Pikiran burukku mengarah pada rumah nomor 20. Mungkinkah rumah itu digrebek oleh polisi dan ditemukan bom rakitan di sana? Apakah kemudian penghuninya melawan lalu terjadi baku tembak? Atau tembakan polisi mengenai salah satu bom rakitan hingga meledak? Membayangkannya saja, membuat bulu kudukku merinding.
Setelah 15 menit berlalu, aku mendengar suara pintu depan yang dibuka diikuti suara suamiku memberi salam. Aku bergegas keluar diikuti anak-anak untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Ada yang tertembak?" tanyaku begitu suamiku berbalik setelah menutup pintu depan.
"Betul," jawab suamiku.
"Mereka betul-betul teroris?" tanyaku lagi.
"Siapa?" tanyanya balik.
"Penghuni rumah nomor 20, Pah," jawabku gemas.
"Bukaaaann," seru suamiku. "Penembakannya tidak terjadi di rumah nomor 20. Rumah Pak Nasution yang digrebek oleh polisi dan petugas KPK. Pak Nasution mau melarikan diri dengan mobilnya saat petugas KPK menggeledah rumahnya. Jadi, ban mobilnya terpaksa ditembak oleh polisi."
"Pak Nasution itu yang pejabat Kementerian ESDM?" tanyaku.
Suamiku mengangguk. Aku membulatkan mataku dan menatapnya tajam.
"Suaminya Bu Patia?" teriakku.