"Naik!" serunya dengan menunjuk ke atas. Rumah pohon yang baru siap. Kakiku menapaki cerukan sebagai pijakan kaki, mengikutinya.
Aku menundukkan kepala masuk ke dalam, karena pintunya teramat kecil. Dalam ruangan tersebut telah terbentang tikar dan sebuah bantal, di sudut berjajar minuman dan jajanan.
"Bagaimana, kau suka?" Bukankah ini yang kau impikan." Senyum kepuasan terpancar dari wajahnya. "Hari spesial ini, Koko ingin status kita berpacaran." Tangannya yang masih beraroma hio itu meraih kedua tanganku.
Membuat dadaku berdebar tak karuan, sesekali aku mencuri pandang, selebihnya pandanganku justru banyak menatap lantai. Ah, bukannya sudah lama kami bersama, tetapi mengapa rasa ini bertambah menjadi gugup campur bahagia. Apalagi berduaan di dalam ruangan ini membuatku makin seperti hilang akal.
Berawal ia meraih daguku agar tatapan kami bertemu. Wajah itu semakin mendekat. Deru  napasnya begitu hangat, ketika jaraknya hanya beberapa senti. Entah siapa yang memulai ketika bibir kami saling menempel hingga kami hanyut .... Sementara di luaran sana euforia akan festival baru saja selesai. Kami justru baru memulai kesalahan.
***
Suara dering ponsel yang masih berada dalam tas selempangku terdengar nyaring di tengah kesunyian. Aku pun tersadar dari lamunan serta merogoh tas.
"Ya, bagaimana?" tanpa salam aku langsung bertanya.
"Sudah ketemu, akan saya kirim melalui pesan, alamatnya," jawab suara lelaki di seberang sambungan.
*** Â
Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, jalanan kota kabupaten masih ramai. Sore yang indah dengan mentari yang sebentar lagi akan tenggelam. Bagiku yang pernah menginjakkan kaki di daerah ini, tidak sulit menemukan rumah yang kutuju. Apalagi di pusat kota dan di lingkungan yang elit.