"Jika kau mau, akan kuminta matahari berdiam diri di dalam rumah ini, ruang ini, dan jantung ini."
"Kau tak perlu repot-repot memikirkanku." Ia tetap berdiri dan menatap tajam ke arah mata perempuan setengah tua itu. Timbul rasa cemas di dalam dirinya, seperti yang sudah-sudah perempuan setengah tua itu membantu mengoreskan pinset kecil di pergelangan tangannya. Darah keluar kemana-mana ke wajah bocah-bocah yang semakin tampak kurus.Â
"Perlukah aku mengambilkan selimut putih dan menghangatkan tubuhmu?" Tatapan perempuan setengah tua itu penuh kehangatan. Jarang-jarang ia melihat perempuan itu menatapnya dengan begitu lembut. Kemudian perempuan setengah tua itu berkata lagi, "Bukankah selama ini kita senadi?"Â
"Mengapa kaukatakan kita senadi? Aku tak pernah menganggapmu begitu."
"Kau pikir aku suka bernapas dalam satu rumah, satu ruangan, satu kehidupan, dan dua lubang hidung yang sama."Â
"Aku tak pernah menyesali itu," ujar perempuan setengah tua itu.Â
"Tapi aku menyesal. Pergi! Cari napas, nadi, dan malammu sendiri."Â
"Jika bisa keluarkan aku dari kepala, napas, kehidupan, dan jantungmu! Aku akan pergi menembus malam." Perempuan setengah tua itu mulai berteriak dan menangis.Â
Wajah bocah-bocah di kejauhan disergap ketakutan. Seperti yang lalu-lalu wajah bocah-bocah itu semakin kurus, lesu, dan banjir air mata.Â
"Kau tak perlu menunggu pagi untuk  itu," teriaknya.Â
"Lihat!"Â