Mohon tunggu...
Imeldha Huang
Imeldha Huang Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar, Praktisi Pendidikan, Penikmat Seni dan Sastra

...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pandemi: Pengungkit Kebangkitan Pendidikan

19 Desember 2022   16:19 Diperbarui: 19 Desember 2022   17:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai pelatihan dikembangkan, tetapi berdasarkan pengalaman, dampaknya bagi perubahan masih sangat kurang, karena banyak aspek. 

Salah satu contoh: 

kurikulum 2013 menuntut guru untuk dapat mengubah pola pikir, kemudian melakukan proses belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik peserta didik di kelasnya. Namun metode yang digunakan saat pelatihan guru hanyalah mendengar paparan, mengerjakan lembar kerja, diskusi kelompok, dan menyajikan presentasi. Sangat standar... tak ada sesuai dengan perubahan metode yang diharapkan akan dilakukan di kelas. Kesadaran guru dalam pelatihan pun menjadi tantangan lain untuk berubah. Cukup sering saya menemukan guru yang mengikuti pelatihan hanya sebagai kewajiban hadir namun tidak benar-benar menangkap esensi pelatihannya. 

Evaluasi kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pelatihan, sering kali juga hanya digunakan sebagai laporan pertanggungjawaban bahwa kegiatan telah terlaksana, dengan dokumentasi foto dan hasil kerja peserta. Jadi ukurannya lebih pada kuantitas, pada jumlah LK dan kehadiran peserta secara lengkap, sementara tujuan pelatihan yang berupa perubahan pola pikir guru dan meningkatnya keterampilan mengajar tidak terukur kualitasnya. Akibatnya, hasil evaluasi ini tidak dapat digunakan untuk melakukan perbaikan khususnya pada aspek kualitas hasil pelatihan di kemudian hari.

Belum lagi soal pelatihan berjenjang yang makin ke bawah makin tidak efektif. 

Contohnya begini, saya sudah berulang kali ikut pelatihan kurikulum 2013, namun pemahaman jelas tentang kurikulum ini baru saya dapatkan ketika ikut pelatihan Instruktur Provinsi, yang dilatih langsung dari Instruktur Nasional. Kami ikut pelatihan Instruktur Provinsi 7 hari penuh, padat, kaya. Lalu... kami ditugaskan memberikan pelatihan untuk Instruktur Kota selama 5 hari. Lalu, Instruktur Kota diminta memberikan pelatihan pada guru-guru di tingkat rayon atau sekolah selama 5 hari.

Nah, terbayang kan... bagaimana siapnya para instruktur menurunkan ilmu yang dipelajari hanya dalam 5 hari, lalu diharapkan mampu mengubah pola pikir dan pola kebiasaan mengajar yang sudah puluhan tahun? Jadi tidak heran kan mengapa pelatihan-pelatihan itu menjadi kurang mampu mengubah pola pikir yang menjadi tujuan utama pelatihan itu dilaksanakan? Jadi tidak heran kan mengapa sangat banyak guru yang masih terikat dengan pemahaman dan cara mengajar lama dan merasa terbebani dengan tuntutan kurikulum baru?

Nah, kemudian bagaimana tantangan perubahan di masa pandemi?

Pandemi yang menimbulkan banyak kesulitan, penderitaan, dan kesedihan di seluruh dunia ini, juga memiliki efek samping lho. Semua keterbatasan yang diakibatkan oleh kondisi pandemi ini ternyata memaksa kita memasuki pola baru secara positif. 

Pandemi dapat menjadi Pengungkit Percepatan Perubahan dan Kebangkitan Pendidikan.

Lihat saja... Berapa banyak kreativitas yang muncul di masa pandemi? Berapa banyak hal baru yang dipelajari orang-orang selama pandemi? Demikian pula yang terjadi di dunia pendidikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun