Tiga hari berlalu, kini Fara tengah menangis tersedu di antara sepinya suasana. Ia berada di danau kenangan antara aku dengannya. Tangan Fara menggenggam erat gulungan kertas yang ia temukan di nakas kamarku. Kedua jemarinya perlahan membuka isi surat itu dan secara gemetar ia membacanya.
Dear sahabatku, Fara.
Kamu lebih baik dari segalanya. Kamu tetap satu-satunya sahabatku. Aku sangat menyayangimu....
Terima kasih telah mengisi hidupku dengan canda tawamu... Meski itu hanyalah dulu,
Untuk sekarang aku hanya berkata 'maaf' karena aku bukanlah Tuhan yang selalu luput dari kesalahan,
Maaf, jika di matamu aku terlalu menyebalkan dan menghalangi kebahagiaanmu,
Aku minta, jangan benci aku. Jangan biarkan kebencian menghancurkan suatu hubungan,
Seandainya kamu tau rasanya menangis sambil menahan suara, itulah kebiasaanku. Jujur saja itu sakit, Ra... Dan seandainya kamu tau ketika kamu bahagia tanpa aku---aku akan ikut bahagia,
Salam rindu, Fara sayang....
Hari kepergianku adalah hari terbahagiaku. Akhirnya aku lega dari cobaan dunia yang keji. Namun banyak rasa sedih di jiwaku ketika harus melihat sosok Ayah, Bunda, Fara, dan Kak Reza harus berpesta kesedihan karena kehilanganku.
Ingin aku memeluk mereka, terutama Fara sahabat tersayangku. Namun aku sadar, dunia kita telah berbeda.