Sofi mengambil tisu, mengelap air mata. Gadis cantik itu menarik dan menghembuskan hidungnya mengeluarkan lendir. Wajah yang putih bersih itu terlihat sembab. Sudah  beberapa kali ia terisak. Aku yang sedari tadi mendengar ia bercerita, masih diam. Kata menghibur dan menguatkan sebagai nasihat untuknya belum terucap. Berulang kali, setiap  menghadapi masalah, maka ia akan datang padaku. Seakan aku hanyalah ada di saat dukanya melanda.
     Sikap yang manja dan seakan rapuh itu, membuatku selalu tak kuasa untuk menolak kehadirannya. Bahkan aku suka, sangat candu. Dari kecil, kami bertetangga. Aku tahu betul dengan kecenggengan gadis yang kini tumbuh dengan sangat cantik itu. Masa-masa indah kami lewati, aku selalu menjadi pelindung jika ada yang mencoba menggangunya. Bahkan, pe-er dan tugas sekolahnya aku turut andil mengerjakan.  Aku sangat menikmati, menyadari  ketergantungannya padaku.
     Menjelang masa memasuki kuliah, ia berubah. Kebersamaan dengan teman-teman barunya membuatku cemburu. Ada yang menyesakkan dada, Sofi mulai mandiri. Tidak lagi menyapa atau meminta bantuanku lagi. Aku kalang kabut, merasa tidak lagi diperlukan olehnya. Menurutku, tak ada persahabatan sejati. Contohnya saja aku, ternyata hati ini menyimpan rasa, mencintai gadis impian yang sangat kupuja, ingin memberikan kebahagiaan untuknya.
     Aku tak bisa kuliah karena keadaan ekonomi dan tak ingin merepotkan Ibu. Ibuku--single parent hanya seorang pembantu di rumah keluarga Sofi. Aku bekerja di sebuah bengkel sebagai montir. Ada perasaan rendah diri, apalah aku, sadar diri, tak pantas! Tak bisa mematutkan diri  untuknya. Faktanya  hanya cinta yang tulus yang kupunya.
    Hari ini, Sofi ke bengkel bertepatan di saat jam istirahat. Semua karyawan keluar mencari makan siang. Suasana mendukung Sofi untuk mengadu padaku. Wajah ayunya ditekuk. Ia bercerita tentang kekecewaannya pada sang kekasih. Lelaki itu telah berselingkuh. Terlihat jelas ia terluka. Aku tak menginginkan hal itu terjadi. Jika mampu, akan kulakukan apapun untuk mengubah kesedihan di hidupnya. Wajah itu harusnya bercahaya dengan senyuman.
      "Apa kurangnya aku? Rasanya aku sudah menjadi apa yang diinginkan Brian, Bang. Bahkan, aku sudah mencoba tak cemburuan lagi, dasarnya dia saja yang suka tebar pesona." Kembali  Sofi bercerita dengan matanya yang sudah berkaca-kaca lagi. Aku tahu pasti dia akan mengulangi lagi tangisannya. Dasar, cantik. Lagi menangis aja tetap ngegemasin. Lagi! Membuatku rasanya ingin mengelus pipi mulus itu.
      "Aku takut diputuskan sama dia, Bang. Aku harus bagaimana?" tanyanya padaku dengan sorot mata yang sayu.
"Tak akan. Bodoh dia jika tak lagi memilikimu!" Hiburku padanya. Merengkuhnya ke pelukanku karena tak tega melihatnya  tersedu.
      Ada rasa nyeri di dada mendengar wanita yang  kucintai menangis karena lelaki lain. Itu sungguh perih rasanya. Aku mungkin bisa menghapus air matanya, tetapi hati ini juga menangis di saat yang sama. Cintaku terpendam, hanya bisa tenggelam dalam mimpi. Dirinya nyata di depan mata tapi tak bisa dimiliki. Aku telah berusaha keras membunuh perasaan ini,  sadar, ini hanya berakhir luka.
    Terdengar suara rem berdecit. Sepeda motor sport berhenti tepat di hadapan kami berdua. Seorang lelaki dengan postur tubuh  tinggi melepas helm, berjalan dengan langkah lebar ke  arah kami. Mataku menyipit memindainya, aku mengenalinya. Aku melonggarkan pelukan. Sementara Sofi tidak menyadari karena punggungnya yang menghadap ke pria berwajah seperti orang Eropa tersebut.