Mohon tunggu...
Anjar Meiaw
Anjar Meiaw Mohon Tunggu... Editor -

Kadang nulis | Kadang ngedit | Kadang nyanyi | Kadang ngemsi | Kadang shopping |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meretas Batas

18 Desember 2015   12:54 Diperbarui: 18 Desember 2015   15:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku langsung melakukan apa yang Ken pinta. Aku pikir Ken akan melakukan hal terbaik untukku. Kumasukkan semua pakaianku ke dalam koper. Kumasukkan pula buku dan berkas-berkas ke dalam tas ransel. Tanpa menunggu hitungan detik aku melesat ke ruang tamu dan melihat Ken sedang berbincang pada Ibu.

“Sudah?” tanya Ken. Aku memberi anggukan bertubi-tubi.

“Hati-hati ya, Nak.” Demikian kata Ibu yang membuatku semakin bingung. Apa yang telah Ken katakan pada Ibu sehingga Ibu tanpa bertanya lagi dan tidak berupaya mencegahku?

Mobil Ken menderu dan cepat meninggalkan Solo menuju Jogja. Malam ini aku dibuang dari kota kelahiranku sendiri. Tak banyak waktu untuk mencapai kota Jogja. Hanya sekitar dua jam dari Solo dengan kecepatan mobil seperti ini. Malam yang telah larut membuat jalanan ramai oleh truk yang akan mengangkut pasir dari Gunung Merapi. Kami harus bersalip-salipan dengan mereka.

“Ini tidak seperti yang aku duga, Ra.” Ken mengawali pembicaraan setelah sangat lama terdiam. “Ternyata Nadia sudah sangat mengerti detail kisah asmara kita berdua. Dan tidak seperti yang aku kira juga bahwa ternyata ia tidak mau merestui aku menikahimu.”

Aku tergugu. Mencoba mencerna baik-baik ucapannya barusan. Secepat itu Ken meminta izin untuk kawin lagi? Bodoh!

“Ia mengancamku untuk bercerai kalau aku berani menikahimu, Ra. Dia akan meninggalkanku dan membawa bayi di kandungannya tanpa pemberitahuan kepadaku.”

“Nadia hamil?” kejutku.

“Iya, sudah dua bulan. Tapi aku janji akan terus berusaha agar ia mau menerimamu, Ra. Aku akan...bla...bla...bla...”

Kuhirup lagi penggalan-penggalan nafas yang kian terputus. Kubiarkan Ken menceracau sendirian. Aku enggan untuk mendengarnya. Kutatap bulir air hujan yang jatuh di kaca mobil. Kuikuti setiap alirannya. Bulir itu berwarna keemasan oleh pantulan lampu kota Jogja yang temaram. Yah, kami telah memasuki kota Jogja.

Jalanan kota Jogja telah sepi. Kulirik jam di ponselku, ah, sudah jauh lewat tengah malam. Pantas sudah tidak ada aktivitas berarti di jalanan. Selter bus Trans Jogja sudah tutup. Becak pun sudah tidak ada. Andong apalagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun