Mohon tunggu...
Yuliana
Yuliana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hukum Pemanfaatan Barang Gadai dalam Pandangan "Madzahibul Arba"

18 Maret 2019   06:20 Diperbarui: 4 Juli 2021   04:30 3490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum Pemanfaatan Barang Gadai (unsplash/markus spiske)

 Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagaian ulama Hanafiyah al-murtahin atau penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut boleh memanfaatkannya hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. (Wahbah az-Zuhaili, 1984, hlm.257)

Ulama malikiyah, Syafi'iyah dan sebagian ulama hanafiah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya maka al-murtahin boleh memanfatkannya  baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena, membiarkan hewan itu tersi-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh tirmidzi atas. (Ibid, 1979 hlm. 555).

Ulama Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 432-433) berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan itu berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. 

Akan tetapi menurut ulama' Hanabilah apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memperlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah , maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya ."(Ibid)

Ulama' Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak , maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedang ulama' Malikiyah san syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang,hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya (Wahbah az-Zuhaili,)

Disamping perbedaan diatas, para ulama fiqih juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu. Ulama' Hanafiyah (Imam al-Kasani, hlm. 146) Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 390) menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkanbpemiliknya yang menjadi jaminan barang itu jika diizinkan al-murtahin.Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya . apabila barang yang dimanfaatkan rusak, maka orangvyang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti ruginya.

Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah , karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun ,tidak perlu ada izin pemegang dari pemegang al-marhunm. 

Alasannya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak barang itu , baik kualitas dan kuantitasnya .OLeh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika di manfaatkan pemiliknya. maka pemilik bertanggung jawab atas barnag itu.

Berbeda dengan pendpaat diatas ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun baik diizinkan oleh murtahin maupun tidak. Karena barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak milik secara penuh."(Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, hlm. 241)

Menurut Fathi ad:duraini , kehatihatian ulama fqih dalam menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun,baik oleh ar-rahin maupun oleh al-murtahi bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Karena hakikat ar-rohan dalam islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya,hanya sekedar tolong menolong. 

Oleh sebab itu, para ulama menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad. Kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al-marhun maka akad ar-rahn itu dianggap tidak sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn itu sendiri."(Fathi ad-Duraini, hlm. 571) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun