Mohon tunggu...
Median Editya
Median Editya Mohon Tunggu... lainnya -

penyuka beladiri dan sastra. calon guru teknik yang dicemplungin NASIB ke dunia perbankan..well, life always have a twisting plot rite ?

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Tak Mau Lari Lagi...

2 Januari 2011   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:02 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“kamu juga tak banyak berubah tian.. walau sampai sekarang aku masih bingung. Bingung kenapa kamu dulu menghilang? Menjauh. Menciptakan jarak sedemikian rupa sampai-sampai kita seperti musuh bebuyutan saja....” kata-kata itu terucap pelan. Nyaris tenggelam oleh backsound suara anak-anak dari dalam ruangan. Tapi tidak bagiku, kata-kata itu cukup untuk menusuk dan membongkar semua perasaan yang pernah ada antara aku dan permata.

Ah bagaimanalah aku harus menjawab hal ini? Mendadak lidahku ini terasa kelu bukan main.

“aduh a, maaf jadi dicuekin. Maklum anak-anak susah pisan diatur. Jadi aja aa gak sempat diajak ngobrol-ngobrol dulu” Aku menoleh. Kang yayat sudah berada di belakangku. “aa sudah kenal permata? Ah baguslah kalau begitu. Ada yang ngajak ngobrol” kang yayat tersenyum ke arah permata.

Save by the bell... kalau tak ada kang yayat yang tiba-tiba nimbrung entah bagaimana aku harus menjawab perkataan permata tadi.

“mari a kita kedalam saja..ngobrol-ngobrol dahulu sambil ngopi..hayu ta kamu juga kedalam aja” ajak kang yayat. Akupun mengangguk sambil melirik permata, mencoba melihat bagaimana raut mukanya yang sudah kembali seperti biasa (untunglah..)

“ayolah kang kalau begitu...”

♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

Beberapa saat kemudian kami bertiga sudah asyik ngobrol-ngobrol di ruang tamu. Berteman kopi, teh dan beberapa kue jajanan pasar. Sebenarnya yang ngobrol kebanyakan hanya aku dan kang yayat saja, permata lebih banyak tersenyum. Menimpali sedikit. Selebihnya kebanyakan diam saja.

“jadi sebenarnya a tian kenal permata sejak kapan? Kuliah?” kang yayat bertanya kemudian menyeruput kopinya.

“iya kang, dulu waktu kuliah saya berkenalan dengan permata”

“wuah wuah, ternyata bandung sempit sekali yah kalau begitu”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun