Sehingga, saya artikan, profesor itu merasa bahwa untuk memiliki argumentasi yang kuat, seseorang harus mengalami secara langsung suatu peristiwa. Walaupun omongan orang ini sudah aneh, tetapi saya tidak akan membicarakannya.
Ada seseorang yang mengomentari cuitan itu dengan berkata seperti ini
"Kenapa dari dulu demo selalu rusuh? Apa mrk tdk bisa belajar demo yg tertib? Masalahnya mungkin sekelas mahasiswa sudah mendegradasi intelektualnya shg bisa demo tanpa mengerti sustansi aturan yg diprotes. Patut diduga mahasiswa sekarang benar bermutu, bermutu rendah."
Lalu karena gemas, saya balas orang itu dengan menyarankannya untuk membenahi penulisan kata "substansi" agar kritiknya lebih kredibel. (sebab saya rasa pendapat seseorang harus jelas terbaca agar si lawan bicara percaya bahwa ia akan menyampaikan sesuatu yang pantas didengarkan.Â
Coba saja bila ada anak TK menulis surat protes terhadap UU Ciptaker dengan kemampuan menulisnya yang masih sangat terbatas. Apakah lawan bicara akan menganggap itu perlu untuk didengarkan? Â
Lalu ini jawaban yang saya dapat,
"Jika typo anda permasalahkan tapi anda mengerti apa yg saya maksudkan berarti anda tak punya argumen. Bukan mau cari pembenaran krn agak sulit bagi saya yg punya jari besar utk mengetik pada virtual keyboard yg kecil."
Sebentar, izinkan saya mengatakan bahwa mengkritik mahasiswa tidak bermutu itu saya rasa membuat lawan bicara berpikir bahwa orang itu lebih pintar daripada orang yang dikritik.Â
Walaupun penyampaiannya cukup santun dengan tidak mengabsen penghuni kebun binatang, tetapi itu belum cukup untuk membuat suatu simpulan menjadi valid.
Ia berkata bahwa, jika saya mempermasalahkan typo sedangkan saya paham dengan apa yang dia utarakan, itu berarti saya tidak punya argumen. Pertanyaan saya, memang siapa yang mengklaim saya punya argumen? Dia membuat asumsi yang saya tidak buat.
lagipula, penarikan simpulannya sangat cacat.