Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Horor

Dua Kekuatan

25 April 2023   06:00 Diperbarui: 25 April 2023   05:59 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengerjap beberapa kali. Kepala terasa berat, seluruh tubuh merasakan sakit. Mencoba mengumpulkan kesadaran serta mengingat kejadian yang menimpa. Apa aku bermimpi atau kenyataankah ini? Sontak aku mendudukkan badanku, yang semula bersandar selonjoran merosot di dinding, ketika mendapati kedua kakiku berada dalam lobang yang dibuat dalam dua kayu balok yang dipaku pada kedua ujungnya. Sementara di pergelangan tanganku dirantai berwarna cokelat karena telah berkarat sepanjang sekitar setengah meter dan tersambung.

Napasku tersengal-sengal, mendapati keadaan ini. Apa ini, kenapa aku bisa berada di sini dalam keadaan dipasung? Tentunya pertanyaan itu pun tak bisa kujawab.

Aku memindai sekeliling, pandanganku menyapu seisi ruangan. Rumah ini terbuat dari papan yang sudah mulai lapuk. Terlihat dari celah-celah yang bisa ditembus cahaya. Atapnya tanpa plafon terbuat dari daun nipah. Beberapa sudut ruangan banyak terdapat sawang. Tidak jauh dariku, ada sebuah meja panjang terbuat dari tripleks. Di atasnya terdapat lampu teplok serta piring plastik berisi nasi putih yang masih mengepul. Hidungku menghidu aroma kapur barus yang sangat menyengat. Membuat aku harus beberapa kali mendengkus.

Tak berselang kemudian terdengar derit pintu terbuka. Seorang perempuan paruh baya, mengenakan baju kurung yang lusuh serta kupluk rajut menutupi rambutnya. Tampak berjalan perlahan menghampiriku, sebelum sampai di dekatku, tanganya meraih piring.

Aku terbelalak karena mengenalinya. Makcik Edah---kami memanggilnya. Telah lama menjadi dukun beranak kampung. Pihak Dinas Kesehatan pun telah mencanangkan kebijakan agar kami bekerja sama dengannya melalui program kemitraan. Tujuannya agar nantinya bisa menekan angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi di desa ini.

"Makanlah!" Suara parau nan berat memberi perintah padaku.

Aku menatap lekat padanya dengan memasang wajah penuh tanya.

"Malam besok purnama empat belas, kau akan jadi tempat baruku, jangan mati sebelum waktu itu tiba. Makan! Tubuh ini sudah tak berguna," jelasnya seakan-akan tahu  dengan rasa penasaranku yang membuncah.

Perutku yang sedari malam tadi lapar, maka aku menyambut piring itu serta menyuap dengan cepat. Bagaimanapun aku harus tetap waras untuk mengisi perut walau sebenarnya ketakutan  masih mengelayut pada diriku.

"Sebelum kau datang, penduduk hanya minta tolong padaku untuk beranak. Serta dengan leluasa aku langsung memakan tembuni si jabang bayi," sambungnya lagi dengan pandangan mata berbalut kebencian.

"Malam tadi yang kau lihat adalah wujud asliku. Untuk sebuah perjanjian aku harus selalu makan tembuni agar jiwaku abadi dan tetap bisa menguasai raga orang lain nantinya. Keabadian akan kudapatkan dari iblis." Wanita bergigi dan bibir seperti mambang kuning akibat menyirih itu tertawa menggema.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun