Mohon tunggu...
Meizar Ardha
Meizar Ardha Mohon Tunggu... UIN SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

Mahasiswa UIN SAIZU

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hari yang Tak Terlupakan

22 Desember 2024   06:50 Diperbarui: 22 Desember 2024   06:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu adalah hari keempat bulan puasa. Saya pulang sekolah dengan semangat,

membayangkan bisa bermain dengan teman-teman atau membantu ibu menyiapkan buka

puasa. Namun, saat saya tiba di rumah, suasana terasa aneh. Rumah sepi dan tidak ada

suara riuh dari ibu atau adik-adik.

 Merasa khawatir, saya bertanya-tanya ke mana semua orang pergi. Tak lama kemudian,

salah satu tetangga datang dan memberi tahu bahwa keluarga saya sedang berada di rumah

sakit. Tanpa berpikir panjang, saya bergegas menuju rumah tetangga yang tidak jauh dari

situ. Saya berharap bisa menemukan salah satu anggota keluarga di sana.

 Setibanya di rumah tetangga, saya melihat beberapa orang dewasa berkumpul dan

berbicara dengan serius. Saya merasa cemas dan bertanya kepada salah satu tetangga,

"Apa yang terjadi? Di mana mama dan papah?"

 Tetangga itu hanya tersenyum lembut dan berkata, "Tenang saja, Nak. Mereka sedang di

rumah sakit." Namun, ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Saya merasa ada yang

tidak beres, tetapi tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

 Saya duduk di teras rumah tetangga sambil menunggu keluarga datang. Waktu terasa

berjalan lambat. Setiap detik terasa seperti satu jam. Rasa khawatir semakin menggerogoti

pikiran saya. "Apakah papah baik-baik saja?" tanya saya dalam hati.

 Setelah beberapa saat menunggu, ponsel paman saya berdering saat kami dalam

perjalanan menuju rumah mbah (nenek). Ia menjawab telepon dengan wajah serius. Saya

mencoba mendengarkan pembicaraannya, tetapi hanya bisa menangkap beberapa kata.

Tiba-tiba, saya mendengar kalimat yang membuat jantung saya berhenti: "Gabisa hari ini...

adik saya meninggal."

 Seketika pikiran saya melayang ke arah ayah. "Siapa adik yang dimaksud? Apakah itu

papah?" pikir saya dengan panik. Namun, paman tampak cemas dan tidak ingin memberi

tahu saya apa yang sebenarnya terjadi. Setelah selesai berbicara di telepon, paman

menatap saya dengan wajah penuh kesedihan dan berkata pelan, "Ayo, kita harus segera ke

rumah mbah." Saya mengikuti paman menuju mobil dengan perasaan campur aduk---antara

bingung dan takut. Dalam perjalanan menuju rumah mbah, suasana terasa sangat tegang.

Saya merasa ada sesuatu yang sangat salah, tetapi tidak tahu apa itu.

 Setelah beberapa menit perjalanan yang terasa sangat panjang, kami akhirnya tiba di

rumah mbah. Begitu memasuki halaman, suasana di sana sangat berbeda dari biasanya.

Banyak orang berkumpul dan bendera kuning berkibar sebagai tanda berkabung.  Ketika saya

masuk ke dalam rumah mbah, pandangan saya tertuju pada ibu yang duduk di sudut

ruangan dengan air mata mengalir di pipinya. Saat itu juga, perasaan takut dan bingung

menyelimuti diri saya. Saya berlari menghampiri ibu dan memeluknya erat-erat.

"Mama! Apa yang terjadi?" tanya saya dengan suara bergetar.

Ibu hanya bisa menangis lebih keras sambil memegang tangan saya. Saat itulah salah satu

paman mendekati kami dan berkata dengan lembut, "Papah sudah pergi."Kata-kata itu

menghantam hati saya seperti palu besar. Rasa sakitnya begitu mendalam; rasanya seperti

dunia ini runtuh seketika. Ayah adalah sosok yang selalu ada untukku---sosok yang

mengajarkan banyak hal tentang kehidupan dan cinta. Sejak kecil, ayah selalu meluangkan

waktu untukku setelah pulang kerja. Ia mengajarkan cara mengendarai sepeda,

membantuku belajar matematika, dan menemani saya bermain bola di halaman belakang

rumah. Kenangan-kenangan itu kini terasa seperti bayangan samar yang perlahan-lahan

memudar.

 Hari-hari setelah kehilangan ayah sangat sulit dilalui. Ibu masih berduka mendalam dan

sering kali terlihat termenung memikirkan ayah. Adik-adikku juga bingung dan kehilangan

semangat bermain seperti biasanya. Saya mencoba untuk tetap kuat bagi ibu dan adik-adik

meskipun hati ini terasa hancur. Setiap malam sebelum tidur, saya selalu berbicara kepada

ayah dalam doa-doa kecilku. Saya berharap ia mendengar dan tahu betapa saya

merindukannya. Di tengah kesedihan ini, ada satu hal yang mulai menyentuh hati saya:

kenangan indah bersama ayah menjadi sumber kekuatan baru bagi saya. Saya mulai

mengingat semua nasihatnya tentang kehidupan---tentang pentingnya kerja keras,

kejujuran, dan cinta kepada sesama.

 Seiring waktu berlalu, rasa sakit mulai sedikit demi sedikit mereda meskipun kenangan

akan ayah tetap hidup dalam diri saya. Saya mulai aktif dalam kegiatan sosial di sekolah dan

komunitas---sebuah cara untuk mengenang ayah sekaligus memberikan dampak positif

bagi orang lain. Bersama teman-teman sekolah, kami mengadakan kegiatan penggalangan

dana untuk membantu anak-anak kurang mampu mendapatkan pendidikan yang layak---

sebuah nilai yang selalu diajarkan oleh ayah kepada saya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun