Mohon tunggu...
Yuliana
Yuliana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hukum Pemanfaatan Barang Gadai dalam Pandangan "Madzahibul Arba"

18 Maret 2019   06:20 Diperbarui: 4 Juli 2021   04:30 3490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum Pemanfaatan Barang Gadai (unsplash/markus spiske)

Artinya: Dari Abu Hurairah R.A berkata Rasul SAW bersabda: binatang yang digadaikan boleh ditunggangi dengan diberikan biaya jika ia digadaikandan susu binatang boleh diminum dengan diberikan biaya jika digadaikan. Orang yang mengendarai binatang itu dan meminum susunya diharuskan membayar biayanya(HR. Bukhari) 

Pengertian Rahn/Gadai

artinya: penahanan. Begitu pun jika dikatakan "ni'matun rohinah" artinya: karunia yang tetap dan lestari."(Sayyid Sabiq, hlm. 139.) Ar-rahnu juga berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan, bahwa rahn/gadai adalah terkurung atau terjerat.

 Menurut istilah syara', yang dimaksud dengan rahn/gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut panadangan syara' sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu,maka seluruh atau sebagian utang dapat diterima. (Ahmad Azhar Basir, 1983:50).

Sayyid Sabiq mengemukakan, bahwa rahn/gadai menurut syara' ialah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu. (Sayyid Sabiq, hlm.139) maksudnya ialah menjadikan penguasaan terhadap suatu harta benda sebagai jaminan piutang, dengan tujuan, dengan tujuan utang-piutang itu terjamin pemenuhan pembayarannya manakala terjadi kesulitan dalam pembayarannya."(MA. Tihami. 71)

Baca juga : Lulus PNS, Rame-Rame Gadai SK buat Newbiz UMKM!

Berdasarkan pemaparan berbagai definisi di atas, maka dapat di pahami bahwa rahn/gadai adalah jaminan yang diserahkan oleh pihak pengutang kepada yang memberi utang. Pemberi utang mempunyai kuasa penuh untuk menjual barang jaminan tersebut apabila pihak pengutang tidak mampu membayar utangnya saat jatuh tempo. 

Apabila uang hasil penjualan barang jaminan tersebut melebihi jumlah hutang, maka sisanya harus dikembalikan kepada pengutang,namum bila kurang dari jumlah utang, pihak pengutang harus menambahinya agar utang tersebut terbayar lunas. Apabila barang gadaian itu berupa barang yang mudah disimpan, seperti emas, pakaian, kendaraan, ternak dan sebgaianya, biasanya berada di tangan pihak penggadai.

Apabila barang gadaian itu berupa barang yang bisa diambil manfaatnya, pihak penerima gadai boleh mengambil manfaatnya sepanjang tidak mengurangi nilai aslinya, misalnya: kuda dapat ditunggangi, lembu atau kerbau dapat digunakan untuk membajak, mobil atau sepeda motor dapat dikendarai, dan juga jasa yang diperoleh diimbangi dengan ongkos pemeliharaan."(ibid)

Baca juga : Dede Sunandar Terpaksa Gadaikan Cincin demi Traktir Teman-temannya

Gadai  dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun. Menurut M. Abdul Madjid dkk, bahwa rukun rahn atau gadai yaitu: 1.lafadz (akad), rahin (oramg yang menggadaikan) dan murtahin ( orang yang menerima gadai), barang yang digadaikan, ada utang. Sedangkan syaratnya yaitu :  

Akad ijab qobul, 2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin), 3. Barang yang dijadikan jaminan (Borg, syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus di bayar, 4. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Pengambilan Manfaat Barang Gadai dari Pandangan 4 Madzhab.

 Akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin utang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama hal itu keadaanya demikian, maka orang yang memegang gada (murtahin) dapat memanfaatkan barang yang digadaikan, sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan (rahin). 

Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab  pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah 

Baca juga : Meralat Jokowi Tak Terlibat Kudeta, AHY Gadai Kredibilitas

... pemilik barang jaminan (agunan)berhak atas segala biaya barang jaminan itu.(HR. asy-Syafi'i dan ad-Duruquthni).

 Para ulama fiqih juga sepakat mengatakan bahwa barang yang di jadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindak ini termasuk tindakan menyia-nyiakan hartayang dilarang Rasulullah. (HR. at-Tirmidzi) 

Jumhur ulama fiqh, "(Ibnu Rushd, hlm. 272) selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang  barang jaminan tidak memamlnfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila yang berutang tidak mampu melunasi utangnya barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. 

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagaian ulama Hanafiyah membolehkannya."(Ibnu Abidin, hlm. 47) Karena dengan adanya izin maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. 

Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah laiannya "(Imam Al-Kasani, hlm.145) Ulama Malikiyah (Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, hlm. 241) dan Ulama Syafi'iyah (Imam As-Syafii, 1981 hlm. 147 ) berpendapat sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. 

Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara': sekalipun diizinkan dan diridhoi pemilik barang bahkan menurut mereka rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.

 Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagaian ulama Hanafiyah al-murtahin atau penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut boleh memanfaatkannya hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. (Wahbah az-Zuhaili, 1984, hlm.257)

Ulama malikiyah, Syafi'iyah dan sebagian ulama hanafiah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya maka al-murtahin boleh memanfatkannya  baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena, membiarkan hewan itu tersi-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh tirmidzi atas. (Ibid, 1979 hlm. 555).

Ulama Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 432-433) berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan itu berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. 

Akan tetapi menurut ulama' Hanabilah apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memperlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah , maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya ."(Ibid)

Ulama' Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak , maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedang ulama' Malikiyah san syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang,hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya (Wahbah az-Zuhaili,)

Disamping perbedaan diatas, para ulama fiqih juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu. Ulama' Hanafiyah (Imam al-Kasani, hlm. 146) Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 390) menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkanbpemiliknya yang menjadi jaminan barang itu jika diizinkan al-murtahin.Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya . apabila barang yang dimanfaatkan rusak, maka orangvyang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti ruginya.

Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah , karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun ,tidak perlu ada izin pemegang dari pemegang al-marhunm. 

Alasannya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak barang itu , baik kualitas dan kuantitasnya .OLeh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika di manfaatkan pemiliknya. maka pemilik bertanggung jawab atas barnag itu.

Berbeda dengan pendpaat diatas ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun baik diizinkan oleh murtahin maupun tidak. Karena barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak milik secara penuh."(Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, hlm. 241)

Menurut Fathi ad:duraini , kehatihatian ulama fqih dalam menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun,baik oleh ar-rahin maupun oleh al-murtahi bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Karena hakikat ar-rohan dalam islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya,hanya sekedar tolong menolong. 

Oleh sebab itu, para ulama menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad. Kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al-marhun maka akad ar-rahn itu dianggap tidak sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn itu sendiri."(Fathi ad-Duraini, hlm. 571) 

DAFTAR PUSTAKA

Sahrani Sahari dkk, Fiqih Muamalah, Ghalia Indonesia, Ciawi, Bogor, 2011. 

Mustofa Imam, Fiqih Muamalah Komtemporer, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016.

Haroen Nasrun, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama Jakarta, Jakarta Selatan, 2000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun