Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Patah Hatiku, Deritamu

2 Mei 2023   07:30 Diperbarui: 2 Mei 2023   07:31 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Koleksi Desain Megawati Sorek

     Aku berbaring di atas single bed sembari menatap langit-langit  kamar indekos.  Kedua tanganku berada di bawah kepala agar meninggikan posisi bantalan. Pikiranku menerawang tentang Nisa dan Riki. Apa yang mereka lakukan sekarang?  Pastinya mereka sedang berbahagia. Baru terhitung tiga puluh menit yang lalu Nisa berpamitan. Riki mengajaknya malam mingguan. Apel  pertama mereka sejak baru jadian kemarin. Ada yang menyesak di dadaku. Terasa nyeri dan sakit. Riki adalah kakak tingkatku di kampus. Aku mengenalnya saat tanpa sengaja ia menabrak sepeda motorku hingga kaca spion pecah dan kerusakan ringan lainnya. Pria idola para mahasiswi itu pun bersedia bertanggung jawab. Beberapa kali bertemu di bengkel. Kami pun akhirnya menjadi akrab.

     Sifat baik, cerdas dan paras  yang dimiliki Riki mampu membuatku berdebar. Aku kagum dengan segala apa yang ada pada dirinya. Benih-benih  cinta mulai bersemi.  Ada perasaan  yang terpendam. Aku hanya berani menyimpan rapat-rapat. Menikmati cinta sendiri dengan tersiksa. Suatu hari mungkinkah aku mampu? Mengumpulkan keberanian untuk mengutarakannya. Pria itu baik pada semua orang. Aku belum bisa menangkap sinyal balasan akan rasaku ini.

     Aku mendengkus kasar dan memalingkan kepala ke arah kanan. Mataku memicing melihat ranjang milik Nisa.  Teman satu indekos itu mematahkan harapan serta impianku. Bagaimana tidak? ketika Riki mengantarku pulang akibat ban sepeda motor pecah mereka bertemu.  Mahasiswi  jurusan ilmu komunikasi  itu berada di teras rumah induk saat itu. Akhirnya, mereka berkenalan. Menyebalkan! Nisa yang  berparas ayu itu mulai pasang aksi tebar pesona.  Memang, jika dibanding denganku, Nisa tentunya menang banyak. Tubuhnya putih dengan postur yang semampai. Bermata bulat dengan bulu mata lentik. Aku dilanda gundah gulana ketika mereka semakin hari semakin dekat dan lengket.

     Aku mendengar kabar yang membuatku syok. Saat itu Nisa dengan wajah semringah menghampiri.

     "Del, tau nggak Riki tadi bilang apa saat kami di cafe?" 

     Aku terpaku. Nisa memancarkan wajah yang ceria. Aku bisa menebaknya. Kontan saja aku langsung menunduk berpura-pura  melanjutkan menulis tugasku.

     "Apa?" Suaraku sedikit bergetar. Aku menahan gejolak kekecewaan. Jangan sampai  Nisa menyadari  ekpresi wajahku.

     "Dia nembak gue, kami resmi pacaran mulai saat ini."

     Bersusah payah aku mencoba tersenyum dan terlihat ikut bersemangat. Menatap kedua manik teman sekamarku itu dengan berbinar.

     "Wah, selamat ya. Beruntung lu, Sa, Riki lelaki yang baik!" seruku.

     "Kalau lu bosan, bisa oper ke gue," lanjutku seraya tergelak.

     "Emangnya bola?" Nisa menepuk pundakku dan ikut  tertawa.

     Ia berlalu menuju ke tempat tidurnya. Merebahkan tubuh serta mengeluarkan ponselnya seraya senyum-senyum sendiri. Mataku nanar melihatnya ada air hangat yang ingin mendesak keluar. Mungkin dengan satu kedipan saja maka bulir air itu akan menetes.

***

     Aku tersentak mendengar jeritan Nisa. Bergegas menghampiri ranjang miliknya. Aku menepuk-nepuk kedua pipi gadis itu. Kedua mata Nisa  masih terpejam, wajahnya basah dengan keringat. Tubuhnya meronta-ronta.

     "Nisa! Nisa! Bangun, Hei Nisa!" Kali ini aku mengoyang tubuhnya dengan keras.

     Usahaku berhasil. Mata berbulu lentik itu pun akhirnya terbuka. Ia langsung duduk serta memelukku dengan erat. Sepermenit kemudian aku melonggarkan pelukan terlihat napasnya yang masih tersengal-sengal.

     "Mimpi buruk?"

     "I-ya, Del. Gue ... dikejar dan ditangkap makhluk yang menyeramkan.  Apa ini ada kaitannya dengan ...," ucap Nisa dengan gugup.

      "Apa,? Jangan buat gue takut juga ya, Sa," pungkasku cepat.

      "Iya, kata si Tini, dia dapat cerita dari satpam yang di ujung gang kita ini, ketika Kang Maman itu mau Magrib, ngeliat ada cahaya terbang tepat ke bubungan  kos-kosan kita ini, " terang Nisa.

      "Ah, elo. Gosip itu didengarin, mana ada? Mo minum nggak? Gue ambilin,"tawarku padanya.

       Aku beranjak menuju ke dispenser. Satu gelas air hangat kuberikan padanya.

      "Udah, tidur balik gih. Besok Senin. Ini masihan tengah malam, besok mo kuliah. Baca doa jangan lupa!" ucapku ketika gelas kosong itu kutaruh kembali ke meja.

      "Iya, besok aku masuk pukul 10.00, elo?"

      "Gue pagi." Aku memalingkan badan ke arah dinding. Seharian ini aku lelah karena perjalanan jauh.

***

       Perkuliahan hari ini berjalan lancar. Kami dibekali tugas kelompok yang akan membuatku sibuk untuk beberapa hari ke depan.  Jadwal makan siang pun telah tiba. Perutku mulai berbunyi minta diisi. Melangkah dengan cepat  menuju kantin di sudut bangunan kampus. Sambil berjalan aku mengecek ponsel yang sedari tadi hanya di dalam tas. Terlihat banyak panggilan tak terjawab dari Ibu pemilik indekos. Aku putuskan untuk menghubungi balik.

      "Ya, Bu. Maaf tadi sedang kuliah, hp silent."

      "Del, buruan pulang. Jadwal kuliahmu udah siapkan? Si Nisa dia sakit mendadak . Untungnya  si Tini tahu saat ke kamarmu dan mengabari Ibuk. Kami cuma berdua, anak lainnya pada kuliah."

       "Iya, Bu. Segera!"

      Aku berbalik menuju ke arah parkir. Aku pacu sepeda motor dengan kencang membelah jalanan utama propinsi yang ramai. Tak sabar ingin melihat keadaan Nisa. Aku berlari masuk ke halaman rumah induk dan ke arah sampingnya.

     "Sa, elo kenapa?" Aku menghampirinya cepat.

     Aku melihat wajahnya yang pucat serta mata yang sayu dan kosong. Nisa terlihat seperti orang yang kebingungan.  Temanku yang selalu dipuji cantik  itu begitu berantakan.

      "Gue ...." Lirih suaranya berucap  kedua matanya mengerjap.

      "Apa yang sakit, Sa?"

     "Tadi ketika akan bersiap pergi kuliah, aku sarapan merebus mie. Saat aku makan, makanan itu berubah menjadi ... cacing. Aku mual, muntah dengan kepala teramat sakit. Aku merangkak mengambil minum. Airnya bau amis, hingga aku muntah lagi, aku juga mendengar seperti ada  bisikan tapi tak jelas apa yang diucapkan suara itu. Itu-"

     "Apa itu seperti semacam mantra?"potong Bu Heni dengan wajah terkejut.

     "Sepertinya i-iya." Nisa mengangguk cepat.

      "Ibu rasa ada yang tidak beres dengan Nisa, cobak Ibu telpon orang tuamu dan menjelaskan keadaan, Nak Nisa, " ucap Ibu pemilik indekost itu. Ia pun merogoh saku dan keluar ruangan.

     Aku dan Nisa mengangguk bersamaan dan terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing.

     "Aaarg." Nisa mengeram, matanya berubah menjadi nyalang dan ia bangkit,  berjalan lurus.

     Aku sontak terkejut dan mundur beberapa langkah. Aku pun mencoba mengikuti langkah gadis itu perlahan. Ia menuju ke ruangan dapur. Kami berpapasan dengan Ibu Heni yang terlihat masih menelepon. Ia pun mengakhiri sambungan selulernya. Wanita setengah abad itu segera berjalan bersisian denganku mengekori Nisa. Nisa berbelok menuju kamar mandi  dan berdiri di tepi sumur cincin. Bu Heni dengan sigap bergerak menangkap tubuh Nisa.

     "Del, tolong Ibu, kita bawa ke kamar dan kita ikat sementara."

***

     Aku dan Bu Heni menunggu kedatangan keluarga Nisa yang akan datang dari kecamatan. Perjalanan mereka tempuh biasanya hingga tiga jam. Sesekali kami mengawasi Nisa. Gadis itu memberontakdengan posisi terikat tali di atas tempat tidurnya.

     Kedua orang tua Nisa datang dengan ekpresi wajah cemas, serta membawa seseorang ustaz berwajah kharismatik.

     "Betul dugaan kita, anak Pak Hasan kenak teluh," ucap ustad setelah memeriksa keadaan Nisa dengan melakukan terawangan.

     Aku gugup, jantungku berdetak lebih kencang. Keringat dingin mengalir dari pori-poriku. Apalagi saat kulihat Pak Ustad itu merunduk dan mengambil sesuatu di bawah ranjang Nisa. Lelaki berpeci putih itu membuka bungkusan kain kafan  berisi  tanah, rambut, dan jarum.

     "Pelakunya pun bukan orang jauh," ucap Pak Ustad tersebut.

     Aku memutuskan keluar ruangan, berlari ketakutan. Aku menyesal, patah hati telah membuatku mengadu ke dukun.

~

Bionarasi

         Megawati lahir  pada tahun 1985 di Tembilahan-Inhil . Kini berdomisili di Desa Angkasa Bandar Petalangan, Pelalawan, Riau. Penulis novel solo dengan judul buku "Bu Guru, I Love You" dan kumpulan cerpen dengan judul "Entahlah" serta buku antologi berkisar 50-an lebih.

            Organisasi yang saat ini diikuti adalah sebagai Pengurus Daerah Forum Taman Bacaan Masyarakat (PD FTBM) sebagai koordinator Bidang SDM serta memiliki geliat literasi Taman Bacaan Masyarakat ditingkat Kecamatan dengan nama "TBM Cahaya Angkasa".

           Jejaknya bisa dilacak di akun Instagramnya yaitu #bundaaliqha. Kicauan serta statusnya terselip di akun Facebook dengan nama Ayue Mega Bunda Aliqha. Yuk, silaturahmi, cekidot!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun