"Kalau saja kedua matamu cukup bisa membedakan mana berlian dan pecahan kaca, bolehlah kau pergi."
Ia tetap tak memperdulikan omongan perempuan setengah tua di hadapannya. Yang ia rasakan hanya perasaan tidak ingin menyakiti hati siapa saja. Apalagi di depan bocah-bocah yang masih menatapnya lesu.Â
Perempuan setengah tua itu kembali berkata, "Apakah kau tuli?" Sama sekali perempuan setengah tua ini tidak khawatir dengannya atau bocah-bocah di ruangan ini. Padahal saat ini ia sedang berusaha menahan tindakan nekad seperti biasanya tatkala kemarahan dan ketakutan sedang menyergapnya bersama-sama malam.Â
Selama mereka hidup berdua, senapas, senadi, sering mereka berselisih paham. Satu ingin ke kanan; satu ke kiri. Satu ingin membenci, satunya ingin memanjakan. Hampir setiap persoalan tanpa diselesaikan dengan salah satu menyakiti, dan disakiti. Perang mulut, saling tampar kanan-kiri, melemparkan apa saja ke dinding-dinding tak bersalah menjadi akhir penyelesaian.Â
Seperti dulu ketika kematian seorang lelaki di rumah ini. Perempuan setengah tua itu tertawa di atas kepala lelaki berpenutup kain putih dan terus saja mengumpat, "Mampus kau dikoyak-koyak penghianatan." Setelah lelaki itu ditemukan mati di atas tubuh perempuan lacur sebuah lokalisasi di malam  setelah pertengkaran mereka di ruangan ini.Â
Sementara ia menangis tersedu-sedu memeluk tubuh yang jantungnya berhenti berdetak karena tersedak obat penguat lelaki sejam sebelum ditemukan bugil dan kaku.
Tak ada sedikitpun kekompakan antara mereka.Â
Ia cepat-cepat mengambil kendali semua yang ditinggalkan lelaki itu, bekerja, mengelola keuangan untuk kebutuhan kehidupan bocah-bocah yang ditinggalkannya. Perempuan setengah tua itu merasa menemukan alasan untuk berdiam, berjalan, dan menari di tengah-tengah jalan seorang diri. Tak memperdulikan siapa dan apa saja.Â
"Kau masih takut malam," tanyanya.
"Kau sendiri?"
Perempuan setengah tua tersenyum, seperti memenangkan pertarungan dengan pertanyaannya.Â