Sepedas apa pun bunyi makian orang pada si Anjing, nyatanya ia akan terus menari telanjang di depan mayit tanpa seorang jua bisa membuatnya berhenti. Pikir orang, ia adalah utusan Tuhan buat nyambut kematian. Kendati orang misuh-misuh akan dirinya yang datang membawa maut, mereka pilih membisu sepanjang waktu karena takut berdosa.Â
Namun kelak, bisu mereka menjelma setan ceriwis sewaktu si Anjing menari bugil di depan rumah Pa Omyah.
***
Anjing. Pa Omyah memanggilnya Anjing. Ia dipanggil Anjing bukan perkara perangainya macam sembarang anjing, tapi sebab mukjizat yang ia punya serupa dengan yang dikaruniai Tuhan pada anjing kudus.
"Lelaki itu boleh tahu kapan matinya orang."
Itulah gosip yang mencuat dari muncung orang kampung tiap kali mendapati si Anjing menari bugil. Orang Talambani percaya, bahwa anjing adalah binatang yang dikaruniai Tuhan boleh mengendus ajal. Dan lelaki itu persis anjing yang menyalak berang usai mengendus bau malaikat maut, dan kemudian bercakak tawur dengannya.
Hanya saja anjing yang satu ini tak pandai nyalak menggonggong, sebab ia terlahir bisu. Ia cuma bisa meliuk-liuk: berbicara lewat tubuh. Jadilah ia membocorkan kapan matinya orang lewat pantat yang bergeol karena ia tak bisa bicara.
"Muncung ngawur! Sungguh syirik bila kalian memercayai manusia selain nabi boleh tau kapan matinya orang." Suara Ma Ipeh, bini Pa Omyah, lantang membungkam muncung-muncung penggosip.
"Tapi, Ma, tiap kali si Anjing menari bugil di depan rumah siapa pun, orang itu pasti akan mati esok harinya. Dua hari lalu, ia menari di depan angkot suami Ma Utik. Dan kemarin, kita baru saja menguburkan suami Ma Utik dan penumpangnya yang berserak di jalan raya. Saya rasa, ini bukan hanya sebuah kebetulan. Bukannya saya percaya begitu saja dengan ramalannya, tapi terus terang, saya dan warga lain jadi risau dengan datangnya ia yang antah berantah ke kampung ini, Ma Ipeh."
"Singkat kata, kau syirik, Syahdan."
Lain dari sang bini yang agaknya disegani perkara mulutnya yang pedas, Pa Omyah memang dihormati atas jasanya yang begitu besar. Ia telah mengeluarkan banyak orok dari selangkangan mama di seluruh kampung, sebuah kehormatan yang tak sembarang orang boleh perbuat. Dialah maha dukun beranak yang paling agung. Maka tak heran ketika mama dari orok-orok itu kemudian menyuruh anaknya tuk mengecup punggung tangan dan telapak kaki Pa Omyah serupa papa kandung. Juga menuruti semua tunjuk ajarnya.Â
Namun suatu hari, Pa Omyah jatuh sakit. Ia yang biasanya akrab benar dengan kelahiran, tak lagi pernah menengok air mata seorang mama, kumandang azan papa yang gemetar, dan bayi yang menitikkan warna baru bermekar-mekar.
Tak ada bayi yang lahir di Talambani semenjak Pa Omyah jatuh sakit. Yang ada hanyalah mayit-mayit baru yang dilempar ke rumah tukang kubur tiap hari, dan si Anjing bugil yang tiada henti menari.
Hari berganti hari, orang kampung dibuat semakin gusar. Mukjizat semakin jelas, si Anjing bukanlah asu sembarang. Entahlah ia malaikat yang turun ke bumi, atau apalah, tapi mutlak sudah, si Anjing adalah utusan Tuhan buat nyambut kematian. Â Bahkan Ma Ipeh yang sedari dulu gemar menyerocos soal betapa gobloknya ide bahwa si Anjing adalah malaikat ajal, kini tak lagi berani berkutik. Terlebih-lebih Pa Omyah tengah terkapar.Â
Sejak tak ada lagi bayi yang lahir di Talambani, langit menjelma kelabu kelam. Orang sekampung enggan keluar rumah. Mereka kerap mengintip dari lubang pintu dan jendela, adakah si Anjing menari bugil di depan sana? Jikalau ada, seluruh penghuni rumah akan berlari terkencing dan berebut mengambil wudhu tuk mendirikan sholat taubat, sebab mereka tak tahu pasti siapa yang akan mati esok hari. Yang jelas, tak ada orang yang tak takut mati. Semua berebut hendak menginjakkan kaki selama-lamanya di bumi.
Namun ada hal yang membuat mereka lebih sukar ketimbang mati: mutlak hilangnya harapan kelahiran. Tak disangka mimpi buruk itu datang lebih dulu.
Adalah di suatu dini hari, ketika Syahdan mendapati anak bujang Pa Omyah berdiri di bawah tiang lampu. Si anak bujang berhenti untuk mengelap air matanya dengan tubuh gemetar. Kain yang dipeluknya jatuh ke tanah. Kain. Kain putih. Kain kafan baru yang masih putih bersih.Â
***
Sontak, pagi itu Talambani kalang kabut. Kain kafan itu pastinya tak diperuntukkan bini sang dukun atau si anak bujang, melainkan Pa Omyah seorang. Mereka semua berlari ke luar rumah atas ketakutan matinya dukun beranak kampung itu, menginjak-nginjak ketakutan akan ajal yang menanti diri mereka sendiri.
Di kediaman Pa Omyah, keranda sudah teronggok dan berisi. Bukan hanya Pa Omyah yang berada di dalamnya, tetapi juga Ma Ipeh dan anak bujang, memeluk erat Pa Omyah yang suah terbalut kain kafan. Pa Omyah mengecup keduanya berkali-kali.
Belum. Pa Omyah belum mati. Bahkan sebetulnya si Anjing belum menginjakkan kaki di teras rumahnya.
Tampaknya kekalutan telah mencengkram akal sehat, membuat orang sekampung tiada lagi mampu mencerna apa yang sebetulnya terjadi. Hingga Syahdan akhirnya bertanya pada Ma Ipeh dari sebalik rangka keranda.
Ternyata, mulanya dari Pa Omyah yang sekarat di dini hari. Namun yang kehilangan diri justru adalah sang bini.
 "Ada atau tiadanya si Anjing, pada akhirnya kita akan pulang pada waktunya. Tapi aku tiada sudi jika kematianmu dihantar oleh seorang gila yang meliuk-liuk telanjang penuh hina! Lebih baik kita semua mati sebelum ia membawa batang hidungnya kemari!"
Itulah mengapa mereka bertiga kini bersempit-sempitan dalam keranda. Menengok pemandangan itu, orang sekampung jatuh iba. Jika keluarga dukun beranak itu sendiri telah kehilangan harapan tuk terus hidup, lantas bagaimana dengan mereka sendiri?
Di tengah keramaian yang membisu, angin mendadak dingin. Mereka segera tahu, si Anjing telah datang.
Benar saja, si Anjing telah berdiri jauh di kuburan yang bersebrangan dengan rumah Pa Omyah. Perlahan tapi pasti, tubuh bugilnya mulai meliuk-liuk bak tanpa tulang.
Jantung mereka mendidih. Entah bagaimana, rasa takut kepada si Anjing mendadak sirna. Mereka mulai berani mencaci maki si Anjing dengan lolongan dan bahasa binatang yang pedih menusuk dada. Merekalah setan ceriwis.
Manakala rumah Pa Omyah semakin padat disesaki setan mengamuk, benak Pa Omyah justru dikeroyoki sepi. Sunyi. Hening sehening-heningnya hening. Perlahan pandangannya kabur, diikuti tubuh yang tak bisa bergerak. Kini, ia buta. Tinggal ruh dan seonggok daging.
Tiba-tiba, jempol kakinya serasa ditembus paku mendidih. Pa Omyah terpekik. Kini, kulitnya dikelupas perlahan. Ia melolong. Pa Omyah megap-megap mengambil napas. Itulah ketika suara bisikan menusuk siput di telinganya.
"Pa, kelak kau mengerti arti pedih yang ditanggung jiwa dan tubuh kecil kami."
Pa Omyah kenal betul suara itu. Suara yang didengarnya terakhir kali ketika ia menjelajahi tubuh dari dua puluh dua gadis dan bocah lanang, yang kemudian tak pernah lagi bisa bicara. Mereka bisu seumur hidup sampai akhirnya mati dengan mulut yang dijahit oleh trauma.
Atas karma, lelaki dukun itu secara bangsat diperkosa dosa masa lalu. Bagaimana tangisnya tak pecah menganak sungai? Berair mata merah. Betapa ia menyesali kebejatan jahanam yang ia perbuat, membuatnya berdoa agar dilahirkan kembali untuk menebus segala dosa-dosanya.
Detik-detik sebelum dirinya meledak dihantam dosa, angin sejuk perlahan menyelimuti. Ia segera tahu bahwa itu ialah si lelaki gila.Â
"Nak, lepaslah. Biarkan dosamu menguara ngalir tanpa membebani jiwa. Sebab mati adalah perjalanan yang harus ditanggung seonggok orok yang begitu birahi pada kehidupan. Seonggok orok yang begitu nafsu mencabik rahim ibunya dan mendesak hendak ke luar. Dan kematian sesungguhnya sudah berjalan sejak orok itu mulai menetek susu. Dengan begitu, adakah kematian patut dihindarkan?"
"Nak, pulanglah..."
Angin sejuk ditiupkan dari bibirnya, membuat Pa Omyah terbangun dari mimpi. Ia menyadari bini dan si bujang masih memeluknya erat. Pa Omyah mengecup keduanya, mengirim mereka pada tidur panjang dalam kepompong kerinduan.
Lelaki itu berjalan ke luar dari sangkar keranda. Atas keikhlasan penuh, ia membuka balutan kain kafan, membiarkan tubuh sepenuhnya telanjang seperti bayi yang terlahir bugil. Lelaki itu merasa terlahir kembali
Ketika orang masih lengah akan si Anjing yang berjalan mendekat kemari, lelaki itu memuntahkan seluruh tulang belulangnya dari mulut dan dubur.
Tak ada yang menyadari seonggok daging berselimut kulit yang melayang-layang di antara mereka, sampai akhirnya tubuh itu mendarat di atas tanah kuburan. Ia berdiri lemas di depan si Anjing.
Kumpulan setan ceriwis mendadak kembali bisu, terbius oleh pemandangan dua lelaki tak bertulang yang berdiri di atas tanah makam berkabut.
Tubuh keduanya mulai menari dalam keheningan absolut. Atas kekhidmatan yang hakiki, mereka terus meliuk-liuk tiada henti.Â
Setelah sekian lama, seorang bayi terlahir kembali di Talambani. Bayi berjanggut dengan tubuh merah. Bukan merah sebab berlumur darah, melainkan merah dosa.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI