“Halo, Ra? Maaf, Ra, aku lagi nganter Nadia belanja. Nanti kutelepon lagi ya?” lalu sambungan diputus secara sepihak. Jawaban seperti itu yang sudah kudengar beberapa belakangan ini. Tapi nyatanya Ken tak jadi menelepon balik.
“Ia lagi sibuk. Mengantar Nadia.” Kataku pada Roy yang mengikuti aku duduk.
“Tuhan, baru kali ini ada seorang wanita yang setia kepada pasangannya meski terpisah jarak dan waktu serta status.” Ia memberi penekanan kepada akhir kalimatnya. Aku terhenyak. Status?
“Mungkin kebetulan saja ia lagi sibuk dengan Nadia.” Kilahku.
“Kebetulan tapi setiap hari?” Roy masih dengan nada mengejek. “Sudah berapa lama kalian pacaran, Ra?” tanya Roy mengalihkan pembicaraan, tapi masih perihal yang sama.
“Empat ditambah setahun, ditambah lagi tujuh tahun. Silakan kau tambahkan sendiri berapa jumlahnya.”
“Kau mau minta ditambah berapa tahun lagi?” Ia menceku lenganku dan tertawa penuh kemenangan. “Dia sudah bahagia dengan istri dan anak-anaknya, Ra.”
“Begitu?” aku menanggapi.
“Aku melihat demikian. Bayangkan saja, setiap kali kau hubungi dia, dia selalu bilang kalau sedang bersama Nadia, atau Mega, atau Bintang. Ia mengindikasikan bahwa ia sudah tidak akan menjemputmu, Ra.” Kata-kata Roy membeliakkan mataku. “Kalau kau tak percaya, silakan teruskan hubunganmu dengan Ken. Setelah kau percaya bahwa Ken tidak akan memenuhi janjinya, terimalah lamaranku.”
“Jadi kau ke sini hanya ingin menyatakan lamaranmu itu lagi?” sengitku.
“Terserah. Tapi aku tulus. Aku pun tidak ingin berkata apa-apa kepadamu, karena aku takut kamu akan trauma mendengar sebuah janji. Aku hanya akan membuktikan semua tuduhanku tadi benar. Ah.”