Mohon tunggu...
Meike Juliana Matthes
Meike Juliana Matthes Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai alam, budaya, dunia literasi, dan olahraga

Menghargai perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Memaknai Puisi Joko Pinurbo "Doa Seorang Pesolek"

6 Mei 2024   16:25 Diperbarui: 6 Mei 2024   17:13 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar seminggu yang lalu, media massa Indonesia termasuk Kompasiana, memberitakan tentang berpulangnya seorang penyair tanah air, Joko Pinurbo. 

Terus terang, saya tidak tahu siapa Joko Pinurbo sampai berita kemarin itu, mungkin karena saya sudah cukup lama tidak bermukim di tanah air atau karena jarang meng-update berita kesusatraan di Indonesia.   

Hal ini membuat saya sejak beberapa hari kemarin, mulai mencari tahu lebih tentang siapa Joko Pinurbo berikut karya-karyanya. 

Aku mendapati, Jokpin, sebagaimana dia biasa disapa telah mewarnai khasanah sastra nusantara dengan kata-katanya dalam berpuisi yang dikemas secara apik, jenaka, dan menyentil kenyataan sosial masyarakat.

Dari seluruh karya-karyanya yang sangat menginspirasi, ada satu yang ingin kucoba maknai saat ini yaitu puisi "Doa Seorang Pesolek". 

Puisi adalah karya sastra yang berisi pesan dan makna lewat rangkaian kata-kata indah dan bermajas.  Makna puisi bisa tersirat dan tersurat.  Untuk bisa menangkap makna puisi, dibutuhkan pengetahuan, perasaan, dan pengalaman para pembaca masing-masing. Hal ini menyebabkan setiap orang bisa menafsirkannya berbeda-beda.

Saat ini saya akan menyelam untuk mencari "mutiara" atau makna apa yang terkandung di dalam kata-kata Joko Pinurbo dalam puisinya ini:

Doa Seorang Pesolek

Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.

Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku

sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kau senyapkan warna.

Sebelum Kau oleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata.

Menurutku, puisi ini mengambil simbol "Pesolek" yang mewakili banyak orang yang selalu berusaha memberikan yang terbaik. Puisi ini melukiskan keresahan, penerimaan, dan penyerahan.

Pada bait pertama, pesolek menaikkan doa dengan menyapa "Tuhan yang cantik".  Dalam penggunaan sapaan ini, terlihat jelas bahwa unsur kecantikan adalah hal yang sangat penting bagi seorang pesolek.   

Seperti bagi orang yang ingin keadilan, akan menyapa dengan  "Tuhan yang adil", bagi orang yang ingin kebijaksanaan akan menyebut "Tuhan yang bijaksana",  bagi orang yang merasa kecil dengan "Tuhan yang besar", orang yang ingin dikasihi dengan "Tuhan yang pengasih", dan masih banyak sebutan lain. 

Di baris kedua, pesolek meminta Tuhan untuk menemaninya di rimba kosmetik. 

"temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik." 

Pesolek dalam puisi ini, meminta Tuhan untuk menemani dia dan turut merasakan apa yang dia rasakan.  

"temani aku yang sedang menyepi"

Tidak baik-baik sajakah si pesolek sampai-sampai dia ingin ditemani Tuhan?

Menyepi atau rehat sejenak dari hiruk-pikuk dunia adalah waktu yang digunakan untuk merenung akan artinya hidup dan lebih memikirkan nilai-nilai kehidupan yang lebih mulia dan kekal daripada nilai-nilai yang bersifat sementara yang akan tersapu dengan waktu. Setiap orang perlu waktu untuk sendiri, saat dia bertanya, bergumul, dan mencari jawaban akan kehidupannya.  Saat seseorang menaikkan doa dan pengharapan, dia ingin lebih dekat kepada Penciptanya.

Meskipun aku bukanlah seorang pesolek, tapi sebelum memulai aktivitasku di pagi hari, aku akan membasuh diri dan mematut diri sebentar di depan cermin untuk kenyamanan diri: menyisir rambut, memupuri wajah, dan mengoleskan pelembab bibir berwarna ceri.

Pada beberapa tahun terakhir ini, aku mulai meneliti lebih seksama siapa perempuan yang ada di cermin yang aku lihat setiap pagi itu. Tampilan perempuan itu tidak seperti dulu lagi.   

Ada cukup banyak perubahan terlihat di wajahnya. Rambutnya meskipun masih panjang terurai, tapi warnanya tidak lagi hitam mengkilat atau sudah agak suram. Uban sudah terlihat, terlebih di ubun-ubun kepala, ujung-ujung rambut pun kering dan pecah-pecah. 

Kerutan di ujung kelopak mata dan garis senyum di antara hidung dan ujung bibir yang beberapa tahun lalu masih samar-samar kini nampak cukup jelas. Kulit wajah juga tidak sebersinar dulu dan ada bintik-bintik hitam yang muncul di area pipi. Ini bukannya kurang perawatan, tapi memang sudah waktunya.

Aku pikir, aku bukanlah satu-satunya perempuan yang memperhatikan perubahan-perubahan fisik diri. Ada juga perempuan-perempuan lain di luar sana bahkan laki-laki pun, yang menurut banyak orang "bisa lebih menerima kenyataan".  Mereka juga akan kepikiran saat mendapati diri kehilangan kekuatan masa muda atau saat otot-otot mulai mengendur.

Tentu saja, kecantikan, ketampanan, kekuatan bukan hanya apa yang tampak dari luar, tapi yang terpenting adalah apa yang ada di dalamnya.  Hampir semua orang tahu itu, tetapi kembali sebagai manusia biasa, sejujurnya, ini bukanlah hal yang dilewati seperti "menjentikan jari" saja, apalagi bagi seorang yang suka bersolek.

Dalam puisi ini, si pesolek merasa telah ada yang berubah atau kurang pada dirinya dan dia meminta agar kecantikannya dipertahankan:

"Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram." 

Bagi seorang pesolek: rambut, alis, mata, bibir, dan make-up yang dipakai memegang peranan penting dalam keseharian bahkan kehidupannya. Seperti halnya bagi seorang olahragawan: kekuatan, stamina, kecepatan, kelenturan tubuh.  Bagi seorang penyair: ketajaman pemilihan kata, menyusun konsep pemikiran, membangun rasa yang kemudian menuangkan semua itu dalam kalimat. Setiap kerja, profesi, hobi, memiliki berbagai ketrampilan. 

Setiap orang yang berusaha menampilkan hal terbaik dari dirinya lewat kreasi dan aktivitasnya. Seorang koki lewat masakan yang mereka racik.  Seorang penyair dengan pemilihan keanggunan kata-kata. Seorang pemain bola lewat kepiawaian mengiring bola dan tehnik-tehnik operan.  Pemain piano lewat jari-jemarinya yang menari di atas tuts-tuts piano.

Adalah suatu hal yang sering tidak mudah diterima jika suatu saat kecantikan, ketampanan, kekuatan atau kemahiran yang dimiliki seseorang itu berkurang atau memudar.  Merasa diri lemah tak berdaya, tidak seperti dulu lagi, mungkin karena sakit atau usia. Pada saat itu akan muncul rasa takut, khawatir, dan gelisah.

Semua rasa yang hadir adalah hal yang manusiawi karena manusia hanyalah seonggok darah dan daging yang penuh kelemahan.

"Hangatkan merah
pada bibirku yang resah." 

Si pesolek memohon kepada Tuhan agar dirinya ditenangkan dari rasa takut dan khawatir akan kelemahan-kelemahannya itu.

Sesudah itu dia memohon agar waktu jangan terlalu cepat berlalu agar kecantikannya masih bisa bertahan:

"Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur."

Tapi di tengah-tengah doa yang dipanjatkannya, dia sadar bahwa hidup ini fana, tiada yang abadi di kolong langit: kecantikan, kekayaan, kemakmuran. Manusia itu lemah dan terbatas.

Pesolek itu sadar akan waktu yang diberikan kepadanya terbatas, maka dia berusaha menggunakan waktu itu sebaik-baiknya dan tetap bersuka-cita dengan sisa waktu itu.

"Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku."

Dia memahami bahwa suatu saat waktu yang diberikan kepadanya akan habis. Semua akan berakhir dan dia akan dipanggil menghadap Sang Pemilik Kehidupan:

"sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kau senyapkan warna."

Jika di bait-bait sebelumnya, berisi keresahan, tapi di bait ini, kita bisa melihat suatu bentuk penyerahan.

Kemudian di bait selanjutnya berisi penerimaan.

"Sebelum Kau oleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata." 

Sepertinya ada hal inti yang ingin disampaikan lewat puisi ini bahwa berhentinya waktu bagi manusia atau akhir kehidupan bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi merupakan hal yang indah apabila kita telah menunaikan tugas kita di bumi dengan baik lewat karunia dan talenta kita masing-masing.

Tuhan akan menghiasi pesolek itu dengan "lipstik terbaik" .  Bukankah kata "terbaik" adalah apa yang kita semua harapkan?!

Hati kita akan lapang dan bahagia menerima akhir perjalanan hidup jika kita tidak menyia-nyiakan waktu yang Tuhan sudah beri.   

Hidup adalah anugerah.  Hidup adalah kesempatan untuk bekerja dan berkarya sesuai dengan karunia dan kemampuan kita masing-masing. Hidup ini harus jadi berkat bagi sesama kita dan alam semesta.

Lewat puisi Jokpin ini, aku merenungkan kembali bahwa sang waktu berjalan yang membawaku pada suatu masa dimana diri tidak kuat lagi dan akan sampai pada akhirnya.  

Ini adalah realita yang membuatku lebih memikirkan arti hidup dan bagaimana menjalani kesempatan yang masih Tuhan berikan kepadaku.

Selamat Jalan, Joko Pinurbo.  Meskipun kau telah pergi, "bibirku yang mati kata", tapi karya-karyamu akan terus menginspirasi banyak orang dan dikenang dalam pencarian makna kehidupan dibalik untaian kata-katamu yang indah dan bermajas.

Selamat beristirahat dalam kedamaian, Jokpin.

Dari Meike Juliana Matthes, 

seorang yang mengenal karya-karyamu setelah kau berpulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun