Mohon tunggu...
megawati rusdianto
megawati rusdianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Wiraswasta

Gender Equality

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keperawanan Perempuan: Kuasa Patriarki Dalam Tubuh Perempuan

23 Maret 2023   15:31 Diperbarui: 23 Maret 2023   15:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan dan keperawanan melekat dalam tubuhnya sedangkan keperjakaan laki-laki tidak terlalu dipersoalkan. Dengan begitu, keperawanan waktu dikonstruksi itu atas dasar otoritas laki-laki. Perempuan menerima konstruksi tersebut yang bukan merupakan miliknya namun ditaruh ke dalam tubuhnya yaitu keperawanan. bahwa tidak langsung bahwa keperawanan dikonstruksikan atas dasar klaim laki-laki.

Keperawanan dan Citra Baik Keluarga

Bagi orangtua, anak perempuan bagaikan permata yang tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali pada suaminya kelak. Sedari kecil pun, anak perempuan akan ditanamkan nilai-nilai untuk menjaga tubuhnya dari lelaki. Namun penanaman nilai yang diberikan orangtua bukan berdasarkan pada dampak dari kesehatan reproduksi seksual namun lebih memberikan dampak sosialnya.

Tubuh perempuan dikaitkan dengan nama naik keluarga. Jika seorang orangtua berhasil menjaga keperawanan sehingga membawa anak perempuannya sampai jenjang pernikahan tentunya ada simbol-simbol kesuksesan bagi pendidik orangtua yang telah mendidik anaknya sampai menikah dan memberikan anak perempuannya kepada suaminya. Seperti yang dikatakan oleh Carroinne Harrol bahwa tubuh perempuan sebagai properti suaminya dan keperawanan menjamin hak waris bagi anak-anaknya kelak[14]

Posisi orangtua yang seharusnya melindungi anak perempuan agar anak perempuan terhindar dari perilaku seks pra nikah. Namun ditelaah lebih dalam, bahwa posisi keluarga disini justru melindungi nama baik keluarganya bukan melindungi anak perempuannya. Keperawanan menentukan citra sosial keluarga. Keperawanan juga merupakan simbol-simbol keberhasilan dan juga simbol kebanggaan pada keluarga. Dalam pernikahan, bukan hanya menikah dengan pasangan saja namun tentunya akan menikahkan dua keluarga yang berbeda. Standarisasi calon menantu biasanya dilihat dari bibit, bebet dan bobotnya. Tentunya, keluarga dari pihak lelaki mengingkan pasangan untuk anaknya dari perempuan yang baik. Predikat perempuan yang baik dilihat cara ia menjaga kehormatannya yaitu keperawanannya.

Laki-laki menginginkan keperawanan karena baginya saat melakukan hubungan seksual sensasi darah yang keluar dan terasa sempitnya vagina yang membuat hubungan seksual menjadi bergairah. Padahal tidak ada kaitan antara keperawanan dengan sempitnya lubang vagina. Secara medis, tidak ada kaitan antara selaput dara, keperawanan dan juga sempitnya lubang vagina. Selaput dara yang dikaitkan sebagai tanda keperawanan bukan suatu indikator bahwa perempuan itu masih perawan atau tidak. Lalu, lubang yang sempit pula menandakan bahwa perempuan tersebut masih perawan.  

Bahwa adanya mitos keperawanan mengenai selaput dara dan juga besar sempitnya ukuran vagina dalam sensasi seksual membuat teropresi diri perempuan dari bagian tubuhnya sendiri. Mitos tersebut dibangun agar perempuan menjaga tubuhnya untuk diberikan kepada pasangan atau suaminya ketika menikah. Karena pada dasarnya keperawanan perempuan menjamin hak penerimaan nama dan warisan pewarisan terhadap anak dari pihak laki-laki. Sebaliknya anak di luar nikah nafkah hidupnya dibebankan kepada perempuan, di luar tanggung-jawab laki-laki.[15]

Keperawanan Perempuan: Harga Diri atau Simbol Sosial Budaya

Penerimaan diri perempuan yang menganggap keperawanan sebagai harga dirinya merupakan atas klaim dari laki-laki. yang memberikan harga diri bukannya perempuan melainkan laki-laki yang membentuk harga diri perempuan melalui organ tubuh yang terletak pada selangkangan perempuan. Keperawanan hanyalah organ tubuh bukanlah organ moral seorang wanita. Pelanggengan nilai patriarki adalah dengan mengukur kesucian seorang perempuan hanya dari tubuhnya tanpa melihat nilai diri seorang perempuan.

Melakukan hubungan seksual saat pranikah seringkali membawa wanita yang lebih sering dikenakan sanksi moral. Seperti dalam penelitian Jurnal Internasional yang berjudul Virginity and Guilt Differences Between Men and Women yang ditulis oleh Caitlin M. Lipman dan Alexis J. Moore[17] perempuan itu akan mengalami lebih banyak rasa bersalah dibandingkan dengan pria setelah kehilangan mereka keperawanan dan lebih banyak rasa malu atau bersalah karena kehilangan keperawanan.

Perasaan bersalah yang lebih banyak ditanggungkan oleh perempuan karena adanya nilai-nilai yang bersifat misoginis bahwa perempuan yang melepaskan keperawanan adalah perempuan yang tidak baik sedangkan laki-laki akan dianggap jantan jika telah menggauli perempuan. Namun berbeda dengan informan yang mengatakan bahwa keperawanan hanyalah sebuah formalitas simbol budaya. Bahwa keperawanan itu hanyalah konstruksi yang dibangun oleh patriarki agar melanggengkan dan juga mendominasi perempuan. Isu keperawanan perempuan bukan hanya sekedar mengenai lubang vagina dan seksual semata, melainkan menjadi ajang pertempuran kebebasan tubuh perempuan yang berfungsi keluar dari ketertindasannya dan memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri tanpa adanya tekanan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun