Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Boneka-Boneka Malam

9 Januari 2022   09:15 Diperbarui: 9 Januari 2022   09:34 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam tiba-tiba menyergap. Satu-satunya tempat yang tak membuatnya takut adalah kamar di dalam rumah yang tidak terlalu besar dengan penerangan sebatang lilin dengan sumbu yang begitu panjang. Rumah ini memang tidak terlalu terang tetapi juga tidak penuh dengan kepekatan. 

Dengan perasaan hampa, ia mengawasi setiap sudut ruangan dengan angin-angin kecil yang berusaha menerobos celah-celah jendela. Sedikit acuh ia melihat seorang perempuan setengah tua, duduk di kursi malas di tengah ruangan. Dengan rambut sedikit kusut dan bunga melati di sudut kedua telinga, berwajah dan pakaian sama dengannya.

Ia tersadar tidak hanya mereka berdua, dirinya sendiri dengan perempuan setengah tua itu, tetapi ada bayangan bocah-bocah kecil mengawasinya dari jauh. Samar-samar terlihat gigi-gigi kecil mereka meringis menahan tangis, tak dapat ia tahan rasa ingin tahu apakah yang membuat mereka meringis. 

Apakah malam benar tidak mampu memberi sedikit cahaya sehingga ia bisa memastikan alasan yang membuat mereka berdiri di kejauhan, meringis, dan tidak saling menyapa satu sama lain?

Ia berjalan pelan mengitari seluruh ruangan, dan ketika tepat berada di depan perempuan setengah tua itu,

"Apa yang membuatmu kembali." Satu kalimat yang tanpa sengaja keluar dari mulutnya. 

Seperti tidak ada keterkejutan di dalam dirinya perempuan itu pun menjawab, "Sama sepertimu ... malam."

Ada yang aneh di dalam diri mereka berdua, meskipun begitu dekat dan sama-sama tidak suka dengan malam. Namun mereka tetap saja tidak saling bercerita. 

Kedua orang perempuan itu saling mengawasi. Jika ia berjalan ke kiri, perempuan setengah tua itu juga bergerak ke kiri. Begitu ia mulai mengantuk dan sesaat sedikit terlelap, perempuan tua itu menggodanya agar terus terjaga. Namun mereka tetap saja tak berbicara, dan tak ada yang merasa terusik satu sama lain. 

Sampai ia benar tak tahan untuk terus terjaga, sementara wajah bocah-bocah itu tampak kelelahan. Perempuan setengah tua itu menghampirinya sambil berkata, "Apakah malam, saat ini sudah tak membuatmu ingin terus terjaga?"

Ia terus menahan tidak bersuara dan khawatir jawabannya akan membuat perempuan setengah tua itu tersinggung. Sementara matanya terus mencari penguatan di wajah bocah-bocah kecil yang semakin lesu.

"Kalau saja kedua matamu cukup bisa membedakan mana berlian dan pecahan kaca, bolehlah kau pergi."

Ia tetap tak memperdulikan omongan perempuan setengah tua di hadapannya. Yang ia rasakan hanya perasaan tidak ingin menyakiti hati siapa saja. Apalagi di depan bocah-bocah yang masih menatapnya lesu. 

Perempuan setengah tua itu kembali berkata, "Apakah kau tuli?" Sama sekali perempuan setengah tua ini tidak khawatir dengannya atau bocah-bocah di ruangan ini. Padahal saat ini ia sedang berusaha menahan tindakan nekad seperti biasanya tatkala kemarahan dan ketakutan sedang menyergapnya bersama-sama malam. 

Selama mereka hidup berdua, senapas, senadi, sering mereka berselisih paham. Satu ingin ke kanan; satu ke kiri. Satu ingin membenci, satunya ingin memanjakan. Hampir setiap persoalan tanpa diselesaikan dengan salah satu menyakiti, dan disakiti. Perang mulut, saling tampar kanan-kiri, melemparkan apa saja ke dinding-dinding tak bersalah menjadi akhir penyelesaian. 

Seperti dulu ketika kematian seorang lelaki di rumah ini. Perempuan setengah tua itu tertawa di atas kepala lelaki berpenutup kain putih dan terus saja mengumpat, "Mampus kau dikoyak-koyak penghianatan." Setelah lelaki itu ditemukan mati di atas tubuh perempuan lacur sebuah lokalisasi di malam  setelah pertengkaran mereka di ruangan ini. 

Sementara ia menangis tersedu-sedu memeluk tubuh yang jantungnya berhenti berdetak karena tersedak obat penguat lelaki sejam sebelum ditemukan bugil dan kaku.

Tak ada sedikitpun kekompakan antara mereka. 

Ia cepat-cepat mengambil kendali semua yang ditinggalkan lelaki itu, bekerja, mengelola keuangan untuk kebutuhan kehidupan bocah-bocah yang ditinggalkannya. Perempuan setengah tua itu merasa menemukan alasan untuk berdiam, berjalan, dan menari di tengah-tengah jalan seorang diri. Tak memperdulikan siapa dan apa saja. 

"Kau masih takut malam," tanyanya.

"Kau sendiri?"

Perempuan setengah tua tersenyum, seperti memenangkan pertarungan dengan pertanyaannya. 

"Jika kau mau, akan kuminta matahari berdiam diri di dalam rumah ini, ruang ini, dan jantung ini."

"Kau tak perlu repot-repot memikirkanku." Ia tetap berdiri dan menatap tajam ke arah mata perempuan setengah tua itu. Timbul rasa cemas di dalam dirinya, seperti yang sudah-sudah perempuan setengah tua itu membantu mengoreskan pinset kecil di pergelangan tangannya. Darah keluar kemana-mana ke wajah bocah-bocah yang semakin tampak kurus. 

"Perlukah aku mengambilkan selimut putih dan menghangatkan tubuhmu?" Tatapan perempuan setengah tua itu penuh kehangatan. Jarang-jarang ia melihat perempuan itu menatapnya dengan begitu lembut. Kemudian perempuan setengah tua itu berkata lagi, "Bukankah selama ini kita senadi?" 

"Mengapa kaukatakan kita senadi? Aku tak pernah menganggapmu begitu."

"Kau pikir aku suka bernapas dalam satu rumah, satu ruangan, satu kehidupan, dan dua lubang hidung yang sama." 

"Aku tak pernah menyesali itu," ujar perempuan setengah tua itu. 

"Tapi aku menyesal. Pergi! Cari napas, nadi, dan malammu sendiri." 

"Jika bisa keluarkan aku dari kepala, napas, kehidupan, dan jantungmu! Aku akan pergi menembus malam." Perempuan setengah tua itu mulai berteriak dan menangis. 

Wajah bocah-bocah di kejauhan disergap ketakutan. Seperti yang lalu-lalu wajah bocah-bocah itu semakin kurus, lesu, dan banjir air mata. 

"Kau tak perlu menunggu pagi untuk  itu," teriaknya. 

"Lihat!" 

Bersamaan teriakan yang terakhir, ia ayunkan tinggi-tinggi pisau bekas irisan bawang sore tadi tepat di jantungnya.

"Tidak ...." 

Perempuan setengah tua meringis dan mulai menangis, sementara ia hanya tertawa melihat kekalahan perempuan setengah tua yang selama ini menjadikannya boneka. Boneka senadi yang saling menemani di dalam kegelapan.

Pisau kecil itu tepat mengoyak jantung mereka. Untuk kali ini kekompakan tampak di antara mereka, sama-sama jatuh di tempat, rumah, dan ruangan sama. Di kejauhan wajah bocah-bocah yang kehilangan ayah dan ibunya seputih pualam diterpa cahaya lilin yang temaram. 

Surabaya, Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun