Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meliuklah Anjing Tanpa Tulang

21 Januari 2025   17:09 Diperbarui: 21 Januari 2025   17:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lain dari sang bini yang agaknya disegani perkara mulutnya yang pedas, Pa Omyah memang dihormati atas jasanya yang begitu besar. Ia telah mengeluarkan banyak orok dari selangkangan mama di seluruh kampung, sebuah kehormatan yang tak sembarang orang boleh perbuat. Dialah maha dukun beranak yang paling agung. Maka tak heran ketika mama dari orok-orok itu kemudian menyuruh anaknya tuk mengecup punggung tangan dan telapak kaki Pa Omyah serupa papa kandung. Juga menuruti semua tunjuk ajarnya. 

Namun suatu hari, Pa Omyah jatuh sakit. Ia yang biasanya akrab benar dengan kelahiran, tak lagi pernah menengok air mata seorang mama, kumandang azan papa yang gemetar, dan bayi yang menitikkan warna baru bermekar-mekar.

Tak ada bayi yang lahir di Talambani semenjak Pa Omyah jatuh sakit. Yang ada hanyalah mayit-mayit baru yang dilempar ke rumah tukang kubur tiap hari, dan si Anjing bugil yang tiada henti menari.

Hari berganti hari, orang kampung dibuat semakin gusar. Mukjizat semakin jelas, si Anjing bukanlah asu sembarang. Entahlah ia malaikat yang turun ke bumi, atau apalah, tapi mutlak sudah, si Anjing adalah utusan Tuhan buat nyambut kematian.  Bahkan Ma Ipeh yang sedari dulu gemar menyerocos soal betapa gobloknya ide bahwa si Anjing adalah malaikat ajal, kini tak lagi berani berkutik. Terlebih-lebih Pa Omyah tengah terkapar. 

Sejak tak ada lagi bayi yang lahir di Talambani, langit menjelma kelabu kelam. Orang sekampung enggan keluar rumah. Mereka kerap mengintip dari lubang pintu dan jendela, adakah si Anjing menari bugil di depan sana? Jikalau ada, seluruh penghuni rumah akan berlari terkencing dan berebut mengambil wudhu tuk mendirikan sholat taubat, sebab mereka tak tahu pasti siapa yang akan mati esok hari. Yang jelas, tak ada orang yang tak takut mati. Semua berebut hendak menginjakkan kaki selama-lamanya di bumi.

Namun ada hal yang membuat mereka lebih sukar ketimbang mati: mutlak hilangnya harapan kelahiran. Tak disangka mimpi buruk itu datang lebih dulu.

Adalah di suatu dini hari, ketika Syahdan mendapati anak bujang Pa Omyah berdiri di bawah tiang lampu. Si anak bujang berhenti untuk mengelap air matanya dengan tubuh gemetar. Kain yang dipeluknya jatuh ke tanah. Kain. Kain putih. Kain kafan baru yang masih putih bersih. 

***

Sontak, pagi itu Talambani kalang kabut. Kain kafan itu pastinya tak diperuntukkan bini sang dukun atau si anak bujang, melainkan Pa Omyah seorang. Mereka semua berlari ke luar rumah atas ketakutan matinya dukun beranak kampung itu, menginjak-nginjak ketakutan akan ajal yang menanti diri mereka sendiri.

Di kediaman Pa Omyah, keranda sudah teronggok dan berisi. Bukan hanya Pa Omyah yang berada di dalamnya, tetapi juga Ma Ipeh dan anak bujang, memeluk erat Pa Omyah yang suah terbalut kain kafan. Pa Omyah mengecup keduanya berkali-kali.

Belum. Pa Omyah belum mati. Bahkan sebetulnya si Anjing belum menginjakkan kaki di teras rumahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun