Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meliuklah Anjing Tanpa Tulang

21 Januari 2025   17:09 Diperbarui: 21 Januari 2025   17:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampaknya kekalutan telah mencengkram akal sehat, membuat orang sekampung tiada lagi mampu mencerna apa yang sebetulnya terjadi. Hingga Syahdan akhirnya bertanya pada Ma Ipeh dari sebalik rangka keranda.

Ternyata, mulanya dari Pa Omyah yang sekarat di dini hari. Namun yang kehilangan diri justru adalah sang bini.

 "Ada atau tiadanya si Anjing, pada akhirnya kita akan pulang pada waktunya. Tapi aku tiada sudi jika kematianmu dihantar oleh seorang gila yang meliuk-liuk telanjang penuh hina! Lebih baik kita semua mati sebelum ia membawa batang hidungnya kemari!"

Itulah mengapa mereka bertiga kini bersempit-sempitan dalam keranda. Menengok pemandangan itu, orang sekampung jatuh iba. Jika keluarga dukun beranak itu sendiri telah kehilangan harapan tuk terus hidup, lantas bagaimana dengan mereka sendiri?

Di tengah keramaian yang membisu, angin mendadak dingin. Mereka segera tahu, si Anjing telah datang.

Benar saja, si Anjing telah berdiri jauh di kuburan yang bersebrangan dengan rumah Pa Omyah. Perlahan tapi pasti, tubuh bugilnya mulai meliuk-liuk bak tanpa tulang.

Jantung mereka mendidih. Entah bagaimana, rasa takut kepada si Anjing mendadak sirna. Mereka mulai berani mencaci maki si Anjing dengan lolongan dan bahasa binatang yang pedih menusuk dada. Merekalah setan ceriwis.

Manakala rumah Pa Omyah semakin padat disesaki setan mengamuk, benak Pa Omyah justru dikeroyoki sepi. Sunyi. Hening sehening-heningnya hening. Perlahan pandangannya kabur, diikuti tubuh yang tak bisa bergerak. Kini, ia buta. Tinggal ruh dan seonggok daging.

Tiba-tiba, jempol kakinya serasa ditembus paku mendidih. Pa Omyah terpekik. Kini, kulitnya dikelupas perlahan. Ia melolong. Pa Omyah megap-megap mengambil napas. Itulah ketika suara bisikan menusuk siput di telinganya.

"Pa, kelak kau mengerti arti pedih yang ditanggung jiwa dan tubuh kecil kami."

Pa Omyah kenal betul suara itu. Suara yang didengarnya terakhir kali ketika ia menjelajahi tubuh dari dua puluh dua gadis dan bocah lanang, yang kemudian tak pernah lagi bisa bicara. Mereka bisu seumur hidup sampai akhirnya mati dengan mulut yang dijahit oleh trauma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun