***Â
Waktu berlalu begitu cepat, setelah Makcik Edah memberikan makan siang tadi, ia pun pergi. Hingga malam telah menjelang, ia belum datang kembali. Kini aku lapar dan haus, tenagaku makin lemah. Aku mencoba memejamkan mata, diiringi suasana gelap dan lembap dengan tarikan napas sesak.
Aku tergegau, saat menyadari ada cahaya. Makcik Edah sedang menghidupkan lampu teplok serta lilin yang ia keluarkan dari bungkusan di tangannya, lalu dengan cekatan membakar dupa.
"Lepaskan aku, Makcik. Ini tak betul. Ingat azab Allah." Aku memohon dengan air mata yang telah lolos dari kelopak mataku.Â
"Neraka memang sudah tempat kami!" Makcik Edah mengambil nampan berisi dupa yang berasap.Â
Dukun beranak kampung itu mengambil posisi hanya dua langkah dari hadapanku. Ia menjatuhkan diri, duduk bersimpuh. Dia mulai melantunkan bahasa yang tidak aku mengerti.
Angin begitu dingin dan sangat tak wajar. Api-api lilin meliuk-liuk. Bahkan suara angin itu begitu memekakkan.
Aku merasakan serangan hawa panas dan dingin bergantian pada setiap aliran darah. Tubuhku meronta-ronta, seperti ada tenaga yang sangat besar ingin keluar. Seketika kedua kaki tanganku menghentak, kayu balok pasung itu terlempar. Rantai di tangan pun terlepas.
Tidak lama kemudian, aku mendengar suara jeritan yang ramai, lalu bisikan ramai orang dari berbagai arah, seolah memenuhi kepalaku yang panas. Entahlah, aku merasa tubuh ini sedang bergerak. Ada emosi yang tidak kukenali, kemurkaan yang di luar kendali.
Aku mendengar suara kekehan berat. "Raga ini milikku, kau tak bisa mengambilnya," ucap suara itu. Tunggu, itu ... terdengar seperti suaraku. Aku tiba-tiba membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah wajah  Makcik Edah yang lebih tinggi dariku. Matanya terbelalak dengan lidah yang terjulur. Ada sebuah tangan yang sedang mencengkeram lehernya.
Apa-apaan ini? Sejak kapan tanganku mencengkeram leher dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku merasa bibirku membentuk seringai. Darah hitam mengalir dari mulut perempuan itu hingga membasahi tanganku.