"Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur."
Tapi di tengah-tengah doa yang dipanjatkannya, dia sadar bahwa hidup ini fana, tiada yang abadi di kolong langit: kecantikan, kekayaan, kemakmuran. Manusia itu lemah dan terbatas.
Pesolek itu sadar akan waktu yang diberikan kepadanya terbatas, maka dia berusaha menggunakan waktu itu sebaik-baiknya dan tetap bersuka-cita dengan sisa waktu itu.
"Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan menghangatkanku."
Dia memahami bahwa suatu saat waktu yang diberikan kepadanya akan habis. Semua akan berakhir dan dia akan dipanggil menghadap Sang Pemilik Kehidupan:
"sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.
Sebelum Kau senyapkan warna."
Jika di bait-bait sebelumnya, berisi keresahan, tapi di bait ini, kita bisa melihat suatu bentuk penyerahan.
Kemudian di bait selanjutnya berisi penerimaan.
"Sebelum Kau oleskan lipstik terbaik
ke bibirku yang mati kata."Â
Sepertinya ada hal inti yang ingin disampaikan lewat puisi ini bahwa berhentinya waktu bagi manusia atau akhir kehidupan bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi merupakan hal yang indah apabila kita telah menunaikan tugas kita di bumi dengan baik lewat karunia dan talenta kita masing-masing.
Tuhan akan menghiasi pesolek itu dengan "lipstik terbaik"Â . Â Bukankah kata "terbaik" adalah apa yang kita semua harapkan?!