"Bukankah setiap duka kita, selalu saja ada berkah untuk yang lainnya," kataku lirih, seperti pada diri sendiri.
"Jadi ...."
Aku meremas kantong hitam di samping kanan Sari.Â
"Hujan hanya memberikan jeda sesaat untuk kita pulang, memasak, dan melihat bening mata bahagia Mas Danang dan Mbak Yu mu, Sari."
Pelukan kurapatkan dengan harapan bocah itu tidak merasa kedinginan. Ia begitu bahagia melihat hujan, sesekali menunjuk kucing hitam yang masih saja asyik bermain-main dengan tetesan air dari atap halte yang berlubang.
Sebenarnya tak ada yang lebih membahagiakan jika saja hujan lebih cepat reda, menjadi ritmis yang tersekat, dan menyisa jejak pada hawa dingin. Binatang-binatang mulai berhamburan kembali, dan kucing tanpa indukan tadi mulai membersihkan sisa tetes hujan di kedua kaki dengan jilatan. Dari halte tempat kami berteduh, kembali kurangkai harapan. Pulang, kembali berjalan, dan memeluk hangat malam ini dengan tawa anak-anak.
Kuulurkan tangan ke langit, memastikan bahwa hujan benar-benar telah mengucapkan pamit. Namun sial, tanpa sengaja tangan kiriku menyenggol bungkusan kantong kresek di sisi dalam tubuh.
"Mengapa kebodohan masih tersisa hingga usia setua ini," umpatku.Â
Kantong kresek hitam berisi beras dan sebungkus telur jatuh berhamburan.Â
"Bukankah keteledoran bisa berkurang seiring usia? Bukankah duka seharusnya dibagi rata? Lalu mengapa hanya kepadaku saja."
Pias sendu terpancar dari wajahku. Cahaya terang beberapa detik lalu benar telah hilang. Keinginan untuk lekas pergi dari halte harus terhalang dengan insiden jatuhnya kantong hitam. Biji-biji beras yang berserakan harus dikumpulkan kembali. Meski dengan sisa ketabahan hati, memilah antara biji pasir dan sedikit genangan air harusnya bukan pekerjaan yang sulit. Namun terasa begitu menyusahkan. Seperti ada ruangan tersembunyi yang tidak bisa dimasuki siapapun.Â