Mohon tunggu...
melkianus koparihi
melkianus koparihi Mohon Tunggu... Dosen - Hidup adalah anugrah

Nama: melkianus kopa Rihi Tempat tanggal lahir : Sumba 20-05-1991

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi Kontekstual dalam Penginjilan Lintas Budaya

21 Januari 2019   23:23 Diperbarui: 7 Juli 2021   16:13 5822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Strategi Kontekstual dalam Penginjilan Lintas Budaya (unsplash/james coleman)

Terminologi dan Makna

Strategi berasal dari kata Yunani "strategos" terbentuk dari kata "stratos" yang artinya militer, dan "ag" yang artinya memimpin. Dengan demikian strategi berarti memimpin dalam (dunia) militer. Igor Ansoff, bapak manajemen strategik, mengatakan bahwa strategi merupakan aturan untuk membuat keputusan di bawah kondisi pengetahuan yang sedikit (partial ignorance). 

Dengan sifat keputusan yang diambil adalah kontingengsi (berkelanjutan). Sementara kontekstual di definisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu hal yang berhubungan dengan konteks. Dimana memusatkan diri pada distribusi formal, baik itu bahasa, tindakan dan sebagainya. 

Baca juga : Eksegese Teks Injil Markus 1:12-13

Jadi dengan kata lain strategi Kontekstual dalam Penginjilan lintas budaya adalah keputusan kongtingengsi yang diambil secara maksimal terpusatkan pada distribusi formal (budaya), dengan tujuan member tempat dan ruang bagi Pemberitaan Injil.

Dalam kegiatan Penginjilan seharusnya fokus misi bukan hanya pada teks (teks) tetapi bagaimana konteks (budaya) dapat memberi ruang bagi teks. Artinya ada keseimbangan antara keduanya, hanya saja konteks tak harus diatas teks. Persoalan dinamika teks dan konteks menurut Charles van Engen harus sesuai berdasarkan proses dan prosedur pendekatan hermeneutiknya.

Yang dimulai dari studi Biblika (A) kepada studi konteks (B) dan kemudian ke aksi misi (C). Disebut van Engen sebagai Mission on The Way. Dimana hasil misi di C ini, maka harus berdasarkan A dan B. Jadi sesuai dengan pandangan Dr. J. Tomatala dalam bukunya Antropologi Kebudayaan. 

Baca juga : Pergilah, Beritakanlah Injil!

Bahwa seorang pelayan Lintas Budaya harus memahami dengan betul budaya yang akan ia hadapi. Agar pelayanannya dapat memberikan hasil yang maksimal. Dengan demikian strategi yang kontekstual dalam penginjilan adalah pola yang harus mempertimbangkan konteks (budaya) yang dihadapi, namun di sisi lain tidaklah mengorbankan teks (Alkitab).

  • Strategi yang Kontekstual dalam kegiatan Pekabaran Injil 
  • Lintas Budaya
  • Akomodasi secara Holistik

Akomodasi adalah penyesuaian diri (asimilasi) dari objek (masyarakat) yang berbeda demi menghindari tabrakan dan ketegangan sosial. Sedangkan holistik adalah mengenai suatu kesatuan yang utuh. Jadi berbicara akomodasi secara holistik dalam kegiatan Pekabaran Injil berarti selain Injil beradaptasi. 

Injil harus menjadi subyek, atau sebagai pemberi ruang yang luas demi pemenuhan kebutuhan budaya. Dimana bukan hanya memberi kepuasan rohani tetapi juga jasmani, sebab ini menyangkut suatu kesatuan yang utuh.

Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli. Hal ini banyak dipraktekan oleh para zending (utusan Injil) ataupun misionaris- misionaris. Sebagai contoh misalnya Rasul Paulus yang melakukan pendekatan kepada orang -orang Yunani (Kis. 17:23b). 

Di Indonesia, Tartib Eprayim (wafat 1961) yang berperan dalam upaya pendekatan Injil di Bali utara, dimana ia terbuka dan memberi keluasan kepada budaya. Dari pentas ilustrasi wayang Bali, Tartib dapat dapat mengungkapkan Injil Kristus. Hal yang sama dilakukan oleh Don Richardson kepada suku Sawi di Papua yang mengenal anak perdamaian. Kemudian digunakan olehnya sebagai jembatan bagi Kristus dan Injil.

Baca juga : Paskah: Menjadi Injil Kelima di Tengah Pandemi

Pendekatan yang dilakukan Richardson diistilahkan oleh Dr. Tomatala sebagai pendekatan "dynamic equivalence". Yaitu pendekatan yang berupaya membangun jembatan bagi kelancaran komunikasi lintas budaya, dengan dampak akulturasi yang berimbang dalam kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Setelah Injil memberikan tempat bagi budaya maka ranah lain seperti ekonomi, kesehatan dan sebagainya tidak bisa diabaikan. 

Kristus dan pelayanan -- Nya tidak meniadakan hal ini, ia memperhatikan kebutuhan orang -- orang. Melalui memberikan makan adalah metode yang sering digunakan Yesus. Bukan hanya itu, disertai pula dengan mujizat terrmasuk menyembuhkan orang sakit dan setiap kali Yesus member makan kepada orang banyak, selalu diawali dengan mujizat (bd. Yoh. 6:1- 15).  

Penginjilan dan pelayanan sosial dilihat sebagai suatu kesatuan dalam misi. Walaupuan keduanya terpisahkan, namun adalah suatu kesatuan. Hanya prioritas utama bukanlah pelayanan sosial, melainkan Penginjilan. Sekalipun demikian pelayanan sosial tidak boleh diabaikan. 

Sebagaimana pernyataan Rasul Paulus, jika musuhmu lapar, mandat Alkitabiah bukanlah menginjilinya, melainkan memberi dia makan (Rom. 12:20). Para Rasul pun tidak memisahkan keduanya (Kis. 6:2). Demikian dalam praktek misi Pekabaran Injil kiranya hal ini tidak ditiadakan agar jangan seolah- olah praktek Penginjilan sebagai suatu kegiatan yang diwarnai ambisi radikalisme Kristen. Hal ini disebabkan karena keegoannya menekankan pada aspek kuantitas (jumlah).

Contoh nyata dari praktek pendekatan holistik di Indonesia adalah bagaimana Coolen merintis Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Ngoro, Jawa Timur. Dilakukan tanpa lebih dulu menantang orang menerima Kristus. 

Coolen malah menyediakan tanah sebagai tempat tinggal dan sumber dan mata pencaharian bagi masyarakat pedalaman Jawa. Realitas nyata dari kenyataan ini adalah GKJ bertahan dan tertanam kuat di Jawa timur meskipun berada ditengah- tengah lautan masyarakat muslim.

  • Model Prossesio -Konfrontasi Budaya

Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif. Prosesnya terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi. Kelompok prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada kebaikan yang muncul didalamnya. 

Jadi ada sikap konfrontasi dari kekristenan dan Alkitab kepada budaya yang dianggap adalah area kekafiran. Cara ini terkesan terlalu kasar dan keras tetapi justru menjadi daya tarik, apalagi disertai aplikasi penerapan kebenaran Injil secara nyata.

Seperti dalam pelayanan Yohanes pembabtis, yang menegur pendengarnya menggunakan kata - kata makian : "keturunan ular beludak". Ataupun beberapa utusan Injil pada abad pertengahan misalkan Willibrord (658 -- 739) yang menegur raja Ratbod (raja orang -- orang Frisia di Belanda) bahwa kuil yang disembahnya adalah Iblis. 

Juga Bonifacius yang sengaja menebang pohon keramat dan Heriger, orang Swedia yang percaya, menentang orang -orang lain sebangsanya (kafir) untuk mengadu kuasa. Dimana permohonan supaya turun hujan, namun permohonan orang -- orang itu tak terjadi. Justru doa Heriger membuat mereka basah kuyub, sementara ia sendiri tetap kering.

Selain itu ada juga pembuktian gaya hidup oleh utusan - utusan Injil Negara-negara Barat. Bahwa jika mereka hidup didalam Injil maka budaya lokal harus diubah dan mengikuti pola mereka. Padahal sebenarnya yang mereka bawa ada budaya Barat. Meski demikian pendekatan ini tampaknya agak berhasil dan berpengaruh. Sebagai contoh pergolakan yang terjadi antara orang Kristen Jawa timur era Coolen. Dimana sebagian (orang -orang Kristen Mojowarno) mengikuti gaya hidup dan pola yang dibawa utusan - utusan Injil Belanda.

Aspek sikap dikategorikan sebagai tindakan konfrontasi. Dalam artian cara hidup yang saleh dan menjadi teladan berdasarkan nilai-nilai Injil bisa mempengaruhi masyarakat lokal. Seperti utusan- utusan Injil Khatolik, Bernard, dari Clairvaux dan Fransiscus, dari Asisi, yang berpengaruh di daerah pelayanan mereka. Jadi seolah budaya lokal tak mampu membawa masyarakat kepada perbuatan yang baik. Dan hanya keteladanan kepada Injil lah (budaya barat) yang harus diterapkan. 

Ini perbedaan model pendekatan Akomodasi dan Prossesio dimana akomodasi lebih memberikan ruang bagi budaya. Bahkan Injil memenuhi kebutuhan budaya. Sementara Prossesio sama sekali tak memberikan ruang, langsung mengkonfrontasi dan menekan budaya. Karena itu kebanyakan model kedua ini mengundang reaksi penolakan, dan barulah pengaplikasian model pertama. 

Seperti yang terjadi di suku Batak, kedua misionaris asal Amerika, Muson dan Lyman dibunuh (1834) oleh raja Panggalamei. Sadar akan kerasnya budaya Batak, maka zending yang datang kemudian, Ingwer Ludwig Nommensen. Ia melakukan pendekatan akomodasi dan Injil berhasil mendapat tempat disana.

  • Relevansi Strategi Pekabaran Injil bagi Gereja Masa Kini
  • Akomodasi yang Holistik

            Mungkin jika pendekatan Pekabaran Injil dengan menggunakan cara asimilasi seperti praktek para zending Barat. Logis itu dilakukan pada masa lampau yang memang orang masih tak beragama (menganut agama Abrahamik). 

Tetapi jika terjadi pada masa kini haruslah dipertimbangkan berdasarkan situasi dan kondisi. Khususnya di Indonesia, hampir mayoritas adalah penganut agama Islam. Agama yang masih serumpun dengan Kristen, hanya saja pemahaman kebenaran Ilahi yang berbeda. Sehingga Injil bukan lagi berhadapan dengan budaya, tetapi dengan agama -agama.

            Jadi cara pendekatan sepertinya sulit, mengingat Kristus sudah dikenal (khususnya Yahudi dan Islam) hanya saja tidak diakui sebagai Tuhan dan Juruselamat. Jika Injil membuka diri maka dimungkinkan terjadi sinkritisme, tetapi walau dipaksakan pun, kalangan lain bisa dimenangkan bagi Kristus. Dengan pemahaman bahwa mereka tak perlu menjadi Kristen, hanya perlu menerima Kristus dan kebenaran-Nya (Injil). Metode ini relevan jika berhadapan dengan agama maupun budaya.

            Pemahaman bahwa Gereja sebagai cerminan tubuh Kristus yang nyata di dunia. Haruslah memberikan kesadaran baginya untuk benar- benar menyatakan identitas tersebut dalam tindakan realita yang nyata, sehingga Injil pun dapat dikenal. Indonesia sendiri pernah mengalami krisis ekonomi terparah (sejak 1997). Thailand menjadi korban pertama, lalu menyusul Indonesia. 

Dimata dunia, ekonomi Indonesia dianggap mundur hampir separuh penduduk hidup dibawah garis kemiskinan. Krisis memicu munculnya konflik dan ketegangan seperti perampokan, pencurian, demo yang anarkhis dan sebagainya. Dalam hal ini Gereja dibutuhkan berperan aktif. Memang sepertinya tak mungkin memberi makan 200 juta orang yang hidup di Nusantara ini. 

Tetapi Gereja dapat bersinergi dengan pemerintah dan merumuskan langkah-langkah pembenahan masyarakat. Apalagi di era Presiden Jokowi, Indonesia mulai melangkah naik dari keterpurukan. Maka Gereja dan kalangan - kalangan Kristiani pun harus menopang dan mendukung sebagai wujud pelayanannya yang nyata dalam membawa berita Injil (Kabar Baik; Damai Sejahtera).

Gereja harus mulai melakukan pendekatan holistik terhadap masalah-masalah yang muncul akibat krisis yang terjadi. Mengingat fakta bahwa dari 925 juta penduduk miskin di seluruh dunia, 211 juta adalah orang Kristen. Dengan memberi perhatian kepada mereka yang berkekurangan, Gereja telah melaksanakan panggilannya sebagai pemberita Injil. 

Dimana dari tiga tugas Gereja, tugas diakonia adalah pelayanan meja yang secara literer berbicara mengenai melayani sebagai pelayan dapur yang menantikan perintah seputar meja makan (Mat. 8:15; Ef. 4:12).  Secara luas kata diakonia menyatakan seseorang yang memperhatikan kebutuhan orang lain dan kemudian berupaya untuk menolong dan memenuhi kebutuhan itu. Jadi dari pengertian ini, Gereja secara verbal sudah menyatakan Berita Injil lewat sikap hidupnya.

Prossesio

Jika Injil mengkonfrontasi budaya tanpa memberi ruang sedikitpun bagi budaya untuk berekspresi, maka akan terjadi ketegangan sosial sebagai reaksi tekanan tersebut. Meskipun begitu model prossesio (konfrontasi budaya) akan memberi pengaruh walaupun awal-awalnya tak seberapa yang menerima Injil. 

Bisa dilihat bagaimana empirium Romawi yang begitu keras, akhirnya runtuh. Hampir setiap dekade pergantian para kaisar, kaum Kristiani menderita. Karena mereka tak jenuh mengkonfrontir kekafiran Romawi, baik secara langsung maupun dari sikap hidup mereka. Walaupun pada akhirnya mereka dituduh sebagai pemberontak karena tak tunduk kepada Kaisar. 

Namun sikap mereka yang keras, berpegang pada iman, menjadi daya tarik sehingga berangsur- angsur Injil merengsek masuk hingga Romawi dimenangkan bagi Kristus.

Cara ini mungkin tak relevan bagi Gereja masa kini, karena Gereja mula-mula diuntungkan dengan jumlah penganut agama kafir melebihi penganut agama Abrahamik lainnya (Yahudi). Maka dimungkinkan mereka yang bertobat lebih besar dibandingkan dengan sudah beragama. Sementara Gereja di Indonesia saja sering bentrok dengan kaum Ismael (Muslim), apalagi metode ini diterapkan. 

Tetapi masih ada penekanan pada sisi lain, dimana Gereja berkonfrontasi melalui keteladanannya. Injil benar - benar dihidupkan dalam praktek dan sikap hidup. Cara Gereja yang peka terhadap kesenjkangan - kesenjangan sosial : kemiskinan, kesehatan, konflik antara masyarakat dan sebagainya. Dapat dijadikan pijakan bagi Injil untuk ada disana.

Keteladanan Gereja sebagai Pemberitan Injil adalah alat peraga yang nyata. Sebagaimana dikatakan Harianto GP  :

"Gereja adalah saksi persekutuan... Gereja hidup bersama masyarakat sekitarnya... membangun kualitas... sesuai dengan yang dihendaki Allah. Gereja hidup dengan teladan hidup yang dapat menjadikan dirinya sebagai tempat diskusi, keluhan, nasehat, dimana kehidupan manusia bergerak dalam segala persoalan hidup."

Penyampaian Injil dengan keteladanan hidup sebagai alat peraga mampu memberikan daya tarik baik bagi mata maupun pendengaran seseorang. Dimana berita yang disampaikan bukan saja indah dipandang dalam bentuk simulasi dan kata - kata kosong, tetapi juga disampaikan lewat perbuatan. 

Hal ini sebagai gambaran yang obyektif mengingat Gereja terlebih di Indonesia sendiri, berada diantara agama - agama lain. Secara khusus saudara tiri (Islam; Kej. 16) yang sangat sensitif terhadap hal- hal yang berkaitan dengan Kristen. Sebab itu Gereja dan kaum Kristiani harus cerdik belajar dari setiap konflik yang sudah dan sering terhadi di negeri ini.

PENUTUP  

Kesimpulan

Dari strategi Pekabaran Injil yang sudah dibahas, menurut penulis pendekatan- pendekatan ini relevan bagi Gereja masa kini asalkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Sebab sudut daerah- daerah dimuka bumi berbeda- beda (Geografis), sehingga tradisi pun berbeda. 

Jadi semua budaya manusia di planet ini tak sama, maka seorang pelayan Lintas Budaya harus berpikir secara subyektif. Dimana menempatkan dirinya kepada konteks masyarakat yang akan dimenangkan bagi Kristus. Budaya dalam Alkitab adalah budaya Timur Tengah (Yahudi). 

Sebab itu sasaran atau fokus Pekabaran Injil adalah bagaimana obyek mengenal Kristus yang ada dalam Injil dan melakukan kebenaran- Nya (Injil). Yang unik dari Injil Kekristenan itu adalah Kristus Sendiri, inilah faktor utama yang harus dikenal dunia.

Jadi kedua metode pendekatan yang dibahas dalam tulisan ini, hanya bisa dipraktekan jika kekristenan sebagai subyek misi, bisa memahami dengan betul konteks yang dihadapi. 

Lalu kemudian barulah mempraktekan salah satu strategi ini. Strategi model akomodasi masih sangat relevan jika dibandingkan dengan model prossesio. Karena subyek misi (Gereja, badan - badan misi dan sebagainya) lebih menempatkan diri pada konteks obyek secara integral.

Saran

Tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik serta masukan yang lebih berbobot guna kemajuan misi Pekabaran Injil, dari semua pihak yang terpanggil menekuni bidang ini sangat diperlukan. 

Dan dari strategi pendekatan yang sudah dibahas dalam tulisan ini, disarankan agar digunakan sebagai acuan bagi para pelayan khususnya dalam praktek kegiatan Penginjilan. Sehingga nantinya Injil dapat diterima dan didengar orang lain.  

Sumber Kajian

  • Tomatala Yakob, Teologi Kontekstual, Malang : Gandum Mas; 2007.

Tomatala, Yakob, Antropologi, YT Leadership Foundation; 2007.

Culver, Jonathan E, Sejarah Gereja Umum, Bandung : Biji Sesawi, 2013

Timo, Eben Nuban, Pemberita Firman Pencinta Budaya, 2005.

Akkeren, Philip Van, Dewi Sri & Kristus; Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1995.

Daun, Paulus, Missiologi dalam Perspektif Historikal, Manado : Yayasan Daun Family, 2011

Halim, Makmur, Gereja ditengah -- tengah Perubahan Dunia, Malang : Gandum Mas, 2003

Sopater, Sularso, Tanggungjawab Gereja memasuki millennium Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002.

GP, Harianto, Diktat Gereja dan Misi, STAS : 2004.

Ellis, D.W. Metode Penginjilan, Jakarta : Yayasan Bina Kasih / OMF. 1999

Bonke, Reihard, Penginjilan dengan Api; Jakarta : Yayasan Pekabaran Injil Imanuel.

Diah Tuhfat Yoshida, Arsitektur Strategik, Jakarta : Gramedia. 2004.

 Diah Tuhfat Yoshida, Arsitektur Strategik, Jakarta : Gramedia. 2004. Hal. 21.

* Harianto GP, Diktat Gereja dan Misi, STAS, 2004.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun