Aku duduk di balkon kamar yang berbentuk setengah lingkaran dengan segelas kopi menemani. Balkon ini diapit dua pilar dari di cat putih serupa pualam, sebuah lampu antik mengantung di atasnya. Embusan angin terasa segar menyentuh kulit.
Pandanganku jauh ke awan yang membingkai deretan bangunan rumah di komplek ini. Semburat jingga di langit siap mendorong ke kelamnya malam. Terlihat koloni burung terbang menuju sarangnya. Bukankah hidup mereka sangat bebas? Terbang kemana pun mereka mau, tanpa terikat peraturan dan beban hidup.
Senja, aku benci sebenarnya dengan waktu pergantian siang menuju malam ini. Ada kejadian kelam dalam hidup yang selalu kan terkenang saat menapaki waktu mentari tenggelam. Itu sangat menyakitkan, terasa perih di hati. Pengalaman hidup yang sangat tidak diinginkan. Aku selalu mengingatnya tanpa bisa tuk dihapus. Luka itu seakan terus menggelayut. Mataku akan nanar dan berkabut jika hal itu terus menari dan melintas dalam memoriku kembali.
Saat itu, di suatu senja, belasan tahun silam di saat umurku baru 10 tahun duduk di kelas 4 SD. Aku mendengar suara pintu rumah digedor.  Aku sedang berada di kamar mandi ketika ketukkan itu berlangsung, sehingga baru terdenggar ketika  tidak menguyur tubuh dengan air. Bergegas  meraih handuk yang tergantung di paku  pada pintu kamar mandi.
Aku tahu, pasti orang di luar adalah Bapak. Â Ketika pintu dibuka, Bapak menoyor keningku.
"Lama kali bukak pintunya!" Bapak  masuk dengan jalan sempoyongan. Tercium aroma alkohol dari mulutnya.
"Tadi, Mamat mandi, Pak," ujarku seraya mengekor di belakang Bapak yang menuju dapur.
Bapak mendekati meja makan lapuk berukuran 2x1 meter yang terletak tiga langkah dari tempat kompor.
"Apa ini? Masak itu-itu aja!" Bapak melempar tudung ke sembarang arah.
"Mana makmu?"tanyanya padaku. Mengambil tempe goreng, serta tahu goreng lalu melemparnya kembali ke piring.