Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Nomor 20

20 Januari 2019   10:08 Diperbarui: 20 Januari 2019   11:00 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah nomor 20 itu penampilannya sama seperti rumah kanan dan kirinya yang masih belum berpenghuni. Rumah tipe 36 sederhana dengan cat tembok berwarna putih dan pagar tembok sepinggang orang dewasa. Dia mempertahankan bentuknya yang asli dari pengembang walaupun sudah dihuni lebih dari setahun. Tidak seperti rumah milik pejabat Kementerian ESDM di ujung jalan yang diperbesar hingga 'memakan' rumah di sebelahnya. Tidak juga seperti rumahku yang kuperkecil karena harus berbagi dengan mobil dan motor. Halaman depannya tidak menarik seperti rumah Bu Sastro, istri pensiunan pegawai Kantor Pos, yang cerah dan berhiaskan aneka rupa bunga. Namun tidak juga terkesan kumuh seperti rumah di depanku yang sudah 5 tahun tidah berpenghuni. Rumah itu, nampak seperti itu saja.

Saat aku mengantar anakku ke sekolah, aku melihat mereka keluar rumah. Iya, penghuni rumah nomor 20 itu. Seorang pria berusia 40 tahunan yang berkopiah putih dengan kemeja hitam dan celananya yang hanya sampai di atas mata kaki. Saat aku melewati rumah itu, aku melihat dia masuk dalam mobil Kijang Innova keluaran lama, yang diparkir di halaman rumah, diikuti oleh 3 orang anak perempuan yang mengenakan rok merah dengan jilbab yang menutupi seluruh baju atasannya.

Di depan pintu, seorang perempuan menggunakan baju kurung dan cadar melambaikan tangannya. Begitu mobil yang membawa suami dan anak-anaknya pergi, dia segera masuk dan menutup pintu rumahnya. Begitu saja rumah itu nampak tidak berpenghuni, sampai pukul 5 sore suami dan anak-anaknya datang lagi ke rumah itu.

Pada hari libur, rumah itu seringnya tampak seperti tidak berpenghuni. Tidak seperti rumahku yang riuh dengan suara anak-anakku. Tidak juga seperti rumah pejabat di ujung jalan yang selalu menggelar open house di hampir setiap hari Minggu. Yah, pernah sekali aku melihat rumah nomor 20 didatangi oleh banyak orang. Entah berapa orang yang datang. Yang jelas, ada 3 buah mobil jenis SUV yang terparkir di depan rumah itu.

"Aku curiga, mereka adalah teroris," demikian yang selalu dikatakan Bu Patia, istri pejabat Kementerian ESDM yang tinggal di ujung jalan, bila kami kebetulan sedang membicarakan rumah nomor 20 itu.

Aku bukannya mau bergosip. Tapi memang penghuni rumah nomor 20 itu tidak pernah bersosialisasi dengan kami. Pernah sekali aku mengajak Nyonya Rumah Nomor 20 ikut arisan saat dia masih baru datang. Namun dia enggan. Alasannya, dia tidak boleh keluar rumah bila tidak bersama suaminya. Baiklah. Aku sih tidak memaksa. Kalau orang tidak mau, alasan apapun yang dia sampaikan harus bisa kita terima, kan? Namun Bu Patia sebagai sekertaris perkumpulan PKK di sini, nampaknya belum bisa menerima alasan itu.

"Kita tidak boleh menuduh, Bu Patia," sergahku.

"Bu Siska nggak inget kejadian teroris di Surabaya, yang satu keluarga itu pelakunya?" tanyanya sambil melotot. "Saya curiga mereka bagian dari organisasi itu."

"Saya tahu, Bu. Namun tetap saja kita tidak boleh menuduh tanpa bukti. Kalau ternyata mereka bukan teroris kan kita jadi memfitnah mereka," kataku.

Bu Patia hanya mengendus kesal bila aku sudah berkata seperti itu. Kalau boleh jujur, aku juga sebenarnya menaruh curiga pada mereka. Aku beragama Islam juga. Tapi aku tidak sampai harus mengenakan cadar bila hanya untuk melambaikan tangan pada suami di depan pintu rumah. Aku tetap keluar rumah untuk bersosialisasi meskipun tidak diantar suami. Yang penting, anak-anak sudah terkondisikan dan aku sudah memberi kabar pada suamiku. Toh aku mengantar anak-anakku ke sekolah sendiri karena suamiku harus berangkat sebelum pukul 5.30 pagi. Aku curiga mereka berasal dari Islam garis keras yang seperti di TV itu.

Suatu pagi buta, ketika aku hendak memasak seusai solat subuh, aku mendengar suara tembakan. Tidak keras. Namun terdengar jelas yang disusul dengan suara ledakan. Aku segera masuk ke kamar untuk menhampiri suamiku yang sedang membereskan kasur. Dia memintaku untuk menghampiri anak-anak. Dia mau keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Aku segera masuk ke kamar anak-anak dan merangkul mereka yang sudah terbangun.

Pikiran burukku mengarah pada rumah nomor 20. Mungkinkah rumah itu digrebek oleh polisi dan ditemukan bom rakitan di sana? Apakah kemudian penghuninya melawan lalu terjadi baku tembak? Atau tembakan polisi mengenai salah satu bom rakitan hingga meledak? Membayangkannya saja, membuat bulu kudukku merinding.

Setelah 15 menit berlalu, aku mendengar suara pintu depan yang dibuka diikuti suara suamiku memberi salam. Aku bergegas keluar diikuti anak-anak untuk mengetahui apa yang terjadi.

"Ada yang tertembak?" tanyaku begitu suamiku berbalik setelah menutup pintu depan.

"Betul," jawab suamiku.

"Mereka betul-betul teroris?" tanyaku lagi.

"Siapa?" tanyanya balik.

"Penghuni rumah nomor 20, Pah," jawabku gemas.

"Bukaaaann," seru suamiku. "Penembakannya tidak terjadi di rumah nomor 20. Rumah Pak Nasution yang digrebek oleh polisi dan petugas KPK. Pak Nasution mau melarikan diri dengan mobilnya saat petugas KPK menggeledah rumahnya. Jadi, ban mobilnya terpaksa ditembak oleh polisi."

"Pak Nasution itu yang pejabat Kementerian ESDM?" tanyaku.

Suamiku mengangguk. Aku membulatkan mataku dan menatapnya tajam.

"Suaminya Bu Patia?" teriakku.

"Iya," jawab suamiku. "Yang rumahnya besar di ujung jalan itu."

Aku terdiam selama beberapa saat. Aku tersadar ketika suamiku meneriaki anak-anak untuk segera mandi.

"Jadi suami Bu Patia korupsi?" tanyaku.

"Kita tidak tahu apakah dia korupsi atau tidak sampai pengadilan memutuskannya," jawab suamiku.

"Kupikir, tadi itu polisi menggrebek rumah nomor 20..." gumamku.

"Kenapa Mama pikir begitu?" tanya suamiku yang baru kusadari dia belum beranjak kemana-mana.

"Papa memang tidak curiga pada mereka?" tanyaku balik.

"Tidak. Mengapa harus curiga?" tanyanya lagi.

"Ya karena... karena..."

Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat. Kata-kata yang tepat untuk mewakili kecurigaanku namun tetap menunjukkan kebijaksanaanku.

"Karena mereka berbeda?" tanya suamiku.

Aku menggaruk kepalaku. Malu untuk mengakuinya. Atau hanya sekadar takut dimarahi oleh suamiku? Entahlah. Aku juga bingung. Suamiku berkali-kali berkata padaku dan anak-anak bahwa kami tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain walaupun dia terlihat aneh di mata kami. Setiap orang pasti punya alasannya masing-masing untuk bersikap seperti ini dan seperti itu. Tetapi boleh kan ya kalau kita waspada?

"Nyatanya, yang bermasalah dengan hukum adalah suami Ibu Patia," kata suamiku sambil menepuk pundakku. "Orang yang sangat ramah dan terbuka dengan kita semua. Bahkan dia adalah teman baik kita, kan?"

Aku masih diam saja. Mencerna kata-kata yang dilontarkan oleh suamiku.

"Kalau orang yang terbuka dengan kita saja bisa menyembunyikan sesuatu, berarti yang tertutup lebih berpeluang, dong Pah?" tanyaku pada akhirnya.

Suamiku menatapku dengan tatapan yang aneh. Agak lama kemudian dia bangkit dari kursinya dan berkata, "kita wajib waspada tapi tidak boleh curiga berlebihan. Itu saja, Mah. Yang penting sekarang, aku harus berangkat kerja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun