Hidup sebagai seorang siswa adalah hal yang terburuk. Kita hanya bisa tinggal di dalam kelas dan belajar. Bahkan di dalam cuaca yang sangat bagus seperti ini, orang-orang dewasa pergi berlibur, piknik ke pantai, atau memandang keindahan gunung. Tapi tidak bagi seorang pelajar, apalagi jika masa ujian datang, Astaga ... melelahkan.
"Cuacanya sangat bagus, bukan." Ajakan bolos dari teman-teman kutangkap sebagai sesuatu yang menyenangkan.
"Apakah kau sangat membenci sekolah," tanya salah satu dari mereka.Â
"Ya."Â
Berempat kita berlari-lari di antara kesunyian kebun Raya Purwodadi yang ada di kota Malang. Kota dingin itu menjadi tujuan bolos kita kali ini.
Aku kira membolos adalah salah satu kehormatan bagi mereka. Namun tidak bagiku, membolos hanyalah sebuah kesalahan yang kusesali hingga saat ini. Lagi pula mereka semua akan melupakanku. Solidaritas antar teman membuatku terjebak melakukan kebodohan-kebodohan yang menjadi akar segala permasalahan saat ini.Â
Jika saja saat itu tidak sering melakukannya mungkin nilai akademis yang kuperoleh bisa di atas rata-rata, dengan begitu aku bisa mendapatkan kemudahan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Namun mau bagaimana lagi melepaskan satu hari pelajaran dengan imbalan habisnya dagangan permen dan kacang tanpa menunggu berakhir kelas, masih menjadi iming-iming yang menggiurkan dari mereka.Â
Ibu bahkan tidak mau tahu, apakah jempol di jari kaki bisa keluar dari sol sepatu yang saat itu kukenakan. Yang ibu tahu hanya bagaimana perut kami terisi dengan nasi meskipun bukan dengan kualitas prima. Sementara Bapak telah melepaskan tanggung jawab membesarkan kami, aku dan ketiga adikku. Semenjak adik terkecilku lahir Bapak dipanggil Tuhan karena penyakit TBC yang dideritanya. Otomatis sedikit tanggung jawab atas kebutuhan adik-adik menjadi tanggunganku.Â
Aku pikir bagaimanapun harusnya saat itu, aku belajar. Bahkan mungkin saat kesempatan belajar itu tidak lagi ada. Kecuali saat kita ingin melupakan segala kehidupan ini. Mungkin lebih baik menyimpan sedikit ilmu pengetahuan sebagai kenangan yang nantinya bisa digunakan di masa depan.Â
"Mak, aku lapar?" Suara rengekan bocah di samping menghentikan lamunan panjangku.
"Mungkin air ini bisa sedikit menghilangkan rasa laparmu," bisikku pada Sari. Anak itu hanya cemberut menerima sebotol air yang kubawa dari rumah tadi pagi.
"Tunggu di sini,"Â
Aku berdiri dan mengambil sapu ijuk panjang yang tergeletak di sampingnya. Kutinggalkan bocah 2 tahun itu terduduk di trotoar, lalu bergegas menyapu. Jalanan yang mulai sepi siang ini membuatku ingin segera menyelesaikan pekerjaan. Angan-angan untuk sampai ke rumah dan membeli beras dengan uang yang ada di saku celana begitu membuat rasa tidak sabaran.
Ya. Uang pemberian seseorang sebagai wujud terima kasih, karena telah meminta sebagian air minum yang kubawa untuk mengisi air radiator mobilnya yang kering. Uang itu kusimpan baik-baik.Â
Cuaca yang terik dan hari libur membuat jalanan terlihat lengang. Mobil yang lewat juga tampak satu-satu. Mungkin hanya kami yang masih bersahabat dengan jalanan di musim kemarau, aku dan Sari anakku. Tidak ada satu pun ibu yang ingin membawa anaknya bekerja di jalananan, bahkan tidak di kantor yang ber-Ac. Hanya keterpaksaan melakukannya. Sementara Danang sudah cukup kerepotan menjaga Rara di rumah setelah pulang sekolah. Sehari setelah Bapaknya pergi bersama perempuan lain.
Meskipun tidak memiliki pekerjaan tetap, namun lelaki itu cukup jago menggaet perempuan-perempuan muda yang bisa memberikan kenyamanan, khusus untuk dirinya sendiri.
Bagi sebagian anak setelah pulang sekolah biasanya waktu dihabiskan untuk bermain-main dengan teman. Namun tidak bagi putraku, dia harus bergegas pulang karena aku harus segera berangkat kerja dengan membawa Sari. Untunglah Kepala Pimpinan di tempatku bekerja berbesar hati memberikan pekerjaan hanya dengan satu shift saja. Sehingga waktu tidak menjadi masalah bagi kami.Â
Rasa sakit di perut membuatku menghentikan pekerjaan. Rasa lapar tidak hanya dirasakan oleh Sari, tetapi juga olehku. Sarapan tadi pagi, Nasi Goreng Terasi sisa nasi kemarin tidak sampai mampir ke perutku. Untuk tiga anak saja sudah lebih dari cukup, setidaknya hilang rasa khawatir Danang dan Rara akan kelaparan saat kutinggalkan seharian.Â
Aku menarik napas panjang, lalu mengelap keringat di dahi dengan ujung jilbab hitam yang kukenakan.
"Ayo, Sri. Jangan manja," gumamku.Â
Kuarahkan pandangan ke wajah Sari. Bocah itu sedang asyik mencoret-coret buku gambar dengan crayon yang dibawanya dari rumah.Â
Suara lirih ternyata membuatnya melihat ke arahku. Senyum tersungging di bibir mungilnya.
"Emak ...," teriaknya seraya mengangkat buku gambarnya tinggi di atas kepala.
"Iya ...."Â
Kuanggukan kepala memberikan sedikit perhatian. Seketika hilang rasa sakit-sakit yang mendera raga. Kembali kupercepat ayunan sapu di tangan, senyum ketiga anakku bergantian terbayang di pelupuk mata, membentuk sebuah rangkaian film yang mana akhir ceritanya kuinginkan bahagia.
***
Hujan mulai turun, entah beberapa hari ini hujan selalu saja cepat turun. Aku berkata pada diri sendiri, dengan mengibaskan ujung rok panjang yang menutupi kedua mata kaki.
"Entah kenapa hujan selalu saja hadir di musim-musim kemarau? Sementara orang-orang begitu menyukai hujan dan tak ingin mengenal kemarau."Â
Di halte tempatku bersandar sejenak melepas lelah, seraya menunggu tetes-tetes hujan sedikit berkurang. Tak ada orang lain selain aku dan Sari. Tempias hujan sedikit menyentuh ujung rambutnya yang memerah terbakar oleh Matahari. Jalanan terasa semakin sunyi. Hanya sesekali celoteh anakku itu menghadirkan tawa di antara kita.
"Lihat, ada anakkan kucing yang ikut berteduh, Sayang."Â
Sudut mata Sari mengikuti arah telunjukku, ke arah anakan kucing hitam yang meringkuk di dekat tiang halte.
"Mungkin saja induknya tak sengaja kehilangan sabar dalam menjaga, lantas meninggalkannya sendirian di jalanan," pikirku.
Hujan turun membawa berkah bagi siapa saja, para penjual mantel hujan, penjaja gorengan, dan juga anak-anak penjual jasa peminjaman payung. Hujan selalu memberi hidup baik dan buruk. Ia tak pernah menghiraukan hujatan atau pujian. Semua sama saja, turun, menggenang, dan mengalir hilang begitu reda.Â
"Bukankah setiap duka kita, selalu saja ada berkah untuk yang lainnya," kataku lirih, seperti pada diri sendiri.
"Jadi ...."
Aku meremas kantong hitam di samping kanan Sari.Â
"Hujan hanya memberikan jeda sesaat untuk kita pulang, memasak, dan melihat bening mata bahagia Mas Danang dan Mbak Yu mu, Sari."
Pelukan kurapatkan dengan harapan bocah itu tidak merasa kedinginan. Ia begitu bahagia melihat hujan, sesekali menunjuk kucing hitam yang masih saja asyik bermain-main dengan tetesan air dari atap halte yang berlubang.
Sebenarnya tak ada yang lebih membahagiakan jika saja hujan lebih cepat reda, menjadi ritmis yang tersekat, dan menyisa jejak pada hawa dingin. Binatang-binatang mulai berhamburan kembali, dan kucing tanpa indukan tadi mulai membersihkan sisa tetes hujan di kedua kaki dengan jilatan. Dari halte tempat kami berteduh, kembali kurangkai harapan. Pulang, kembali berjalan, dan memeluk hangat malam ini dengan tawa anak-anak.
Kuulurkan tangan ke langit, memastikan bahwa hujan benar-benar telah mengucapkan pamit. Namun sial, tanpa sengaja tangan kiriku menyenggol bungkusan kantong kresek di sisi dalam tubuh.
"Mengapa kebodohan masih tersisa hingga usia setua ini," umpatku.Â
Kantong kresek hitam berisi beras dan sebungkus telur jatuh berhamburan.Â
"Bukankah keteledoran bisa berkurang seiring usia? Bukankah duka seharusnya dibagi rata? Lalu mengapa hanya kepadaku saja."
Pias sendu terpancar dari wajahku. Cahaya terang beberapa detik lalu benar telah hilang. Keinginan untuk lekas pergi dari halte harus terhalang dengan insiden jatuhnya kantong hitam. Biji-biji beras yang berserakan harus dikumpulkan kembali. Meski dengan sisa ketabahan hati, memilah antara biji pasir dan sedikit genangan air harusnya bukan pekerjaan yang sulit. Namun terasa begitu menyusahkan. Seperti ada ruangan tersembunyi yang tidak bisa dimasuki siapapun.Â
Aku mulai berpikir apakah Tuhan menciptakan kesabaran tidak terbatas waktu? Selagi ada kesempatan Ia akan terus meninggalkan duka-duka sebagai penguji. Seberapa besar nilai kesabaran menguasai kehidupan ini. Pun begitu dengan menjadi siswa dan belajar, selagi kesempatan masih ada.
***
Aku telah sampai di depan pawon di ruang belakang. Yang di kanan-kirinya hanya ada ruangan-ruangan berkelambu sebagai sekat satu di antara kamar lainnya. Di atas amben Danang, Rara, dan Sari tengah duduk dengan sedikit risau. Lalu Rara mengajukan satu pertanyaan yang selalu sama setiap harinya.
"Makan apa kita malam ini, Mak?"Â
Dua pasang mata yang lain ikut terarah kepadaku. Mungkin hanya pertanyaan itu satu-satunya yang mewakili kegusaran hati, karena setiap hari menunggu kapan waktu makan menjadi aktivitas yang membosankan untuk diulang bagi ketiganya.
"Pasti Emak masak istimewa hari ini," kata Danang bersemangat.Â
"Emak tahu tidak tadi saat hujan deras, aku dan Dek Rara dimintai tolong Mang Jupri buat ngandangin kambing ternaknya," imbuh Danang.
Aku tersenyum lembut, mengelus rambut halus Rara dan mencubit pipinya.Â
"Pasti dek Rara senang mainan hujan ya, awas saja kalau sakit," kataku pura-pura marah.Â
"Kalau sakit tinggal beli obat, Mak." Rara mengangsurkan uang sepuluh ribuan pemberian Mang Jupri kepadaku. Entah kenapa tangan ini tiba-tiba terserang Tremor, getaran kecil itu hadir seiring dengan desir di dalam dada. Menghadirkan mendung yang sebisa mungkin kutahan agar tak menjadi hujan di kedua mata. Karena bagaimanapun hujan cukup membawa ketidakbaikan untuk keluarga ini. Selain tempias di sana-sini, hujan juga memperpanjang waktu pemberian makan bagi ketiga anakku.
**
Telur dan tempe goreng kuletakkan di atas amben, dan segera kembali berjalan mengambil bakul nasi yang sebenarnya telah matang terlebih dulu. Namun sengaja kuhidangkan terakhir kali, dengan harapan tidak timbul pertanyaan-pertanyaan lagi oleh mata jeli anak-anakku itu.Â
Kembali aku tak bisa terus bersembunyi. Ini adalah kenyataan, aku paham bahwa diriku harus menghadapinya. Semua yang terjadi dari awal sampai saat ini adalah ketentuan takdir. Sebelum semua benar-benar menyisa kenangan inilah yang kubisa, menghadapinya. Aku masih berusaha menyembunyikan genangan basah di sudut mata.Â
Tiba-tiba Danang berteriak, "wah ... Emak masak nasi varian baru. Biasanya nasi berwarna putih ataupun merah, tapi kali ini berwarna kelabu."Â
"Iya benar, pasti lebih enak dari biasanya," jawab Rara tak kalah girang.
Aku berkata dalam hati, sebentar lagi kebahagian mereka akan benar-benar hilang tanpa bekas. "Aku tak takut dengan kehilangan, karena kehilangan sesungguhnya adalah tidak adanya sebuah kesempatan. Yang paling kutakutkan adalah diambilnya kesempatan untuk membahagiakan mereka."
Perlahan senyum mereka memudar, menghilang, rona merah di kedua pipi Rara menjadi seputih pualam. Diiringi sepoi angin dan isak tangis hatiku sendiri. Namun masih sempat kusaksikan suapan terakhir di mulut Danang.Â
Danang melotot, lalu tertawa keras. Sambil membersihkan piring dari sisa biji-bijian nasi, memasukkannya ke dalam mulut ia berkata, "suara kriek-kriek di nasi ini bisa menggantikan kerupuk, Mak."Â
"Iya, nasinya enak banget, Mak." Rara menandaskan makan di mulutnya dengan segelas air putih.Â
"He'eh. Enaaakkk ...." Sari mengacungkan dua jempol yang masih ditempeli biji-biji nasi.
Gerimis tak lagi bisa kusembunyikan, aku mengecup kepala Sari, Memeluk Rara, dan memberikan senyum ke arah Danang. Selengkung senyum tipis, serupa pecahan gelas, pedih. Tiba-tiba hujan kembali menderas, seakan alam semesta mengerti betapa duka mampu diusir minggir dengan ribuan sayap syukur yang kami miliki.
Surabaya, April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H