Telur dan tempe goreng kuletakkan di atas amben, dan segera kembali berjalan mengambil bakul nasi yang sebenarnya telah matang terlebih dulu. Namun sengaja kuhidangkan terakhir kali, dengan harapan tidak timbul pertanyaan-pertanyaan lagi oleh mata jeli anak-anakku itu.Â
Kembali aku tak bisa terus bersembunyi. Ini adalah kenyataan, aku paham bahwa diriku harus menghadapinya. Semua yang terjadi dari awal sampai saat ini adalah ketentuan takdir. Sebelum semua benar-benar menyisa kenangan inilah yang kubisa, menghadapinya. Aku masih berusaha menyembunyikan genangan basah di sudut mata.Â
Tiba-tiba Danang berteriak, "wah ... Emak masak nasi varian baru. Biasanya nasi berwarna putih ataupun merah, tapi kali ini berwarna kelabu."Â
"Iya benar, pasti lebih enak dari biasanya," jawab Rara tak kalah girang.
Aku berkata dalam hati, sebentar lagi kebahagian mereka akan benar-benar hilang tanpa bekas. "Aku tak takut dengan kehilangan, karena kehilangan sesungguhnya adalah tidak adanya sebuah kesempatan. Yang paling kutakutkan adalah diambilnya kesempatan untuk membahagiakan mereka."
Perlahan senyum mereka memudar, menghilang, rona merah di kedua pipi Rara menjadi seputih pualam. Diiringi sepoi angin dan isak tangis hatiku sendiri. Namun masih sempat kusaksikan suapan terakhir di mulut Danang.Â
Danang melotot, lalu tertawa keras. Sambil membersihkan piring dari sisa biji-bijian nasi, memasukkannya ke dalam mulut ia berkata, "suara kriek-kriek di nasi ini bisa menggantikan kerupuk, Mak."Â
"Iya, nasinya enak banget, Mak." Rara menandaskan makan di mulutnya dengan segelas air putih.Â
"He'eh. Enaaakkk ...." Sari mengacungkan dua jempol yang masih ditempeli biji-biji nasi.
Gerimis tak lagi bisa kusembunyikan, aku mengecup kepala Sari, Memeluk Rara, dan memberikan senyum ke arah Danang. Selengkung senyum tipis, serupa pecahan gelas, pedih. Tiba-tiba hujan kembali menderas, seakan alam semesta mengerti betapa duka mampu diusir minggir dengan ribuan sayap syukur yang kami miliki.
Surabaya, April 2022