Aku melewati jalan setapak yang belum juga menemukan ujung. Kedua  sisi jalan hanya ada kebun singkong dan semak belukar. Permukiman akan dijumpai setelah keluar dari gang ini. Entah mengapa malam ini lebih mencekam. Desau angin terasa makin kencang, bahkan embusannya mampu memainkan helaian rambut sebahuku. Terlihat samar, pepohonan singkong berayun, dedaunannya bergoyang seperti bayangan yang melambai-lambai. Aku mempercepat langkah, mengingat waktu mulai menapaki  malam yang makin larut.Â
Aku baru saja selesai membantu persalinan salah satu warga. Berprofesi sebagai bidan desa di kampung terpencil dan baru seminggu bertugas. Aku tak bisa menolak permintaan warga dan selalu siap kapan pun. Seperti malam ini, nahasnya sepeda motor Pak Tio yang akan mengantarkanku pulang mendadak mogok. Aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja karena jaraknya hanya tinggal sedikit saja dari rumah dinas yang kutempati.Â
Akhirnya, aku bernapas lega. Mendapati telah berada di ujung gang. Jalan desa terlihat lengang. Orang-orang telah meringkuk di balik selimut hanyut ke dunia mimpi. Aku mematikan lampu senter dari ponselku, karena cahaya telah didapatkan dari  kerlip lampu-lampu di rumah  para penduduk desa. Hanya tinggal sekitar enam rumah yang harus aku lalui.
Aku berhenti mendadak, ketika mendengar bunyi erangan. Aku berusaha menajamkan pendengaran. Lirih dan pelan, tetapi suara bisikan dengan suara parau itu semakin jelas terdengar.
"Mati." Kata itu  terdengar berulang kali.
Jantungku berdetak kencang. Rasa takut yang amat besar menjalariku. Setelah memastikan tidak tahu dari mana arah suara itu berasal. Tengkuk serta rambut halus di seluruh tubuh merinding. Sebisa mungkin mulutku berkomat-kamit merapal ayat suci yang kuingat.
"Astagfirullah!" Aku tersentak  dan berteriak histeris.
Hampir saja tubuh kurusku sontak terjungkal. Gerakan mundur refleks aku lakukan. Sosok nenek tua bungkuk menyeringai berada beberapa langkah di depanku. Kedua manik mata wanita ringkih itu berwarna putih semua tanpa ada pupilnya. Tongkat kayu dengan ujung melengkung berada di genggamannya.
Tubuhku gemetaran dengan tungkai kaki menjadi  kaku, tak dapat untuk berlari. Seakan-akan menancap di tanah. Lidahku kelu tak mampu untuk berucap apalagi menjerit. Suara ini tersangkut di tenggorokan. Mataku membeliak ketika secepat kilat sang nenek melayang ke arahku. Entah dari mana, kekuatan itu datang tiba-tiba. Aku pun berbalik badan dan segera berlari sekuat tenaga. Suara kekehan sang nenek justru terdengar sangat dekat. Aku tak peduli lagi, dalam pikiran hanya harus berlari secepat mungkin. Tas peralatan medisku pun sampai terlepas dan terserak.  Sayang, tenaga yang terkuras juga ketakutan tiada tara mengganggu fokus. Kaki-kakiku saling beradu satu sama lain, hingga tubuh ini limbung tak terkendali. Aku pun tersungkur mencium tanah yang lembap.
***
Aku mengerjap beberapa kali. Kepala terasa berat, seluruh tubuh merasakan sakit. Mencoba mengumpulkan kesadaran serta mengingat kejadian yang menimpa. Apa aku bermimpi atau kenyataankah ini? Sontak aku mendudukkan badanku, yang semula bersandar selonjoran merosot di dinding, ketika mendapati kedua kakiku berada dalam lobang yang dibuat dalam dua kayu balok yang dipaku pada kedua ujungnya. Sementara di pergelangan tanganku dirantai berwarna cokelat karena telah berkarat sepanjang sekitar setengah meter dan tersambung.
Napasku tersengal-sengal, mendapati keadaan ini. Apa ini, kenapa aku bisa berada di sini dalam keadaan dipasung? Tentunya pertanyaan itu pun tak bisa kujawab.
Aku memindai sekeliling, pandanganku menyapu seisi ruangan. Rumah ini terbuat dari papan yang sudah mulai lapuk. Terlihat dari celah-celah yang bisa ditembus cahaya. Atapnya tanpa plafon terbuat dari daun nipah. Beberapa sudut ruangan banyak terdapat sawang. Tidak jauh dariku, ada sebuah meja panjang terbuat dari tripleks. Di atasnya terdapat lampu teplok serta piring plastik berisi nasi putih yang masih mengepul. Hidungku menghidu aroma kapur barus yang sangat menyengat. Membuat aku harus beberapa kali mendengkus.
Tak berselang kemudian terdengar derit pintu terbuka. Seorang perempuan paruh baya, mengenakan baju kurung yang lusuh serta kupluk rajut menutupi rambutnya. Tampak berjalan perlahan menghampiriku, sebelum sampai di dekatku, tanganya meraih piring.
Aku terbelalak karena mengenalinya. Makcik Edah---kami memanggilnya. Telah lama menjadi dukun beranak kampung. Pihak Dinas Kesehatan pun telah mencanangkan kebijakan agar kami bekerja sama dengannya melalui program kemitraan. Tujuannya agar nantinya bisa menekan angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di desa ini.
"Makanlah!" Suara parau nan berat memberi perintah padaku.
Aku menatap lekat padanya dengan memasang wajah penuh tanya.
"Malam besok purnama empat belas, kau akan jadi tempat baruku, jangan mati sebelum waktu itu tiba. Makan! Tubuh ini sudah tak berguna," jelasnya seakan-akan tahu  dengan rasa penasaranku yang membuncah.
Perutku yang sedari malam tadi lapar, maka aku menyambut piring itu serta menyuap dengan cepat. Bagaimanapun aku harus tetap waras untuk mengisi perut walau sebenarnya ketakutan  masih mengelayut pada diriku.
"Sebelum kau datang, penduduk hanya minta tolong padaku untuk beranak. Serta dengan leluasa aku langsung memakan tembuni si jabang bayi," sambungnya lagi dengan pandangan mata berbalut kebencian.
"Malam tadi yang kau lihat adalah wujud asliku. Untuk sebuah perjanjian aku harus selalu makan tembuni agar jiwaku abadi dan tetap bisa menguasai raga orang lain nantinya. Keabadian akan kudapatkan dari iblis." Wanita bergigi dan bibir seperti mambang kuning akibat menyirih itu tertawa menggema.
***Â
Waktu berlalu begitu cepat, setelah Makcik Edah memberikan makan siang tadi, ia pun pergi. Hingga malam telah menjelang, ia belum datang kembali. Kini aku lapar dan haus, tenagaku makin lemah. Aku mencoba memejamkan mata, diiringi suasana gelap dan lembap dengan tarikan napas sesak.
Aku tergegau, saat menyadari ada cahaya. Makcik Edah sedang menghidupkan lampu teplok serta lilin yang ia keluarkan dari bungkusan di tangannya, lalu dengan cekatan membakar dupa.
"Lepaskan aku, Makcik. Ini tak betul. Ingat azab Allah." Aku memohon dengan air mata yang telah lolos dari kelopak mataku.Â
"Neraka memang sudah tempat kami!" Makcik Edah mengambil nampan berisi dupa yang berasap.Â
Dukun beranak kampung itu mengambil posisi hanya dua langkah dari hadapanku. Ia menjatuhkan diri, duduk bersimpuh. Dia mulai melantunkan bahasa yang tidak aku mengerti.
Angin begitu dingin dan sangat tak wajar. Api-api lilin meliuk-liuk. Bahkan suara angin itu begitu memekakkan.
Aku merasakan serangan hawa panas dan dingin bergantian pada setiap aliran darah. Tubuhku meronta-ronta, seperti ada tenaga yang sangat besar ingin keluar. Seketika kedua kaki tanganku menghentak, kayu balok pasung itu terlempar. Rantai di tangan pun terlepas.
Tidak lama kemudian, aku mendengar suara jeritan yang ramai, lalu bisikan ramai orang dari berbagai arah, seolah memenuhi kepalaku yang panas. Entahlah, aku merasa tubuh ini sedang bergerak. Ada emosi yang tidak kukenali, kemurkaan yang di luar kendali.
Aku mendengar suara kekehan berat. "Raga ini milikku, kau tak bisa mengambilnya," ucap suara itu. Tunggu, itu ... terdengar seperti suaraku. Aku tiba-tiba membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah wajah  Makcik Edah yang lebih tinggi dariku. Matanya terbelalak dengan lidah yang terjulur. Ada sebuah tangan yang sedang mencengkeram lehernya.
Apa-apaan ini? Sejak kapan tanganku mencengkeram leher dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku merasa bibirku membentuk seringai. Darah hitam mengalir dari mulut perempuan itu hingga membasahi tanganku.
 Tidak, bukan aku yang membunuhnya. Tubuhku bergerak sendiri.
"Makcik, Makcik!" teriakku sembari meletakkan tubuh kaku itu ke lantai. Aku menepuk-nepuk pipinya. Lalu memperhatikan sekeliling ruangan telah berantakan seperti terhantam badai. Bahkan atapnya pun sudah tinggal separuh, memberi akses purnama menyinari kami. Aku bingung serta kehabisan tenaga dan semuanya menjadi gelap.
*** Â
"Syukurlah, Nak Syarifah sudah sadar." Kalimat itu keluar dari bibir istri kepala desa ketika mataku terbuka.
Beberapa teman kerjaku juga ada di sampingnya. Terlihat gurat kecemasan dari wajah mereka yang menatapku.
Aku mengenali ruangan ini, Puskesmas tempatku bekerja. Di tanganku pun ternyata telah terpasang infus.
Mendadak kami menoleh ke arah pintu ketika kepala desa dengan seorang pria tua berpeci putih mendekatiku. Istri kepala desa dan teman-teman pun memberi ruang pada mereka berdua.
"Nak, Syarifah. Alhamdulillah kamu selamat dari perbuatan Makcik Edah, kami sudah lama curiga padanya, ternyata benar itu bukan Makcik Edah yang kami kenali dulu. Kami menemukanmu di atas hutan bukit, dalam keadaan pingsan," terang kepala desa.
"Satu hal lagi, setelah tenaga Nak Syarifah pulih. Menurut Pak Ustaz Saleh ini, kamu itu ketempelan. Beliau akan menolong melepas makhluk itu dari diri Nak Syarifah," sambungnya.
Aku hanya bisa mengulas senyum tipis menyapa Pak Ustaz Saleh yang tersenyum karismatik serta mengangukkan kepalanya itu.
Pikiranku masih kalut, menyadari kali ini aku selamat karena ternyata ada kekuatan yang lebih besar lagi yang juga berminat mengincar  ragaku.
~
Â
Bionarasi
Megawati lahir di kota seribu parit Tembilahan-Inhil . Kini berdomisili di Desa Angkasa Bandar Petalangan, Pelalawan, Riau.
Jejaknya bisa dilacak di akun Instagramnya yaitu #bundaaliqha. Kicauan serta statusnya terselip diakun aplikasi biru milik Mark Zuckerberg Facebook dengan nama Ayue Mega Bunda Aliqha.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H