Mohon tunggu...
megawati rusdianto
megawati rusdianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Wiraswasta

Gender Equality

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keperawanan Perempuan: Kuasa Patriarki Dalam Tubuh Perempuan

23 Maret 2023   15:31 Diperbarui: 23 Maret 2023   15:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Indonesia memandang keperawanan sebagai kesucian diri perempuan bahkan menjadikan keperawanan sebagai bentuk kehormatan diri seorang perempuan. Masyarakat Indonesia kerap kali mengukur moralitas seorang perempuan melalui selaput daranya. Pada dasarnya, keperawanan itu hanya sebuah selaput dara yang merupakan organ tubuh pada perempuan. Namun, organ tubuh itu justru diartikan sebagai organ moral pada diri perempuan. Pengukuran kesucian, moral dan harga diri perempuan hanya diukur melalui tubuhnya.

Isu-isu yang berkembang tentang keperawanan hanya sebuah mitos yang kemudian dibangun dan dikonstruksikan oleh budaya patriarki membuat para perempuan harus menjaga keperawanannya. Bagi masyarakat Indonesia, Perempuan yang mejaga keperawanannya sampai jenjang pernikahan akan mendapatkan predikat “perempuan yang baik” sedangkan perempuan yang sudah melepaskan keperawanannya sebelum menikah ia akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat bahwa ia akan dikenal menjadi perempuan tidak baik, perempuan yang nakal bahkan mendapatkan nama panggilan seperti jablay, lonte atau perek. Dari adanya konstruksi tersebut, tentunya ada namanya penanaman nilai keperawanan pada perempuan yang kemudian akan membentuk konstruksi pemikiran keperawanan tersendiri.

Makna Tubuh Perempuan

Tubuh yang ada adalah yang dimiliki oleh setiap individu dan bersifat privat. Karena yang berhak mengatur tubuh seseorang adalah pemiliknya sendiri bukan orang lain. Namun tidak demikian, tubuh bisa dikuasai oleh negara dan bahkan diatur oleh negara.  Seperti pandangan James S. Coleman, dengan konsep hak untuk mengontrol sumber yang tidak bisa dipindahtangankan, yakni tindakan seseorang itu sendiri yang kaitannya dengan hubungan kekuasaan bisa ditetapkan sebagai berikut: yaitu adanya hubungan kekuasaan satu pelaku atas pelaku lain terjadi, ketika yang pertama memiliki hak untuk mengontrol tindakan-tindakan tertentu dari pelaku yang lain.[1]

Negara bisa mengontrol karena negara punya otoritas akan tubuh untuk menundukkan. Seperti misalnya mengatur tubuh masyarakat terutama perempuan dalam berpakaian, alat kontrasepsi/KB, kehamilan, seksualitas, pernikahan, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.[2]  Foucault tentang kuasa menyebutkan bahwa praktik pelaksanaan kuasa telah bergeser dari kekuasaan absolute dan top down kepada pendisiplinan, pengawasan dan teknik-teknik normalisasi. Model kekuasaan ini disebut model panoptikon. Pusat strategi kuasa ini adalah "disiplin". Tubuh ke-kuasaan adalah sasaran utama sehingga tubuh manusia modern adalah tubuh yang tunduk dan tubuh yang dibentuk. Salah satu perhatiannya adalah bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan ditundukkan, diatur dan diorganisasikan lewat mekanisme kuasa tersebut. Tubuh pun lantas menjadi lahan politik.[3]

Tubuh perempuan merupakan salah satu sumber kekuasaan. Di dalam tubuh seorang perempuan terkandung daya tarik seksualitas yang bisa mengendalikan tingkah laku manusia, terutama libido laki-laki. Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam tubuh seorang perempuan. Keluarga dan masyarakat merasa memiliki otoritas atau berhak mengatur perempuan. Lembaga agama dan negara juga merasa berkewajiban mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. Ini semua karena tubuh perempuan menjadi simbol martabat dan harga diri laki -laki dan masyarakat. Tubuh perempuan juga menjadi media bagi simbol-simbol identitas moral dan agama melalui pengaturan cara berpakaian dan tanda-tanda di tubuhnya.[4]

Tanda-tanda dalam tubuh perempuan dikaitkan kepada keperawanan, tubuh perempuan dipatuhkan oleh konstruksi sosial dari adanya mitos keperawanan yang dibangun oleh budaya patriarki. Perempuan merasakan sendiri bahwa nilai-nilai dan norma di masyarakat lebih menekankan dan mengatur diri perempuan dibandingkan laki-laki. Nilai dan norma yang dibangun yang sebenarnya bersifat maskulin tidak bersifat feminin. Tubuh perempuan ditundukkan dengan seksualitas perempuan dimana seksualitas perempuan pun dikaitkan oleh keperawanan perempuan.

Tubuh Perempuan Sebagai ‘property

Membahas tentang tubuh perempuan tentunya tidak akan terlepas dari kuasa dan dominasi. Banyak kepentingan yang merasa memiliki otoritas penuh untuk mengatur  tubuh perempuan. Keluarga, masyarakat dan bahkan agama pun mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya sesuai nilai dan norma yang ditanamkan.

Tubuh perempuan dan eksistensi menjadi bagian yang saling mengikat ketika tubuh menjadi titik awal mengenai eksistensi perempuan itu sendiri. menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi menarik terhadap kajian tubuh perempuan, yakni pertama bahwa tubuh termasuk ke dalam ranah seksualitas dan perempuan, akan tetapi kemudian mengalami paradoks dan ironi.[5]

Tubuh perempuan dapat dikatakan menempati posisi utama dalam wacana modernitas. Lebih lanjut Foucault menyebutnya sebagai fetisisme tubuh karena penetrasi regulasi wacana yang berpusat pada tubuh, utamanya persoalan rahim. Akibatnya, perempuan menjadi polisi bagi tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan diawasi sedemikian rupa, semata–mata untuk memenuhi standar kriteria wacana yang beredar di masyarakat. Pengawasan ini sering disebut sebagai panoptisisme.[6]

Pemaknaan tubuh perempuan sebagai ‘property’ juga selaras dengan konsep tubuh perempuan Simone de Beauvior yang mengatakan bahwa perempuan sebagai The Second Sex. Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang diri, sedangkan “perempuan” adalah the Other atau sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.[7]

Laki-laki mensubordinasi diri perempuan dengan cara mengontrol tubuh perempuan melalui mitos-mitos keperawanan dengan membangun konstruksi keperawanan. Kontrol seksual perempuan dilakukan untuk laki-laki (Sang Diri) menerima tubuh perempuan secara utuh. Bagi laki-laki tubuh perempuan sebagai objek seksualnya dan bagi laki-laki jika perempuan yang masih utuh dan suci tentunya mereka akan merasa bangga telah mendapatkan keutuhan tubuh perempuan.

Tubuh Perempuan Sebagai Arena Pertarungan

Tubuh perempuan kerap kali menjadi arena pertarungan bagi para kepentingan ideologis. Para kepentingan itu berlomba mendeterminasi tubuh perempuan. Tubuh perempuan dijadikan konsumsi atau objek seksualitas laki-laki. Tubuh tersebut diatur, diawasi dan didisiplinkan agar mengikuti nilai-nilai yang ditanamkan oleh patriarki sehingga tubuh perempuan dipatuhkan.

Tubuh telah bergeser makna menjadi arena pertarungan dalam tanda tubuh. Hal tersebut terjadi karena tubuh merupakan arena seksualitas. Tubuh tidak sepenuhnya otonom, tetapi di bawah satu kendali dan kontrol yang bersifat individual, spesifik dan terikat ruang dan waktu.[8] Tubuh perempuan yang dipatuhkan dan akhirnya menjadi arena pertarungan bagi lelaki ini menunjukan bahwa perempuan tidak bisa atau tidak mempunyai otoritas tubuh pada dirinya sendiri. Mereka cenderung menerima nilai-nilai yang ditanamkan. Tubuh perempuan dijadikan objek seksualitas dan juga warisan bagi laki-laki. Hak perempuan untuk menentukan identitas serta otonomi atas pengaturan terhadap tubuhnya dipengaruhi adanya intervensi oleh individu serta masyarakat yang merasa memiliki otoritas penuh dalam mengontrol tubuh perempuan.

Kontrol tersebut muncul karena adanya hak istimewa yang diberikan kepada laki-laki sehingga merasa memiliki wewenang dalam menafsirkan dan memaknai tubuh perempuan melalui dalih agama atau sosial budaya. Hal ini terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang tradisional dimana pemegang otoritas penuh adalah ayah kepada anak perempuannya bahkan kakak laki-laki berhak mengatur adik perempuannya. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia juga menjadikan salah satu faktor dimana perempuan tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Nilai-nilai dan norma dimasyarakat yang bersifat misoginis membuat perempuan menjadi posisi tersubordinasi.

Konstruksi Keperawanan Perempuan: Legitimasi Patrilineal

Keperawanan terkonstruksi dalam ruang dan waktu yang dinamis. Mengkaji keperawanan merupakan isu yang problematis dan kompleks. Membahas keperawanan tentunya akan membahas tentang seksualitas tubuh perempuan. Debat wacana keperawanan perempuan dalam Perjanjian Pertama mesti diulas secara objektif. Dalam lingkaran teologi kontemporer terpolarisasi dua kutub pemikiran keperawanan yakni: pertama, pandangan bernada misoginis melihat keperawanan sebagai objek dan kedua, ide yang memposisikan keperawanan sebagai subjek. Sebagai objek, keperawanan berfungsi pasif dibawah kekuasan patriarki. Subordinasi seksualitas dan kreativitas perempuan untuk perawan ideal dan melanggengkan ide feminitas sebagai penerima pasif.[9]

Dalam membahas keperawanan juga tak terlepas dari budaya patriarki. Samuel Johnson tulisannya di abad 18 menembusi pembaca abad 21 merelasikan konsep keperawanan dengan legitimasi partrilineal. Keperawanan “Simbol Kesucian Perempuan” sebagai jaminan legitimasi patrilineal. Posisi subjek, keperawanan adalah ungkapan positif dari otonomi dan kekuasaan perempuan.[10]

Selaras dengan dikotomi keperawanan, Corrinne Haroll menspesifikasi relasi keperawanan perempuan dalam tiga kategori yakni: pertama, keperawanan dibingkai larangan inses, kedua, keperawanan dari legitimasi partrilineal dan ketiga, keperawanan Katolik. Keperawanan pertama dan kedua bersifat aktif sementara keperawanan ketiga bersifat pasif. Berfungsi aktif, keperawanan dialamatkan untuk laki-laki dan berfungsi prokreasi. Sebaliknya secara pasif, keperawanan dialienasikan dari kebutuhan prokreasi patriarkhi dan dikuduskan sebagai wujud kesetiaan kepada Tuhan. Ketiga model ini sering dielaborasikan tetapi dalam cara tertentu memiliki perbedaan khas.[11]

Pada model legitimasi patriarki, keperawanan berkontribusi untuk konsolidasi harta milik dan memperkuat pertalian keluarga inti. Model ini menjamin legitimasi keturunan laki-laki. Tujuannya mempromosikan keturunan lineal dari satu genetik laki-laki dengan harta milik riil. Keperawanan perempuan menjamin hak penerimaan nama dan warisan pewarisan terhadap anak dari pihak laki-laki. Sebaliknya anak di luar nikah nafkah hidupnya dibebankan kepada perempuan, di luar tanggung-jawab laki-laki.[12] Harga perempuan ditentukan secara fungsional terkait penggunaan tubuh dan seksualitas untuk prokreasi dan menjadi seorang ibu. Seksualitas tubuh perempuan adalah properti suami.[13]

Perempuan dan keperawanan melekat dalam tubuhnya sedangkan keperjakaan laki-laki tidak terlalu dipersoalkan. Dengan begitu, keperawanan waktu dikonstruksi itu atas dasar otoritas laki-laki. Perempuan menerima konstruksi tersebut yang bukan merupakan miliknya namun ditaruh ke dalam tubuhnya yaitu keperawanan. bahwa tidak langsung bahwa keperawanan dikonstruksikan atas dasar klaim laki-laki.

Keperawanan dan Citra Baik Keluarga

Bagi orangtua, anak perempuan bagaikan permata yang tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali pada suaminya kelak. Sedari kecil pun, anak perempuan akan ditanamkan nilai-nilai untuk menjaga tubuhnya dari lelaki. Namun penanaman nilai yang diberikan orangtua bukan berdasarkan pada dampak dari kesehatan reproduksi seksual namun lebih memberikan dampak sosialnya.

Tubuh perempuan dikaitkan dengan nama naik keluarga. Jika seorang orangtua berhasil menjaga keperawanan sehingga membawa anak perempuannya sampai jenjang pernikahan tentunya ada simbol-simbol kesuksesan bagi pendidik orangtua yang telah mendidik anaknya sampai menikah dan memberikan anak perempuannya kepada suaminya. Seperti yang dikatakan oleh Carroinne Harrol bahwa tubuh perempuan sebagai properti suaminya dan keperawanan menjamin hak waris bagi anak-anaknya kelak[14]

Posisi orangtua yang seharusnya melindungi anak perempuan agar anak perempuan terhindar dari perilaku seks pra nikah. Namun ditelaah lebih dalam, bahwa posisi keluarga disini justru melindungi nama baik keluarganya bukan melindungi anak perempuannya. Keperawanan menentukan citra sosial keluarga. Keperawanan juga merupakan simbol-simbol keberhasilan dan juga simbol kebanggaan pada keluarga. Dalam pernikahan, bukan hanya menikah dengan pasangan saja namun tentunya akan menikahkan dua keluarga yang berbeda. Standarisasi calon menantu biasanya dilihat dari bibit, bebet dan bobotnya. Tentunya, keluarga dari pihak lelaki mengingkan pasangan untuk anaknya dari perempuan yang baik. Predikat perempuan yang baik dilihat cara ia menjaga kehormatannya yaitu keperawanannya.

Laki-laki menginginkan keperawanan karena baginya saat melakukan hubungan seksual sensasi darah yang keluar dan terasa sempitnya vagina yang membuat hubungan seksual menjadi bergairah. Padahal tidak ada kaitan antara keperawanan dengan sempitnya lubang vagina. Secara medis, tidak ada kaitan antara selaput dara, keperawanan dan juga sempitnya lubang vagina. Selaput dara yang dikaitkan sebagai tanda keperawanan bukan suatu indikator bahwa perempuan itu masih perawan atau tidak. Lalu, lubang yang sempit pula menandakan bahwa perempuan tersebut masih perawan.  

Bahwa adanya mitos keperawanan mengenai selaput dara dan juga besar sempitnya ukuran vagina dalam sensasi seksual membuat teropresi diri perempuan dari bagian tubuhnya sendiri. Mitos tersebut dibangun agar perempuan menjaga tubuhnya untuk diberikan kepada pasangan atau suaminya ketika menikah. Karena pada dasarnya keperawanan perempuan menjamin hak penerimaan nama dan warisan pewarisan terhadap anak dari pihak laki-laki. Sebaliknya anak di luar nikah nafkah hidupnya dibebankan kepada perempuan, di luar tanggung-jawab laki-laki.[15]

Keperawanan Perempuan: Harga Diri atau Simbol Sosial Budaya

Penerimaan diri perempuan yang menganggap keperawanan sebagai harga dirinya merupakan atas klaim dari laki-laki. yang memberikan harga diri bukannya perempuan melainkan laki-laki yang membentuk harga diri perempuan melalui organ tubuh yang terletak pada selangkangan perempuan. Keperawanan hanyalah organ tubuh bukanlah organ moral seorang wanita. Pelanggengan nilai patriarki adalah dengan mengukur kesucian seorang perempuan hanya dari tubuhnya tanpa melihat nilai diri seorang perempuan.

Melakukan hubungan seksual saat pranikah seringkali membawa wanita yang lebih sering dikenakan sanksi moral. Seperti dalam penelitian Jurnal Internasional yang berjudul Virginity and Guilt Differences Between Men and Women yang ditulis oleh Caitlin M. Lipman dan Alexis J. Moore[17] perempuan itu akan mengalami lebih banyak rasa bersalah dibandingkan dengan pria setelah kehilangan mereka keperawanan dan lebih banyak rasa malu atau bersalah karena kehilangan keperawanan.

Perasaan bersalah yang lebih banyak ditanggungkan oleh perempuan karena adanya nilai-nilai yang bersifat misoginis bahwa perempuan yang melepaskan keperawanan adalah perempuan yang tidak baik sedangkan laki-laki akan dianggap jantan jika telah menggauli perempuan. Namun berbeda dengan informan yang mengatakan bahwa keperawanan hanyalah sebuah formalitas simbol budaya. Bahwa keperawanan itu hanyalah konstruksi yang dibangun oleh patriarki agar melanggengkan dan juga mendominasi perempuan. Isu keperawanan perempuan bukan hanya sekedar mengenai lubang vagina dan seksual semata, melainkan menjadi ajang pertempuran kebebasan tubuh perempuan yang berfungsi keluar dari ketertindasannya dan memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri tanpa adanya tekanan sosial.

[1] James S. Coleman, Dasar-dasar Teori-teori sosial:Foundations of Social Theory, diterjemahkan oleh; Imam Muttaqien, dkk, (Bandung; Nusa media, 201), Cet. Ke-IV, hlm. 89.

[2] Endang Kusniati, 2016, Tubuh Yang Dipatuhkan, Jurnal Perempuan, https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/tubuh-perempuan-yang-dipatuhkan

[3] Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm 147

[4] Yuliani. 2010. Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia. ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010

[5] Pinky, Saptandari, 2013, Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi, Jurnal Biokultural 2 (No.1): 53-71.

[6] Daniel Susilo, Abdul Kodir, Politik Tubuh Perempuan: Bumi, Kuasa dan Perlawanan, dalam Jurnal Politik, VOL. 1, NO. 2, Februari 2016

[7] Simone De Beauvoir, 1988, The Second Sex, London: Pan books Ltd.hlm 25-27

[8] Anthony Synnott, 1993, The Body Social: Symbolism, Self and Society. London & New York: Routledge. Hlm. 45

[9] Mary F. Fosket. 2002.  A Virgin Conceived. USA : Indiana University Press. hlm. 2.

[10] Carroinne Harol, Op.Cit, Hlm. 1.

[11] Ibid., Hlm. 1-5.

[12] Ibid.,

[13] Hope S. Antone, Asian Women and Christianity, dalam In God’s Image - Journal of Asian Woman Resource Centre for Culture and Theology,  Vol. 25. No. 2, Ed. By. Ann Wansbrough dkk,(Yogyakarta : AWRC, 2006), hlm. 29

[14] Carroinne Harrol, Op.Cit, hlm. 1-5

[15] Ibid.,

[16] Lipman, Caitlin M. and Moore, Alexis J. Op.Cit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun