Mohon tunggu...
Imeldha Huang
Imeldha Huang Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar, Praktisi Pendidikan, Penikmat Seni dan Sastra

...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pandemi: Pengungkit Kebangkitan Pendidikan

19 Desember 2022   16:19 Diperbarui: 19 Desember 2022   17:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haiii... 

Apa kabar dunia pendidikan di masa pandemi?

Jawabannya tentu bervariasi

Tergantung dimana kita mengabdi, 

Bagaimana latar belakang sosial ekonomi,

Bagaimana kita menghadapi kondisi.

Dalam suasana akhir semester dan pembagian laporan hasil belajar di semester ganjil, saya ingin membagikan tulisan lama tentang pendidikan yang sudah dinarasikan juga secara lisan di Siniar Semut Merah Kaizen. Oya, menggarisbawahi dulu, tulisan ini berdasarkan sudut pandang dan pengalaman pribadi ya, bukan mewakili keseluruhan pendidikan di Indonesia, karena lagi-lagi, pengalaman setiap orang bervariasi, tergantung di sekolah mana kita mengabdi, latar belakang sosial ekonomi peserta didik, dan bagaimana cara kita merespon kondisi.

Pandemi Covid-19 di Indonesia memaksa sekolah menyediakan layanan belajar dari rumah bagi semua peserta didik sejak pertengahan bulan Maret 2020 hingga saat ini. 

Sejak awal pelaksanaan, pembelajaran dari rumah ini penuh dengan keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh orang tua, peserta didik, guru, sekolah, bahkan pemerintah, yang semuanya terpaksa harus terus belajar dan bergerak dalam keterbatasan. 

Kemampuan adaptasi, perubahan pola kebiasaan dan perubahan pola pikir menjadi hal yang esensial.

Perubahan itu tidak mudah, karena pendidikan itu hal yang kompleks

Ada unsur pemerintah tentu saja, sementara di sekolah ada unsur guru yang perlu mengubah cara pandang dan metode mengajarnya, ada peserta didik yang perlu mengubah cara belajarnya, dan ada orang tua dengan segala ekspektasinya, belum lagi target kurikulum yang tetap harus dipenuhi meskipun masih terseok-seok mempelajari pola baru.

Bicara soal tantangan kurikulum, 

selama masa pandemi ini, kita sedang berada di penerapan kurikulum 2013, salah satu kurikulum yang di awal penerapannya juga banyak kontroversi, banyak upaya perubahan yang diajarkan dan dilakukan, namun dalam praktiknya tidak banyak yang berhasil menerapkan kurikulum ini sebagaimana yang diamanatkan. 

Mengapa demikian? 

Hmm... menurut saya pribadi, kesulitan perubahan ini terjadi karena banyak sekolah dan guru yang menikmati berada dalam zona nyaman dan berpegang teguh pada pola kebiasaan yang sebelumnya, dan enggan atau mengalami kesulitan untuk berubah.

Berbagai pelatihan dikembangkan, tetapi berdasarkan pengalaman, dampaknya bagi perubahan masih sangat kurang, karena banyak aspek. 

Salah satu contoh: 

kurikulum 2013 menuntut guru untuk dapat mengubah pola pikir, kemudian melakukan proses belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik peserta didik di kelasnya. Namun metode yang digunakan saat pelatihan guru hanyalah mendengar paparan, mengerjakan lembar kerja, diskusi kelompok, dan menyajikan presentasi. Sangat standar... tak ada sesuai dengan perubahan metode yang diharapkan akan dilakukan di kelas. Kesadaran guru dalam pelatihan pun menjadi tantangan lain untuk berubah. Cukup sering saya menemukan guru yang mengikuti pelatihan hanya sebagai kewajiban hadir namun tidak benar-benar menangkap esensi pelatihannya. 

Evaluasi kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pelatihan, sering kali juga hanya digunakan sebagai laporan pertanggungjawaban bahwa kegiatan telah terlaksana, dengan dokumentasi foto dan hasil kerja peserta. Jadi ukurannya lebih pada kuantitas, pada jumlah LK dan kehadiran peserta secara lengkap, sementara tujuan pelatihan yang berupa perubahan pola pikir guru dan meningkatnya keterampilan mengajar tidak terukur kualitasnya. Akibatnya, hasil evaluasi ini tidak dapat digunakan untuk melakukan perbaikan khususnya pada aspek kualitas hasil pelatihan di kemudian hari.

Belum lagi soal pelatihan berjenjang yang makin ke bawah makin tidak efektif. 

Contohnya begini, saya sudah berulang kali ikut pelatihan kurikulum 2013, namun pemahaman jelas tentang kurikulum ini baru saya dapatkan ketika ikut pelatihan Instruktur Provinsi, yang dilatih langsung dari Instruktur Nasional. Kami ikut pelatihan Instruktur Provinsi 7 hari penuh, padat, kaya. Lalu... kami ditugaskan memberikan pelatihan untuk Instruktur Kota selama 5 hari. Lalu, Instruktur Kota diminta memberikan pelatihan pada guru-guru di tingkat rayon atau sekolah selama 5 hari.

Nah, terbayang kan... bagaimana siapnya para instruktur menurunkan ilmu yang dipelajari hanya dalam 5 hari, lalu diharapkan mampu mengubah pola pikir dan pola kebiasaan mengajar yang sudah puluhan tahun? Jadi tidak heran kan mengapa pelatihan-pelatihan itu menjadi kurang mampu mengubah pola pikir yang menjadi tujuan utama pelatihan itu dilaksanakan? Jadi tidak heran kan mengapa sangat banyak guru yang masih terikat dengan pemahaman dan cara mengajar lama dan merasa terbebani dengan tuntutan kurikulum baru?

Nah, kemudian bagaimana tantangan perubahan di masa pandemi?

Pandemi yang menimbulkan banyak kesulitan, penderitaan, dan kesedihan di seluruh dunia ini, juga memiliki efek samping lho. Semua keterbatasan yang diakibatkan oleh kondisi pandemi ini ternyata memaksa kita memasuki pola baru secara positif. 

Pandemi dapat menjadi Pengungkit Percepatan Perubahan dan Kebangkitan Pendidikan.

Lihat saja... Berapa banyak kreativitas yang muncul di masa pandemi? Berapa banyak hal baru yang dipelajari orang-orang selama pandemi? Demikian pula yang terjadi di dunia pendidikan. 

Menurut saya, pandemi ini telah memaksa kita semua - guru, sekolah, peserta didik, dan orang tua- untuk keluar dari zona nyaman dan mulai menerapkan pembelajaran yang diamanatkan oleh kurikulum 2013. 

Saya tidak mengingkari bahwa banyak dampak penurunan pembelajaran selama pandemi, khususnya ketika guru atau sekolah belum mampu menemukan metode yang tepat atau sesuai dengan tantangan yang dihadapi peserta didik yang sangat beragam. 

Latar belakang sosial ekonomi peserta didik menentukan cara mereka beradaptasi dengan semua kondisi terbatas ini. Ada yang siap dengan teknologi, namun banyak juga yang tidak siap. Semakin beragam latar belakang peserta didiknya, sebakin besar tantangan yang dihadapi sekolah dan guru-gurunya.

Belum lagi tantangan internal yang dihadapi oleh guru-guru yang masih berkutat dengan pola pikir bahwa belajar itu harus begini atau harus begitu. 

Namun dalam semua kesulitan itu, ditemukan banyak paradigma baru, metode baru, bahkan kebiasaan baru baik bagi guru, peserta didik, maupun juga orang tua.

Pandemi juga membuat adaptasi terhadap teknologi menjadi lebih cepat, dan membuat semua pihak, dari pemerintah, sekolah, guru, peserta didik, dan bahkan orang tua melihat pendidikan dari sudut pandang berbeda yang lebih luas dan lebih terbuka terhadap berbagai peluang.

Namun, pandemi ini hanya sebagai kondisi penunjang,

Kebangkitan Pendidikan itu harus dimulai dari diri sendiri

Dan karena pendidikan itu masalah yang kompleks, maka setiap orang perlu mengambil bagiannya masing-masing. 

Apapun peran kita, kita mulai kebangkitan pendidikan ini dari diri kita. 

Kalau kita guru, yuk belajar dan terus belajar!

Ingat bahwa untuk mengajar kita perlu belajar, dan mengajar juga merupakan proses belajar. Selalu mengeluh akan beban pekerjaan dan adaptasi yang menyita waktu tidak menjadikan kita menjadi guru yang layak, tidak menjadikan kita menjadi figur yang dapat digugu dan ditiru. 

Mari menjadi guru yang bergerak di depan, menunjukkan jalan dan menjadi contoh dalam belajar. 

Mari menjadi guru yang belajar bersama peserta didik, memahami setiap anak dengan semua tantangan mereka, dan memberi arahan, memberi semangat, dan menggerakkan mereka untuk tumbuh dan berkarya. 

Mari menjadi guru yang selalu ada untuk memberi dukungan, dimana saat anak didik kita tertinggal, terjatuh, atau terseok-seok, kita ada di sana untuk menjaga dan menguatkan mereka.

Kalau kita orang tua, yuk ingat bahwa pendidikan mulai dari rumah.

Apa pun yang diajarkan di sekolah, pembiasaan yang diterapkan di sekolah, dan upaya pendidikan di sekolah, semuanya membutuhkan dukungan dan kesepahaman dari orang tua. Jadi kalau ada yang tidak nyaman dan kurang cocok, komunikasi dan saling memahami jauh lebih bermanfaat dibanding komplain dan saling menyalahkan. 

Mari menjadi orang tua yang menyadari bahwa mengirimkan anak ke sekolah bukan berarti melepas tugas pendidikan pada sekolah, namun memberi kesempatan pada anak untuk belajar bermasyarakat dan beradaptasi pada lingkungan selain di rumah, sementara pendidikan karakter, kepribadian, dan kesempatan belajar pengetahuan sangat dipengaruhi dari rumah dan keluarga. 

Mari menjadi orang tua yang mengayomi, namun memberi kesempatan pada anak untuk mencoba dan gagal, lalu bertanggung jawab pada apa yang mereka lakukan, karena itu yang mereka butuhkan nanti di masa mendatang, karena tak selamanya ada kita yang membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah mereka.

Kalau kita peserta didik, yuk belajar caranya belajar, bukan sekedar belajar untuk ulangan. 

Yuk melihat setiap tantangan dan kesulitan sebagai cara kita menjadi lebih terampil. Belajarlah mengambil keterampilan hidup dari setiap proses belajar kita. 

Yuk gunakan kesempatan belajar sebagai lapangan untuk berlatih, memperkaya keterampilan dan memperkuat kepribadian.

Contohnya:

Menjadikan tuntutan taat pada tata tertib sebagai latihan kedisiplinan. Ketika mengerjakan tugas yang sangat banyak dan bertumpuk, gunakan untuk melatih keterampilan mengatur waktu dan membuat prioritas. Ketika menghadapi guru yang berbeda karakter dan cara mengajarnya, gunakan untuk melatih kemampuan menerima perbedaan dan mencari cara penyesuaian. Ketika bekerja dalam kelompok, gunakan untuk melatih kemampuan memimpin, kemampuan bekerjasama, dan kemampuan manajerial. Semua bekal keterampilan hidup inilah yang akan dibawa dan sangat berguna untuk berkarya di masyarakat. 

Berbekal semua kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab, penerimaan pada keberagaman, keterampilan mengatur diri dan orang lain ini, kita nantinya akan terbiasa untuk selalu belajar dari kondisi apa pun dan mampu menghadapinya dengan terampil berlandaskan kebajikan dan demi manfaat bagi sesama.

Perubahan itu pasti, maka dengan segera pandemi pun akan berakhir,

Kepedihan yang pernah dialami, biarlah menjadi bekas luka yang telah mengering,

Namun dampak positif yang terjadi, mari terus kita elaborasi,

Agar pola pendidikan di negeri ini berubah dengan bangkit lebih tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun