LATAR BELAKANG MASALAH
Pada masa kini, rasanya pacaran sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Bagi penulis sendiri, pacaran merupakan tahap awal dalam mengenal lebih jauh pasangan sebelum nantinya akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, atau seringkali dikatakan sebagai tahap seleksi. Pacaran juga merupakan tahap pembentukan dan tahap adaptasi suatu pasangan agar dapat mencocokan diri satu sama lain. Tentu saja kita semua menginginkan pasangan yang terbaik untuk diri kita sendiri di masa depan, maka dari itu, menurut penulis, fase pacaran ini merupakan fase yang penting dalam membangun hubungan sebelum akhirnya menuju ke jenjang pernikahan. Sayangnya, tujuan dan arah dari pacaran ini seringkali mengalami kekeliruan pemahaman pada anak di bawah umur, sehingga tujuan dari pacaran pun dihiraukan dan tidak sedikit yang menganggap bahwa pacaran hanya untuk bersenang-senang menghabiskan masa mudanya.
Dalam fase mengenal lebih jauh satu sama lain ini, pastinya akan sering muncul perbedaan pendapat yang menimbulkan konflik. Konflik ini sudah wajar dan semestinya terjadi. Namun, apakah konflik yang menimbulkan kekerasan ini wajar terjadi? Jawabannya adalah tidak. Tetapi pada kenyataannya, kekerasan dalam pacaran (KDP) ini seringkali terjadi dalam hubungan baik dari kalangan remaja maupun orang dewasa. Penyebab dan responnya pun bermacam-macam. Ada yang menerimanya, namun ada juga yang berusaha melawan.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengangkat tema kekerasan dalam pacaran (KDP) yang terjadi pada remaja. Remaja yang dimaksud yaitu berkisar pada usia 12-18 tahun. Penulis mengangkat tema tersebut karena menurut penulis, remaja pada usia tersebut belum benar-benar mengerti tujuan adanya fase pacaran dalam suatu hubungan yang akhirnya tidak ada kejelasan dari berjalannya suatu hubungan tersebut. Usia remaja juga merupakan masa pubertas dan perkembangan, di mana individu sedang mengalami perubahan fisik dan seringkali terjadi perubahan emosi atau emosi yang tidak stabil. Hal ini yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran pada remaja.
PEMABAHASAN
- Pengertian Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Jill Murray memaparkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan bentuk pertahanan atas kekuasaan dan kontrol atas pasangannya dengan cara menggunakan kekerasan atau tekanan fisik.[1] Dalam pengertian ini, dapat ditelaah bahwa adanya perasaan berkuasa yang dimiliki salah satu orang atas pasangannya dan kekerasan ini merupakan bentuk untuk melanggengkan kekuasaannya.
Menurut Rifka Annisa (2008:2), kekerasan dalam pacaran merupakan kekerasan yang dilakukan seseorang kepada pasangannya dan meninggalkan penderitaan pada korbannya.[2] Penderitaan yang dimaksud dapat berupa penderitaan secara fisik seperti luka atau lebam, dan luka non-fisik seperti trauma dan gangguan psikologis lain.
Lalu menurut Poerwandari (Achi, 2000:20), kekerasan dalam pacaran merupakan bentuk usaha seseorang untuk mengintimidasi pasangannya baik secara verbal maupun fisik.[3] Usaha tersebut dapat berupa ancaman atau penggunaan kata-kata yang kurang pantas dan dengan melakukan kekerasan secara fisik seperti memukul, menampar, atau melempar barang dengan tujuan agar korban timbul rasa takut dan tunduk kepada pasangannya.
Maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah kekerasan yang dilakukan seseorang kepada pasangannya, baik secara fisik maupun non-fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya dan membuat pasangannya takut dan tunduk kepadanya.
- Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran
Ketika mendengar kata "kekerasan", mungkin yang muncul di benak kita adalah perilaku seperti memukul, menendang, atau melukai seseorang secara fisik. Namun ternyata kekerasan tidak hanya dapat dilakukan secara fisik, namun secara verbal. Murray (2007:29) menjelaskan bahwa kekerasan tidak hanya dapat dilakukan secara fisik, namun juga ada kekerasan verbal dan emosional, serta kekerasan seksual
Kekerasan Verbal dan Emosional
Kekerasan verbal dan emosional dilakukan seseorang terhadap pasangannya berupa celaan, melontarkan perkataan tidak senonoh, maupun memasang ekspresi yang tidak seharusnya atau mengintimidasi. Murray menyebutkan ada 12 bentuk kekerasan verbal dan emosional yang dapat dilakukan seseorang terhadap pasangannya:
- Memanggil pasangan dengan sebutan yang tidak pantas, seperti gendut, jelek, pendek, pemalas, oon. (Name Calling)
- Â
- Memberikan pandangan intimidasi terhadap pasangan. (Intimidating Looks)
- Â
- Memantau dan memeriksa ponsel pasangannya. (Use of pagers and cell phones)
- Â
- Membuat seseorang menunggu telepon dari pasangannya. (Making a boy / girl wait by phone)
- Â
- Memaksa pasangannya untuk selalu menghabiskan waktu dengannya. (Monopolizing a girl's / boy's time)
- Â
- Membuat pasangan tidak percaya diri dan tidak nyaman. (Making a girl's / boy's feel insecure)
- Â
- Mencurigai dan menuduh pasangannya atas perbuatan yang belum tentu benar. (Blamming)
- Â
- Memanipulasi. (Manipulation / making himself look pathetic)
- Â
- Melontarkan kata-kata ancaman. (Making threats)
- Â
- Cenderung cemburu berlebihan, mengatur, dan posesif. (Interrogating)
- Â
- Mempermalukan pasangan di depan public. (Humiliating her / him in public)
- Â
- Tidak menghargai barang milik pasangan. (Breaking treasured items)
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai kekerasan yang berhubungan dengan seksualitas atau dengan melakukan kontak seksual yang tidak dikehendaki pasangannya. Kekerasan seksual dapat berupa pemerkosaan, sentuhan di area yang tidak seharusnya seperti dada, bokong, pinggang, dan lainnya, dan ciuman yang tidak diinginkan
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik berarti kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya yang menimbulkan luka secara fisik. Kekerasan fisik dapat berupa memukul, menendang, mendorong, membenturkan, mencekik, menggigit, atau menggenggam terlalu keras. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa memar, patah tulang, pergeseran tulang, maupun luka berdarah.
Kekerasan Ekonomi
Selain itu, menurut Rifka, adapula yang dinamakan sebagai kekerasan ekonomi, yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya terkait ekonomi, seperti memeras, mengambil uang, atau meminjam uang tanpa mengembalikannya. Jika uang tersebut tidak diberikan, pasangannya akan berkata bahwa ia tidak lagi dicintai karena tidak mau meminjamkan uangnya atau tindakan manipulatif lainnya.
- Penyebab Internal Remaja Melakukan Kekerasan Dalam Pacaran
Emosi yang belum stabil
Masa remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan individu secara rohani dan jasmani. Terutama tentang perasaan, seringkali kita mendengar istilah "Remaja Labil", yang berarti perasaan atau emosi pada remaja sering berubah-ubah dan tidak menentu. Perasaan yang tidak stabil ini dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran. Di mana seringkali kita temukan remaja laki-laki yang tidak dapat mengontrol emosi dan hawa nafsu sehingga melakukan hal di luar kendali tanpa berpikir jauh. Seperti yang diungkapkan A. Bandura, pada masa remaja seringkali terjadi pemberontakan dan pertentangan pada keadaan. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku agresif kerap kita temui dalam masa pertumbuhan remaja.[7]
Cara berpikir yang belum matang
Banyak remaja yang berpikir bahwa pacaran hanya untuk mencari pengalaman, mengikut teman-temannya, atau hanya sekedar coba-coba dan untuk bersenang-senang. Mereka belum mengetahui dan belum memiliki konsep dan tujuan yang matang mengenai pacaran. Mereka juga belum dapat berpikir lebih jauh ketika dihadapkan pada masalah atau perbedaan pendapat dalam hubungan, sehingga keputusan yang mereka ambil merupakan keputusan emosional yang tidak mempertimbangkan sebab dan akibatnya. Seringkali keputusan yang diambil saat perasaan emosi merupakan keputusan tidak tepat karena hanya bertujuan melampiaskan amarah dan bukan untuk menyelesaikan masalah karena tidak berlandaskan logika.
- Penyebab Eksternal Remaja Melakukan Kekerasan Dalam Pacaran
Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua dapat berpengaruh pada pembentukan kepribadian dan cara berpikir anak. Orang tua yang berpendidikan dan memiliki cara berpikir yang dewasa dapat memberikan informasi yang benar dan memiliki pengetahuan tentang hubungan pacaran maupun dalam bertingkah laku kepada sesama.
Pola Asuh Orang Tua
Orang tua yang terlalu membebaskan atau terlalu mengekang anaknya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Jika anak terlalu dibebaskan, ia akan berlaku semaunya karena merasa bahwa tidak ada aturan yang mengikatnya. Sedangkan jika anak terlalu dikekang, akan tumbuh masalah emosional anak dimana akan timbul rasa iri kepada anak-anak lain, dan pada suatu saat ia dapat bertindak di luar kendali sebagai bentuk balas dendam.
Konflik dalam Keluarga
Keluarga merupakan agen sosialisasi primer dari seorang individu. Apa yang ia lihat, alami, dan rasakan dalam lingkup keluarga, akan membekas dan ia terapkan kepada orang lain. Jika ia merasakan keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang, itulah yang akan ia lakukan ke orang sekitarnya. Sebaliknya, jika ia melihat orang tuanya sering bertengkar, saling memukul, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang agresif dan akan suka melakukan kekerasan pada orang lain pula. Misalnya, dengan melihat ayahnya yang sering membentak dan memukul ibunya, maka seorang anak akan menganggap bahwa laki-laki lah yang berkuasa atas perempuan, dan perempuan pantas menerima perlakuan tersebut jika tidak tunduk kepada laki-laki.
Teman Sebaya
 Teman sebaya dapat membawa pengaruh positif dan negatif. Pada kesempatan ini, kita akan melihat pengaruh negatif yang dapat diberikan teman sebaya. Lingkungan pertemanan tentunya berperan besar terhadap pembentukan kepribadian remaja. Teman sebaya dapat menjadi role model seseorang dalam berpacaran. Jika temannya memperlihatkan gaya pacarana yang tidak seharusnya, maka muncul kemungkinan temannya akan mengikuti apa yang dilakukan. Teman sebaya juga dapat memberi pengaruh kepada seseorang untuk ingin mencoba menjalin hubungan pacaran dengan orang lain. Pada beberapa kasus, bahkan geng laki-laki ini bertaruh tentang siapa yang bisa mendapatkan seorang perempuan, atau siapa yang bisa berhubungan seksual dengan pacarnya untuk dapat dianggap hebat di lingkungan pertemanannya.
- Gaya Pacaran yang Dapat Menimbulkan Kekerasan serta Contoh Kasus
Posesif dan Manipulatif
Informan pertama pada sebuah penelitian berinisial I berumur 18 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam pacaran dikarenakan sifat pacarnya yang posesif dan manipulatif. Pacar I disebut sebagai pria yang pencemburu, sehingga ia membatasi I untuk bergaul dengan teman-temannya. I juga pernah diselingkuhi sebanyak 15 kali, namun bukan semakin menjauh, I malah semakin tunduk dan tidak memutus hubungannya tersebut karena diiming-iming akan lebih menderita dan tidak ada yang mau menjadi pacar I selain dirinya. Pacar I pernah juga pernah membuka pakaian I secara paksa dan pernah memukul juga menendang I hingga harus dirawat di rumah sakit.
Kasar dan Temperamental
Contoh kasus kedua datang dari M, seorang remaja perempuan berusia 17 tahun. Pacar M melakukan kekerasan seksual dan ekonomi dalam menjalankan hubungan dengan M. M mengaku seringkali bertengkar dengan pacarnya hingga dipukul dan ditendang hingga memar. Pacar M juga sering meminta uang kepada M, bahkan mengambilnya secara paksa dan hanya disisakan 10.000, menyuruh M untuk membayar uang bensin, dan mengisikan pulsa. Selain tu, M pernah dipaksa untuk memuaskan nafsu pacarnya dengan membuka bajunya secara paksa. Meskipun sudah mengalami kekerasan dalam pacarana, M tidak melaporkannya kepada pihak berwajib dan terus berhubungan dengan pacarnya.
- Analisis menggunakan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud
Sigmund Freud menjelaskan tiga struktur kepribadian, yaitu Id, Ego, dan Superego.[10] Id merupakan insting atau keinginan dari dalam diri yang nantinya akan diolah dalam ego. Ego adalah tempat mempertimbangkan keinginan-keinginan yang berasal dari Id dan tempat untuk merasionalkan keinginan-keinginan tersebut, apakah memungkinkan untuk didapatkan atau tidak. Sedangkan Superego merupakan tempat untuk merealisasikan keinginan-keinginan sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
Hubungan dengan contoh kasus di atas adalah dimana korban sudah menerima kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh pacarnya, namun bukannya menghentikan hubungan, mereka tetap melanjutkan hubungannya karena dibutakan oleh cinta. Di sini terlihat bahwa Id kedua korban lebih kuat dibanding Superego. Jika Superego lebih kuat, maka selayaknya orang yang telah disakiti, korban akan memutuskan hubungan, menghindari pelaku, atau bahkan melaporkan perbuatannya pada pihak yang berwajib. Namun jangankan melaporkan, korban malah menutupi dan tetap berusaha mempertahankan hubungannya. Hal ini dapat disebabkan oleh sikap manipulatif yang dilakukan pasangannya.
KESIMPULAN
Kekerasan dalam pacaran (KDP) banyak terjadi di kalangan remaja, antara lain dapat disebabkan oleh faktor eksternal seperti pendidikan dan pola asuh orang tua, permasalahan keluarga, dan pengaruh lingkungan pertemanan, juga oleh faktor internal seperti emosi yang belum stabil dan cara berpikir remaja yang belum matang.
Dapat diketahui pula bahwa kekerasan dalam pacaran memiliki banyak bentuk baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari hal kecil seperti melontarkan celaan atau nama panggilan, melakukan pemerasan secara ekonomi, hingga melakukan kekerasan yang berakibat luka secara fisik.
Dalam bentuk apapun, kekerasan dalam pacaran tidak seharusnya terjadi di setiap kalangan, dalam tulisan ini, bagi remaja. Sebelum menjalin hubungan, individu memerlukan pemahaman mengenai apa itu pacaran, untuk apa menjalin sebuah hubungan pacaran, dan tujuan apa yang akan dicapai dalam menjalani hubungan tersebut.
Tentu akan banyak masalah, konflik, dan perbedaan pendapat, namun kekerasan bukanlah jalan yang benar untuk menyelesaikannya. Seperti yang sudah sering kita dengar, bahwa kunci berjalannya sebuah hubungan dengan baik adalah komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Achi Sudiarti. (2000). Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahanya. Jakarta: Alumni.
Annisa Rifka. (2008). Kekerasan dibalik Cinta. Yogyakarta: Rifka Annisa Women's Crisis Center.
Bertens, K. Psikoanalisis Sigmund Freud. Â Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Devi, Christianti N. (2013). Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Pada Mahasiswa yang pernah melakukan Kekerasan dalam Pacaran). Yogyakarta.
Gunarsah, Singgih D. (2008). Psikologi: Perkembangan Anak dan Remaja. (Jakarta: Gunung Mulia.
Mesra, Erna. (2014). Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja Putri di Tangerang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol.2, Nomor 1.
Murray. (2007). But, I Love Him. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H