hal-ihwal yang tak lagi kurindukan, mempersoalkan kesepian alun-alun kota baru hasil mengudari belantara, berupaya tegar karena belum ada karya yang bisa dikembarakan. aku butuh bersyukur untuk menyusutkan kekosongan ini.

kemuakan atas kepala negara tetap memucuk pada juni. gelagat mengejar titel ‘bapak infrastruktur’ mudah dieja. tapi seharusnya ia tak layak diganjar julukan apapun selain penjual negara. setidaknya perilisan sinema sumir tentang gejolak eksistensial membuatku merasa normal. tak menyandang status pekerja itu kadang berbahaya lantaran kerap didekati putus asa. ambisi-ambisi ringan terbengkalai, semisal menamatkan pembacaan teater afrizal malna, mempelajari ilmu dasar impor dan ekspor, merampungkan cerita pendek dengan irisan babad kitab suci.

di bulan yang tabah ini, aku merasa luang untuk melanjutkan tur mistik bersama kelompok yasin, di antaranya ke kompleks makam sragen, seberang jembatan abdul jalal. aku menanti saat yang tepat untuk menyapa secara hormat dan membanjiri pensponsor satu utas dengan ungkapan terima kasih. bhineka urusan lain adalah mengurai prosedur bisyarah petugas jumat, membentang daftar penerima daging kurban, serta mendata calon pencoblos pilkada.

malaikat di lereng tidar merasuki syair yang terasa serampangan: “senja tiarap di balik rumah-rumah yang dipisah jalan untuk sepasang roda mobil angkut barangkali. dan jalan itu sepi. seseorang yakin berdiri di muka pintu untuk menyahuti pertanyaan basi.” terkesan sesembarang: “menanti panggilan untuk bermaterai tak selalu tanpa mentari di musim ini barangkali. keringat ini tak pedih, namun juga tak abaikan usap. hidup ini sebentang titik antara buru-buru dan menunggu.” hanya saja ini tak sesukar menghapal alur kerja pegawai gudang benang.

juli diwarnai lawatan ke pusara penebar islam di tanah simo, ki ageng singoprono menjelang pagi. selain itu cuma mengulang pergi dan pulang dalam rangka mengais rezeki, sesekali mengetik (mungkin) puisi pada sesi istirahat: 1 menit menjelang bunyi bel. mungkin di kursi reyot, di balik meja sak semen dengan hiasan kipas, steples, dan terminal cas, kau memilih ke gudang klip—mendengar ekspektasi dari pemusik alam lain.

perihal paling menyakitkan adalah dilupakan oleh orang yang tak bisa kamu lupakan. aku menukil komentar dalam klip lagu dengan getaran terbaik yang pernah ada, agaknya teenage blue dari dreamgirl. dan aku berikrar

akan selalu membubuhkan suka pada setiap video unggahan cyborg: ramuan musik dan fragmen film yang tak pernah gagal menembus relung jiwaku. setiap hari matahari pergi dari negaraku, dan aku baru terpikir untuk memindah catatan ke wadah baru setelah merasa aneh dengan judul platform itu.

semakin maju juli, semakin aku tak peduli dengan nama hari. kecuali ahad, semua hari pergerakannya persis. pagi mengungkai jalan raya sebelum mengungkung diri dengan deru mesin, menghitung dan mengkategorikan benang, mengolah laporan produksi, istirahat saat mentari tepat di atas ubun-ubun: sembahyang, makan tak selalu mesti, dan sikat gigi. selang satu-dua jam dari jeda, tugas harian tuntas. hingga bel pulang, biasanya aku tak tahu harus apa selain tualang ke divisi lain dengan modus transfer data kerja ke server.

selalu ada pisau dalam guruh yang merahasiakan pekan. menanti aba-aba untuk mengerat angka dalam setruk. di bawah lembar seng dan karangan karung, matahari tetap menjemur, mengangkat basah dari pori-pori pekerja, dan air penuh di botol kaca pun fana.

mendatangi artjog masuk dalam bagan agenda agustus. aku terpikat pada ragam biji padi yang berjajar rapi sesuai arahan titarubi. menjenguk danau kampus yang dikitari makhluk terbang yang menepuk hijau. menikmati musim pesta di tepi, berpayung nyiur dan menghirup kata. mendung bergelantungan di selatan, celahnya seperti kedip mata pada laut yang diaduk, ke batu yang kikis oleh gemuruh: mungkin ombak, mungkin jemari tuhan.

jirapah mendapat porsi di cherrypop. sayangnya sore, ketika aku masih meraba rimba selepas kerja. tapi aku tetap menggelangi tangan dengan tiket, sedikit merumpi dengan teman baru di hamparan rumput, dan menghayati vibrasi niskala.

pada september aku menumpang kapsul. melesat ke pusat banyak hal (mungkin juga kebenaran), memandangi urat nadi cakrawala dari kaca. dan bulu-bulu tanah menguning dalam embun, menundukkan diri ke penumpang gerbong di cirebon. hajatan pestapora mengundang enola, the sastro, sby, ntrl, deadsquad, monkey to millionaire, fstvlst, efek rumah kaca, mocca, dan banyak lainnya. sebenarnya, aku ingin menonton semuanya.

sepintas dan bakal bertilas. pada lubuk pagi, amat sedikit waktu dari akhir zaman ini. ini tentang sehabis pestapora. aku menjejaki saran untuk  bersiram tanpa menimbang ketahanan tubuh dinihari. belum selesai berkemas, kawan dari negeri jiran mengaku sudah menunggu di ruang komunal. bergegas dengan tas sandang dan kantung laptop, benar teman-teman telah berhimpun. layar akbar gelap, setrika nirfungsi, wastafel mati. hanya gelas di rak yang bergerak. pagi itu lapar berusaha diatasi, senda gurau terjadi berulang kali. pada sisi lain aku menyesal karena momen ini tercipta justru ketika akan berpisah.

selamat siang yang rutin kepada pemilik kapital dimulai pada pekan ketiga. memang hanya ia yang berhak marah bila produk tak melimpah. tidak pada mesin uang di pecenongan yang mendadak galat. sepeninggal kabut jakarta, takmir masjid terdekat dibentuk. orang-orang husnuzan merasa sanggup mengurusnya 5 tahun ke depan, dan mewujudkan slogan ‘servis terbaik untuk jemaah’.

kemudian oktober hadir membawakan joker: folie à deux. jam tayang film yang dibintangi joaquin dan gaga di bioskop langganan tak selurus jadwal yang terpampang di situs. padahal aku telanjur buru-buru enyah dari kios buku bekas di alun-alun utara. menerima keterangan pahit dari resepsionis, aku mengantongi karcis dan pergi mengisi kehampaan di kedai samping lapangan pabelan, sekaligus bernostalgia di langgar dekat tempat magang dahulu kala.

perihal joker anyar ini, barang kali bagian lee quinzel (yang kebetulan) di tangga mubazir. adegan angkat kaki dari ruang sidang seiring patah hati karena "joker itu tak ada" sudah terasa cukup. mengenai sinema aku tak cepat jenuh merekomendasikan ‘the girl from dak lak’ pada siapa dan di mana pun.

tak ada bintang di langit elf berkapasitas 17 orang. ini kalimat pembuka dalam catatan yang tak beres. nyanyi-sunyi matter mos jadi ngiang yang panjang: rodaku berputar-putar mengikuti angin-dia bawaku kembali ke jalan yang belum pasti—tembang ini berkeliaran di kanal maya sembari memikul art jakarta. kemelankolian lain amat kental di dalam rekaman pra-latal teater circa 2018.

satu magrib yang menjelang, kabar lelayu datang: pak slameto telah berlalu. ia yang tak sekali menebas rumput liar di pekarangan dengan gesit. tapi yang paling melekat adalah aktualisasi dari jiwa kanaknya. pada malam di masjid kawasan grobogan—dalam kerangka tur mistik ke muria—ia bermain kejar-kejaran dengan karib yang setara tua, bermula dari keusilan yang masih wajar. aku amat terhibur karena bahkan tak ingat pernah melakukannya ketika belia. darinya, aku memetik bahwa dewasa tak harus terbungkus serius. terkadang perlu melepas zirah kepatutan, melucuti nilai-nilai yang membebani umur.

pukul 00.00 tanggal 18, satu usiaku dikeluarkan lagi dari brankas. karpet merah terbentang. ke mana kaki umurku bakal bertandang? aku baru menyadari bahwa banyak momen berharga yang kulalui dengan sepi. namun aku mirip mesin seal yang kabur dari getaran fotografi. kendati letih karena lama terpatri di punggung kuda besi, tak berarti jadi dalih membiarkan swellow, rrag, texpack asyik sendiri.

mundur dari kpps, aku pun gugur sebagai calon ptps. tapi aku lumayan sibuk dan tak sempat mencicipi cua. audit seakan menjelma momok sehingga persiapan ekstra untuk menghadapinya. "buang semua puisi”, lantunan giring ganesha pada 18 tahun silam ternyata sebuah instruksi. masa kerja si raja jawa kelar. warga di sekitar bandara diimbau untuk menyambut dengan salam hormat, serta ucapan terima kasih dan dijanjikan santapan bebas biaya.

november menguntai hari-hari dengan lingkup jelajah yang lebih lapang. aku nimbrung dalam peringatan seabad sitor situmorang di jalan prawirotaman, ikut pesta kecil di kaki lawu dan agak menggilai album sunbather (deafheaven), melumpukkan modus pendekatan dalam menulis dari sastrawan bali. rasanya aku tak pernah gagal sentimentil saat mendengar astronaut husband, mungkin karena keping-keping memori yang karam seketika muncul—sekaligus beri pengertian: masa lalu adalah kehidupan yang tak tersentuh lagi.

dalam temaram kentingan, aku berandai seseorang meninggalkan pentas lebih lekas dari hujan yang tandas, berdampingan menuruni liku pedaringan, melirik pemadam yang siaga, menerka seberapa berat malaikat menahan dan melepaskan cuaca. dan sekali lagi aku di kaliurang, balai kesenian dengan nama rumit yang merawat satu-satunya kenangan.

 pada akhirnya desember. banyak tirai turun. laboratorium kepenulisan usai. masa buruh habis—setelah aku tak meneken kontrak lagi. bagaimana pun, setiap hal mengisi bilik almari pengalaman hidup dan patut diperciki terima kasih. aku harap berjumpa orang-orang di tempat dan waktu lain yang tak terduga. asa itu ada sebelum poin tes kesesuaian bidang muncul, sebelum lampung terasa semakin jauh. sesekali aku merasa lebih baik tidur.

formula campur-aduk pagina belum menemukan titik paling terang. seperti halaman 18 pada sikap manusia: teori dan pengukurannya (saifuddin azwar), dan cerita dante (stefani hd). walau begitu, maklumat maaf dari kakak tingkat teater lebih darurat. semacam lambaian perpisahan. mungkin kutimpali saja dengan memberi apa yang ia minta: maaf. juga meyakinkan bahwa hayat tak akan singkat. setidaknya cukup untuk membayar janji, memanggungkan naskah owah itu.

berkaca dari fenomena latah selebriti dalam menghadapi AI: mengukur seberapa dalam dirinya dikenal, setidaknya kita punya gambaran perihal pemosisian diri mereka ketika di tengah khalayak. "inilah aku, pedangdut populer," ujarnya dalam hati, misalnya. dan jika demikian, mereka akan sering sakit hati.

mengakhiri pelaburan ingatan yang kian asal-asalan, aku mengutip notula batin di ambang tahun baru. “dalam renung, ada masa depan yang menghampar: rasa takut yang terang-selundup pada tua, pada mati.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun