Atas karma, lelaki dukun itu secara bangsat diperkosa dosa masa lalu. Bagaimana tangisnya tak pecah menganak sungai? Berair mata merah. Betapa ia menyesali kebejatan jahanam yang ia perbuat, membuatnya berdoa agar dilahirkan kembali untuk menebus segala dosa-dosanya.
Detik-detik sebelum dirinya meledak dihantam dosa, angin sejuk perlahan menyelimuti. Ia segera tahu bahwa itu ialah si lelaki gila.Â
"Nak, lepaslah. Biarkan dosamu menguara ngalir tanpa membebani jiwa. Sebab mati adalah perjalanan yang harus ditanggung seonggok orok yang begitu birahi pada kehidupan. Seonggok orok yang begitu nafsu mencabik rahim ibunya dan mendesak hendak ke luar. Dan kematian sesungguhnya sudah berjalan sejak orok itu mulai menetek susu. Dengan begitu, adakah kematian patut dihindarkan?"
"Nak, pulanglah..."
Angin sejuk ditiupkan dari bibirnya, membuat Pa Omyah terbangun dari mimpi. Ia menyadari bini dan si bujang masih memeluknya erat. Pa Omyah mengecup keduanya, mengirim mereka pada tidur panjang dalam kepompong kerinduan.
Lelaki itu berjalan ke luar dari sangkar keranda. Atas keikhlasan penuh, ia membuka balutan kain kafan, membiarkan tubuh sepenuhnya telanjang seperti bayi yang terlahir bugil. Lelaki itu merasa terlahir kembali
Ketika orang masih lengah akan si Anjing yang berjalan mendekat kemari, lelaki itu memuntahkan seluruh tulang belulangnya dari mulut dan dubur.
Tak ada yang menyadari seonggok daging berselimut kulit yang melayang-layang di antara mereka, sampai akhirnya tubuh itu mendarat di atas tanah kuburan. Ia berdiri lemas di depan si Anjing.
Kumpulan setan ceriwis mendadak kembali bisu, terbius oleh pemandangan dua lelaki tak bertulang yang berdiri di atas tanah makam berkabut.
Tubuh keduanya mulai menari dalam keheningan absolut. Atas kekhidmatan yang hakiki, mereka terus meliuk-liuk tiada henti.Â
Setelah sekian lama, seorang bayi terlahir kembali di Talambani. Bayi berjanggut dengan tubuh merah. Bukan merah sebab berlumur darah, melainkan merah dosa.Â