Mohon tunggu...
Mencari Nur
Mencari Nur Mohon Tunggu... Freelancer - Eks Jurnalis

Suka hal-hal yang fiksi

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mencatat 2024: Siasat Mengingat

25 Januari 2025   20:46 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:45 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

tak ada bintang di langit elf berkapasitas 17 orang. ini kalimat pembuka dalam catatan yang tak beres. nyanyi-sunyi matter mos jadi ngiang yang panjang: rodaku berputar-putar mengikuti angin-dia bawaku kembali ke jalan yang belum pasti—tembang ini berkeliaran di kanal maya sembari memikul art jakarta. kemelankolian lain amat kental di dalam rekaman pra-latal teater circa 2018.

satu magrib yang menjelang, kabar lelayu datang: pak slameto telah berlalu. ia yang tak sekali menebas rumput liar di pekarangan dengan gesit. tapi yang paling melekat adalah aktualisasi dari jiwa kanaknya. pada malam di masjid kawasan grobogan—dalam kerangka tur mistik ke muria—ia bermain kejar-kejaran dengan karib yang setara tua, bermula dari keusilan yang masih wajar. aku amat terhibur karena bahkan tak ingat pernah melakukannya ketika belia. darinya, aku memetik bahwa dewasa tak harus terbungkus serius. terkadang perlu melepas zirah kepatutan, melucuti nilai-nilai yang membebani umur.

pukul 00.00 tanggal 18, satu usiaku dikeluarkan lagi dari brankas. karpet merah terbentang. ke mana kaki umurku bakal bertandang? aku baru menyadari bahwa banyak momen berharga yang kulalui dengan sepi. namun aku mirip mesin seal yang kabur dari getaran fotografi. kendati letih karena lama terpatri di punggung kuda besi, tak berarti jadi dalih membiarkan swellow, rrag, texpack asyik sendiri.

mundur dari kpps, aku pun gugur sebagai calon ptps. tapi aku lumayan sibuk dan tak sempat mencicipi cua. audit seakan menjelma momok sehingga persiapan ekstra untuk menghadapinya. "buang semua puisi”, lantunan giring ganesha pada 18 tahun silam ternyata sebuah instruksi. masa kerja si raja jawa kelar. warga di sekitar bandara diimbau untuk menyambut dengan salam hormat, serta ucapan terima kasih dan dijanjikan santapan bebas biaya.

november menguntai hari-hari dengan lingkup jelajah yang lebih lapang. aku nimbrung dalam peringatan seabad sitor situmorang di jalan prawirotaman, ikut pesta kecil di kaki lawu dan agak menggilai album sunbather (deafheaven), melumpukkan modus pendekatan dalam menulis dari sastrawan bali. rasanya aku tak pernah gagal sentimentil saat mendengar astronaut husband, mungkin karena keping-keping memori yang karam seketika muncul—sekaligus beri pengertian: masa lalu adalah kehidupan yang tak tersentuh lagi.

dalam temaram kentingan, aku berandai seseorang meninggalkan pentas lebih lekas dari hujan yang tandas, berdampingan menuruni liku pedaringan, melirik pemadam yang siaga, menerka seberapa berat malaikat menahan dan melepaskan cuaca. dan sekali lagi aku di kaliurang, balai kesenian dengan nama rumit yang merawat satu-satunya kenangan.

 pada akhirnya desember. banyak tirai turun. laboratorium kepenulisan usai. masa buruh habis—setelah aku tak meneken kontrak lagi. bagaimana pun, setiap hal mengisi bilik almari pengalaman hidup dan patut diperciki terima kasih. aku harap berjumpa orang-orang di tempat dan waktu lain yang tak terduga. asa itu ada sebelum poin tes kesesuaian bidang muncul, sebelum lampung terasa semakin jauh. sesekali aku merasa lebih baik tidur.

formula campur-aduk pagina belum menemukan titik paling terang. seperti halaman 18 pada sikap manusia: teori dan pengukurannya (saifuddin azwar), dan cerita dante (stefani hd). walau begitu, maklumat maaf dari kakak tingkat teater lebih darurat. semacam lambaian perpisahan. mungkin kutimpali saja dengan memberi apa yang ia minta: maaf. juga meyakinkan bahwa hayat tak akan singkat. setidaknya cukup untuk membayar janji, memanggungkan naskah owah itu.

berkaca dari fenomena latah selebriti dalam menghadapi AI: mengukur seberapa dalam dirinya dikenal, setidaknya kita punya gambaran perihal pemosisian diri mereka ketika di tengah khalayak. "inilah aku, pedangdut populer," ujarnya dalam hati, misalnya. dan jika demikian, mereka akan sering sakit hati.

mengakhiri pelaburan ingatan yang kian asal-asalan, aku mengutip notula batin di ambang tahun baru. “dalam renung, ada masa depan yang menghampar: rasa takut yang terang-selundup pada tua, pada mati.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun