Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membakar Asa

4 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 4 Mei 2023   06:54 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Koleksi Desain Megawati Sorek

Membakar Asa

Oleh : Megawati Sorek

Aku turun dari mobil setelah melakukan perjalanan dari  Pekanbaru menuju Bagansiapisiapi. Perjalanan hampir memakan waktu hampir empat jam lebih.  Aku ke bagasi mobil, mengambil serta menyeret koper menuju lobi hotel.  Menemui seseorang adalah tujuanku. Jika tidak urusan mendesak tak ingin untuk ke kota ini lagi. Terlalu banyak kenangan terukir pada kota yang dulunya penghasil ikan terbesar ini.

Aku merebahkan tubuh dan menatap langit-langit kamar hotel sembari menghela napas. Setelah sekian menit aku berdiri ke arah jendela dan melihat muara Sungai Rokan Hilir dari ketinggian dan kejauhan. Kota ini banyak berubah setelah delapan tahun terakhir kutinggalkan. Lokasinya yang juga  berdekatan dengan Selat Malaka membuatnya cepat berkembang.

Ingatanku kembali terlempar saat-saat memakai seragam putih abu-abu. Selama tiga tahun di kota ini karena dulu mengikuti Bapak yang pindah tugas. Saat itu masa pengenalan orientasi siswa berlangsung.

"Hei, kamu yang di ujung barisan, ke sini!" Kakak tingkat menunjuk padaku. Matanya yang sipit makin mengecil  dan tubuhnya yang putih itu sedikit memerah karena diterpa cahaya matahari yang terik. Ternyata ia menyadari diriku yang terlambat masuk barisan.

"Mengapa terlambat?" tanyanya. Suaranya lantang berucap, semua siswa-siswi fokus memperhatikan kami yang berada di depan barisan. Ia tersenyum tipis terkesan mengejek.

Aku menunduk, aduh malunya diperhatikan puluhan pasang mata. Sialnya hari pertama sekolah  justru aku sudah dikenal duluan jika begini caranya. Kulitku yang memang sejak lahir hitam berdiri di sampingnya terlihat sangat kontras. Memang dominan  warga keturunan Tionghoalah  yang bersekolah di SMA favorit  kota ini.

"Tadi, itu, saya ke toilet dulu, saat bel berbunyi," terangku dengan memasang wajah memelas. Berharap  ia iba dan memaklumi.

"Kamu di hukum mencuci wc wanita di ujung sana!"seru pria  berlabel nama Alvin di dada kiri itu dan telunjuknya mengarah lokasi yang ia perintahkan.

Di saat aku mengomel dan menggerutu sosok Alvin, sambil menyiram lubang  kloset serta lantai menggunakan  gayung. Tak disangka Alvin berada di luar pintu toilet, hampir saja ia terkena cipratan air.

"Eh, kok ke tempat toilet perempuan, Ko?" tanyaku kaget.

"Sudah bersih apa belum?" Ia melonggokkan kepala dan matanya memindai. "Ok, selesai, silakan masuk barisan," sambungnya lagi.

Tanpa menyahut, aku membalikkan badan, akan beranjak meninggalkannya sendirian.

"Tunggu!"serunya. "Nama kamu siapa? Hitam manis." Senyumnya mengembang memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Ia menyusul dan melangkah mendekatiku.

Aku menoleh dan terkesima, ternyata pesona kakak yang setahun di atasku itu sangat kuat. Wajahnya bersih dan mulus, bibir merah seperti mengenakan lipbalm, rambut lurus tanpa belahan. Ia menyodorkan tangan, kusambut dengan menyebutkan nama.

*** 

Sejak saat itu kami menjadi dekat, acapkali ia mendatangi kelasku untuk mengajak makan di kantin yang sama. Apalagi rumah kami satu arah, ia mengayuh sepeda dengan santai dan menjemputku. Mulanya sebagai sahabat, tanpa ungkapan. Pandangan sinis dan cemburu sering kudapatkan dari siswi yang keturunan Tionghoa.  Aku gadis Jawa perantauan  berkulit gelap dengan mata besar beriringan dengan pria yang sebaliknya. Sekian bulan, kami bersama, tepatnya aku tetap menyimpan rasa. Meski sinyal itu bisa kutangkap, ada hal yang terbalas.

Aku mendengar masyarakat heboh, akan ada festival Ritual Bakar Tongkang yang diadakan setiap tahun pada hari ke-16  bulan ke-5 menurut kalender China yang mereka sebut Go Gek Cap Lak. Sebagai warga baru pertama kali melihat event tersebut aku sangat antusias. Banyak kelenteng di Bagansiapiapi ini sibuk mempersiapkan acara.

"Kak Alvin, tongkangnya kenapa dibakar?" tanyaku pada Alvin saat kami sedang duduk di taman kota Bagansiapiapi. Selain taman yang asri Kabupaten Rokan Hilir ini juga menyediakan  hutan kota yang luasnya mencapai tujuh hektar  dengan tambahan air mancur menari yang sangat indah.

"Itu, untuk mengenang para leluhur orang Tionghoa dalam menemukan Bagansiapiapi dan wujud syukur kepada Dewa Ki  Hu Ong Ya. Akan ada seratus kelenteng yang akan ikut pada festival kali ini, tradisi ini sudah ada sejak lama, dan menjadi ikon wisata bagi daerah kita untuk menarik wisatawan," Ia menjelaskan sembari menyodorkan air mineral kepadaku.

Aku menganguk, dan meminum air pemberiannya. Mata sipitnya yang bening itu sedang menatapku dengan lekat ketika botol menempel di bibir. Aku tertunduk dan tersipu. Debar dan gelenyar aneh menjalari hati.

" Mel, hm, itu." Ia terlihat ragu, beberapa kali ia membasahi bibir bawahnya.

Aku yang menunggunya berbicara hanya tersenyum tipis dan menebak-nebak. Jantungku berdegup kencang, apa ia akan 'menembakku' hal yang telah lama kunantikan.

"Mel, nanti selesai acara festival besok jangan pulang dulu ya, tunggu aku  di ujung toko tempat biasa," pintanya padaku.

***

Masyarakat Tionghoa tumpah ruah ke jalan untuk mengikuti proses tradisi bakar tongkang di Bagansiapiapi. Semua turun ke jalan. Mereka berbaris dari depan kelenteng hingga memanjang seratusan meter. Badan jalan sesak oleh warga Tionghoa yang melakukan ritual. Mereka menenteng sejumlah peralatan ibadah yang dipanggul. Barisan paling depan membawa arak-arakan kapal replika yang dapat kutaksir berkisar 8 meter dengan lebar 2 meter. Tiang layar dua buah dan kontruksi badannya dari kayu lalu dilapisi dengan hiasan warna-warni.

Bersama kedua orang tua, aku menuju lokasi pembakaran. Banyak warga yang ingin melihat dan berjalan kaki menuju lokasi pembakaran  tongkang, sementara itu banyak  peserta membawa hio yang telah dibakar ujungnya. Napas terasa sesak akibat asap hio yang terus menyala sampai ke lokasi. Aku sampai terbatuk-batuk dan mata perih. Banyak juga minuman kaleng dingin yang dibagikan secara gratis kepada siapa saja yang haus karena cuaca cukup panas.

Setelah berjalan beriringan, akhirnya kami penonton serta peserta sampai di lokasi dipercayai dulunya tempat awal kapal warga Tionghoa pertama kali mendarat dan dibakar bersama agar tidak kembali ke kampung halaman di Fujian, China.

Di lokasi ini, jutaan tumpukan kertas bertuliskan China sudah lebih dulu dikumpulkan. Di atas tumpukan kertas itulah, kapal tongkang replika yang diarak tadi diletakan. Sebelum dilakukan pembakaran, maka sejumlah pejabat pemerintah diundang ke atas. Mereka melambaikan tangan, mataku sibuk mencari keberadaan  Alvin. Aku memisahkan diri dari kedua orang tuaku dan mendekati Alvin. Ia berdiri di antara peserta lainnya dengan khidmat berdoa.

Setelah api besar melalap kapal menandai puncak acara. Para peserta menunggu hingga habis ludes terbakar, hawa panas melingkupi, beberapa warga ada yang mundur sebagai penonton, tetapi, tidak bagi peserta arah tumbang tiang dapat menjadi acuan, misalnya ke arah laut, maka mereka percaya rezeki tahun ini dari hasil laut. Pria yang telah mencuri hatiku itu menghampiri, tubuhnya basah dengan keringat. Ia mengandeng tanganku menerobos dan melawan arus warga yang bubar.   

"Ko Alvin, apa ini!"aku berseru dengan mata berbinar. Sebuah tempat yang agak jauh dari keramain ia membawaku.

"Naik!" serunya dengan menunjuk ke atas. Rumah pohon yang baru siap. Kakiku menapaki cerukan sebagai pijakan kaki, mengikutinya.

Aku menundukkan kepala masuk ke dalam, karena pintunya teramat kecil. Dalam ruangan tersebut telah terbentang tikar dan sebuah bantal, di sudut berjajar minuman dan jajanan.

"Bagaimana, kau suka?" Bukankah ini yang kau impikan." Senyum kepuasan terpancar dari wajahnya. "Hari spesial ini, Koko ingin status kita berpacaran." Tangannya yang masih beraroma hio itu meraih kedua tanganku.

Membuat dadaku berdebar tak karuan, sesekali aku mencuri pandang, selebihnya pandanganku justru banyak menatap lantai. Ah, bukannya sudah lama kami bersama, tetapi mengapa rasa ini bertambah menjadi gugup campur bahagia. Apalagi berduaan di dalam ruangan ini membuatku makin seperti hilang akal.

Berawal ia meraih daguku agar tatapan kami bertemu. Wajah itu semakin mendekat. Deru  napasnya begitu hangat, ketika jaraknya hanya beberapa senti. Entah siapa yang memulai ketika bibir kami saling menempel hingga kami hanyut .... Sementara di luaran sana euforia akan festival baru saja selesai. Kami justru baru memulai kesalahan.

***

Suara dering ponsel yang masih berada dalam tas selempangku terdengar nyaring di tengah kesunyian. Aku pun tersadar dari lamunan serta merogoh tas.

"Ya, bagaimana?" tanpa salam aku langsung bertanya.

"Sudah ketemu, akan saya kirim melalui pesan, alamatnya," jawab suara lelaki di seberang sambungan.

***  

Aku mengemudi dengan kecepatan sedang, jalanan kota kabupaten masih ramai. Sore yang indah dengan mentari yang sebentar lagi akan tenggelam. Bagiku yang pernah menginjakkan kaki di daerah ini, tidak sulit menemukan rumah yang kutuju. Apalagi di pusat kota dan di lingkungan yang elit.

Aku menghentikan kendaraan tepat di depan rumah mewah bergaya klasik  dengan cat putih dengan les hitam berpagar besi setinggi dua meter. Aku gamang, kembali rasa ragu itu hadir. Apakah aku turun dari mobil? Atau duduk saja dulu di belakang kemudi, mengamati.

Mataku fokus memperhatikan dengan membuka kacamata hitam, dari seberang jalan aku melihat seorang wanita cantik berpenampilan modis. Celana pendek membungkus pahanya yang kecil dengan atasan baju tanpa lengan, dan rambut berwarna keemasan tergerai dan matanya sipit seperti Ko Alvin. Ia memasukkan barang yang ia tenteng ke dalam mobil mereka yang masih terparkir di garasi. Kemudian ia masuk melalui pintu samping rumah mereka, tak lama kemudian keluar lagi. Ia mengendong seorang anak yang mirip dengannya. Disusul Ko Alvin mengekor di belakangnya membawa tas wadah susu formula.

Sebelum mereka semua masuk ke mobil. Sempat-sempatnya Ko Alvin menciumi anak mereka yang digendong istrinya. Wajah anak itu sangat menggemaskan, mungkin kegelian ketika serangan ciuman dari  papanya. Istrinya juga terlihat tertawa bahagia. Ah, sungguh pemandangan yang membahagiakan bagi mereka, tidak padaku. Ada nyeri di hatiku. Bagaimana jika kebahagiaan mereka itu berubah dalam sekejap jika aku turun dan meminta ia bertanggung jawab pada Cintya. Putri kecilku yang menunggu papanya datang untuk kujemput.

Maaf, gadis kecilku, desakkanmu untuk diantar pertama masuk sekolah TK dengan Mama dan Papa tidak bisa Mama penuhi. Kita berdua harus membakar asa ini serta kembali bergelut dengan kenyataan, kita adalah yang tak dikenang ketika seseorang telah bahagia dengan hidupnya.

~

Bionarasi

Megawati Sorek, penulis antologi sana-sini alias ngerusuh juga (tepok jidat) dan telah melahirkan sebuah karya solo dengan judul "Bu Guru, I Love You" dan kumpulan cerpennya dengan judul "Entahlah"

Bisa lebih kenal dengan bersilaturahmi denganya di efbe Ayue Mega Bunda Aliqha.  Kuy, menulis dan membaca. Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun