"Sa, elo kenapa?" Aku menghampirinya cepat.
   Aku melihat wajahnya yang pucat serta mata yang sayu dan kosong. Nisa terlihat seperti orang yang kebingungan.  Temanku yang selalu dipuji cantik  itu begitu berantakan.
   "Gue ...." Lirih suaranya berucap  kedua matanya mengerjap.
   "Apa yang sakit, Sa?"
   "Tadi ketika akan bersiap pergi kuliah, aku sarapan merebus mie. Saat aku makan, makanan itu berubah menjadi ... cacing. Aku mual, muntah dengan kepala teramat sakit. Aku merangkak mengambil minum. Airnya bau amis, hingga aku muntah lagi, aku juga mendengar seperti ada  bisikan tapi tak jelas apa yang diucapkan suara itu. Itu-"
   "Apa itu seperti semacam mantra?"potong Bu Heni dengan wajah terkejut.
   "Sepertinya i-iya." Nisa mengangguk cepat.
   "Ibu rasa ada yang tidak beres dengan Nisa, cobak Ibu telpon orang tuamu dan menjelaskan keadaan, Nak Nisa, " ucap Ibu pemilik indekost itu. Ia pun merogoh saku dan keluar ruangan.
   Aku dan Nisa mengangguk bersamaan dan terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing.
   "Aaarg." Nisa mengeram, matanya berubah menjadi nyalang dan ia bangkit,  berjalan lurus.
   Aku sontak terkejut dan mundur beberapa langkah. Aku pun mencoba mengikuti langkah gadis itu perlahan. Ia menuju ke ruangan dapur. Kami berpapasan dengan Ibu Heni yang terlihat masih menelepon. Ia pun mengakhiri sambungan selulernya. Wanita setengah abad itu segera berjalan bersisian denganku mengekori Nisa. Nisa berbelok menuju kamar mandi  dan berdiri di tepi sumur cincin. Bu Heni dengan sigap bergerak menangkap tubuh Nisa.