Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Berlogika?

13 November 2020   20:05 Diperbarui: 13 November 2020   20:09 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dulu saat saya duduk di bangku terakhir sekolah menengah, seperti siswa pada umumnya, saya juga disibukkan oleh Ujian Nasional dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi. Salah satu subjek yang menurut saya cukup kompleks untuk dipelajari adalah Logika.

Subjek yang masuk kategori Tes Potensi Akademik dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi itu cukup melelahkan untuk dipelajari. Memikirkan satu soal saja "berbiaya" mengerjakan 3 soal lain yang lebih gampang.

Saat itu saya hanya berpikir bahwa mempelajari Logika adalah prasyarat masuk perguruan tinggi. Sebab soal-soal yang diberikan saat latihan pun juga tidak seperti sesuatu yang akan mempengaruhi hidup secara signifikan jika saya menguasainya. 

Berbeda dengan bidang lain seperti Sosiologi, Ekonomi atau Geografi. Saya masih ingat bahwa awan memiliki berbagai macam bentuk yang dapat menandakan keadaan pada beberapa waktu ke depan. Ekonomi? Tentu kita terlibat dalam aktivitas ekonomi sekecil apapun itu. 

Namun kembali lagi, logika? Tidakkah itu terlalu berat untuk saya yang sudah mengasosiasikan subjek itu dengan Matematika? (Karena keruwetannya)

Beberapa tahun berselang, saya mengenal sebuah kanal Youtube bernama Geolive. Host dari sebagian besar segmen di kanal itu adalah seorang perempuan yang saya pernah tonton pada acara Indonesia Lawyer Club saat tengah panasnya wacana kriminalisasi LGBT.

Walaupun perempuan pintar ini sempat tersudutkan oleh panelis lain, tetapi saya masih mengingat jelas seberapa inteleknya dia saat itu.

Video-videonya saya simak dari paling bawah. Saya ikuti satu-persatu dengan mengindahkan fakta bahwa saya awalnya agak jengkel dengan argumen perempuan pintar ini di televisi (karena saya anti LGBT dan ia mendukung keberadaan LGBT). 

Lama-lama saya bisa mentolerir pilihannya untuk melindungi LGBT. Maksud saya, bukan saya setuju dengan LGBT. Tetapi karena apa yang diyakininya memang sejalan dengan prinsipnya sebagai seorang libertarian yang mana, jelas itu bukan urusan saya.

Pada salah satu videonya, ia menjelaskan bagaimana cara sebuah bukti (evidence) belum tentu dapat menjadi bukti sekalipun terlihat identik dengan apa yang dibuktikannya.

 Ia memberi contoh sederhana seperti ini, ada yang mengklaim bahwa zaman dahulu di wilayah X hidup spesies domba bercorak polkadot. Dibuktikan dengan penemuan fosil domba di wilayah yang sama. 

Pertanyaannya, apakah bukti itu dapat dikatakan valid? Pertama kita perhatikan fitur dari apa yang dibuktikan, yakni domba polkadot. Lalu ada fosil binatang yang mirip domba yang digunakan sebagai bukti. Dimana pembuktian warnanya?

Saya jadi teringat satu merek produk kecantikan yang saya lupa namanya. Pada iklan, dinyatakan bahwa produk itu dapat membersihkan pori-pori dengan cara menghilangkan sebum (minyak di wajah) dengan visualisasi menarik. 

Jadi, pada suatu gelas diletakkan minyak (yang saya juga tidak tahu minyak apa) lalu diteteskanlah produk itu pada wadah dan minyak langsung melebur menjadi partikel yang lebih kecil dan tidak terlihat.

Masalahnya adalah minyak apa yang digunakan untuk demonstrasi produk kecantikan itu? Seberapa mirip dengan sebum yang menempel di wajah manusia? 

Bagaimana bila minyak yang digunakan adalah zat yang jangankan ditetesi produk itu, ditetesi air mineral biasa saja akan melebur dan tidak terlihat?

Melihat bagaimana cara kerja produk kecantikan itu, saya jadi teringat pula pada satu produk air mineral di Indonesia. Mungkin iklan ini tayang pada tahun 2000an awal. 

Saya masih ingat betul bagaimana gelas yang terisi air dan kelihatan sangat berlemak serta kotor, diguyur air mineral merek itu dan langsung semua kotorannya keluar dari gelas. Tanpa tersisa. 

Bagaimana bila air yang digunakan itu adalah air keran biasa? Disitu pun tidak dibandingakan antara merek satu dengan yang lain atau merek air mineral itu dengan air keran biasa.

Mengingat iklan sabun cuci piring saja harus penuh dengan busa agar lemak dan kotoran pada piring hilang, bagaimana air mineral yang tanpa zat detergen bisa didramatisir dapat melakukan hal yang sama? 

Kecuali bila pada air mineral itu ditambahkan perasan jeruk nipis seperti di sabun. Tetapi bukankah namanya akan berubah menjadi air mineral rasa jeruk nipis peras?

Masih dengan pembahasan yang sama, beberapa waktu lalu saya iseng melihat kolom komentar cuitan seorang profesor yang mengatakan bahwa para mahasiswa yang ikut memprotes UU Ciptaker tidak memiliki landasan argumentasi karena para mahasiswa bukanlah buruh. 

Sehingga, saya artikan, profesor itu merasa bahwa untuk memiliki argumentasi yang kuat, seseorang harus mengalami secara langsung suatu peristiwa. Walaupun omongan orang ini sudah aneh, tetapi saya tidak akan membicarakannya.

Ada seseorang yang mengomentari cuitan itu dengan berkata seperti ini

"Kenapa dari dulu demo selalu rusuh? Apa mrk tdk bisa belajar demo yg tertib? Masalahnya mungkin sekelas mahasiswa sudah mendegradasi intelektualnya shg bisa demo tanpa mengerti sustansi aturan yg diprotes. Patut diduga mahasiswa sekarang benar bermutu, bermutu rendah."

Lalu karena gemas, saya balas orang itu dengan menyarankannya untuk membenahi penulisan kata "substansi" agar kritiknya lebih kredibel. (sebab saya rasa pendapat seseorang harus jelas terbaca agar si lawan bicara percaya bahwa ia akan menyampaikan sesuatu yang pantas didengarkan. 

Coba saja bila ada anak TK menulis surat protes terhadap UU Ciptaker dengan kemampuan menulisnya yang masih sangat terbatas. Apakah lawan bicara akan menganggap itu perlu untuk didengarkan?  

Lalu ini jawaban yang saya dapat,

"Jika typo anda permasalahkan tapi anda mengerti apa yg saya maksudkan berarti anda tak punya argumen. Bukan mau cari pembenaran krn agak sulit bagi saya yg punya jari besar utk mengetik pada virtual keyboard yg kecil."

Sebentar, izinkan saya mengatakan bahwa mengkritik mahasiswa tidak bermutu itu saya rasa membuat lawan bicara berpikir bahwa orang itu lebih pintar daripada orang yang dikritik. 

Walaupun penyampaiannya cukup santun dengan tidak mengabsen penghuni kebun binatang, tetapi itu belum cukup untuk membuat suatu simpulan menjadi valid.

Ia berkata bahwa, jika saya mempermasalahkan typo sedangkan saya paham dengan apa yang dia utarakan, itu berarti saya tidak punya argumen. Pertanyaan saya, memang siapa yang mengklaim saya punya argumen? Dia membuat asumsi yang saya tidak buat.

lagipula, penarikan simpulannya sangat cacat.

Mempermasalahkan typo + memahami konteks yang dibicarakan = tidak punya argumen (?)

Jika saya mengatakan sesuatu yang tidak dilandasi premis (kalimat penguat) apapun, maka benar bila orang itu menyimpulkan saya tidak punya argumen. 

Karena yang saya katakan hanya akan jadi opini bila tidak didasari pendukung. Tapi perumusan simpulan dengan premis typo + konteks sangat tidak masuk akal.

Untuk siapapun yang masih rancu dalam mengenali premis dan simpulan. Saya beri contoh bagaimana merumuskan simpulan yang valid.

Semua orang yang memiliki rambut panjang adalah perempuan.

Toni (laki-laki) memiliki rambut panjang.

Maka Toni adalah perempuan.

Simpulan di atas adalah simpulan yang valid. Simpulan dapat dikatakan valid apabila ia dirumuskan dari premis-premis yang ada. Tidak peduli fakta yang sebenarnya (dalam hal ini bahwa Toni sebenarnya adalah laki-laki). Jadi simpulan valid pun masih perlu pembuktian fakta.

Saya rasa pada akhirnya kita harus mengakrabkan diri pada Logika, tidak sekadar melemparkannya saat ujian penentuan, menjadikannya sebuah "big deal" yang seakan terpisah dari kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun